Pegawai Pajak dan Godaan Gratifikasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap David telah menyita perhatian masyarakat luas. Kasus ini menjadi sorotan publik karena Mario merupakan anak dari seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, bernama Rafael Alun Trisambodo.

Dari kasus ini pula, terungkap orang tua Mario memiliki kekayaan tidak wajar sesuai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Rafael Alun Trisambodo seakan memperpanjang deretan pejabat pajak yang memiliki aset puluhan miliar.

Setelah diketahui memiliki kekayaan tidak wajar, Rafael diperiksa oleh penegak hukum dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akhirnya, setelah mengantongi bukti permulaan yang cukup, KPK menahan eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tersebut. Dalam perkara ini, KPK menduga Rafael Alun Trisambodo menerima gratifikasi senilai puluhan miliar rupiah.

Sebagaimana diketahui, gratifikasi terjadi jika pihak pengguna layanan memberi sesuatu kepada pemberi layanan tanpa adanya penawaran atau transaksi apa pun. Pemberian ini terkesan tanpa maksud apa-apa. Namun di balik itu, gratifikasi diberikan untuk menggugah hati petugas agar urusannya nanti dipermudah.

Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Ancaman Hukuman

Supeni dan Hadi Mahmudah (2018) menjekaskan bahwa pemberian dan penerimaan gratifikasi/suap ini dapat menciptakan pembelajaran sosial bagi masyarakat. Bagi sang penerima, akan tercipta ekspektasi di masa akan datang akan penerimaan gratifikasi dan suap. Bagi sang pemberi, stigma ekspektasi lawan transaksi mendorong mereka untuk terus mempraktikkan suap dan gratifikasi. Hubungan timbal balik ini akan mengakar dan sulit untuk diberantas, sebab budaya memberi dan menerima sudah terlihat sejalan dengan budaya kolektivis bangsa Indonesia.

Teori pembelajaran sosial ini juga berlaku ketika seorang pimpinan melakukan korupsi berupa penerimaan suap maupun gratifikasi, maka bawahan pun akan cenderung untuk meniru. Bawahan berperilaku sesuai dengan role model yang dia tangkap dari tempat kerja.

Dalam hal ini, role model yang paling berpengaruh adalah atasan. Sementara dasar hukum untuk tindak gratifikasi diatur dalam UU 31/1999 dan UU No. 20/2001 Pasal 12 di mana ancaman hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara selama empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

UU No. 20/2001 pada setiap gratifikasi yang diperuntukkan pegawai atau pejabat negara sipil dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku jika penerima menerima laporan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang harus dilakukan selambat-lambatnya 30 ( tiga puluh) hari kerja setelah tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Selain penegakan hukum tanpa pandang bulu, hal yang juga penting adalah kerjasama antara masyarakat dengan pihak penegak hukum. Masyarakat perlu bertindak sebagai kontrol sehingga praktik gratifikasi sedikit demi sedikit bisa berkurang.

Diakui atau tidak, praktik gratifikasi di negeri ini sudah masuk ke semua lini kehidupan, baik oknum swasta maupun pegawai pemerintah. Karena itu, apa pun bentuknya, perilaku koruptif harus dilawan secara berjamaah karena praktik tersebut bertentangan dengan norma dan undang-undang di mana dampaknya sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Oleh : Abdul Latif Panjaitan SH – Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

- Advertisement -

Berita Terkini