Potret Buram Pemberantasan Korupsi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Korupsi di Indonesia memang tidak pernah ada matinya. Faktanya, dari tahun ke tahun kasus tindak pidana korupsi terus meningkat. Korupsi di negeri ini memang sudah berlangsung cukup lama dan merupakan penyakit bawaan yang sudah berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.

Kalau merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 176 pejabat daerah terjerat kasus korupsi sepanjang periode 2004-2022. Rinciannya, terdapat 22 gubernur dan 154 walikota/bupati dan wakil yang juga berurusan dengan KPK.

Peningkatan korupsi menjadikan skor indeks persepsi korupsi Indonesia semakin menurun. Hal ini dikonfirmasi oleh Transparency International Indonesia (TII) di mana pada 2022 skor Indonesia 34/100. Skor tersebut memperlihatkan penurunan dari pencapaian IPK pada 2021 yang meraih 38/100. Penurunan Skor IPK pada 2022 itu menempatkan Indonesia pada peringkat 110 dari 180 negara yang disurvei.

Menyikapi peningkatan kasus korupsi, Agus Surono (2018) menyatakan, korupsi di Indonesia bagaikan suatu penyakit yang sukar disembuhkan dan merupakan suatu fenomena yang kompleks. Untuk memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan suatu tindakan represif, namun yang lebih mendasar lagi adalah melakukan tindakan preventif atau pencegahan.

Strategi ke Depan

Persoalan krisis kepemimpinan bisa kita lihat dari banyaknya pejabat yang terjerat kasus korupsi. Korupsi di negeri ini sepertinya sudah menjadi budaya yang mengakar kuat dan seakan sulit diberantas. Perilaku korupsi di Indonesia dalam sejarahnya sudah menjadi budaya yang sulit untuk diberantas, karena banyaknya persoalan di berbagai aspek yang mendukung terjadinya korupsi. Selain itu, modus operandi kasus korupsi juga semakin beragam.

Dalam konteks ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) membeberkan sejumlah modus operandi kasus tindak pidana korupsi sepanjang 2022. Modus yang paling jamak dilakukan para tersangka adalah penyalahgunaan anggaran pemerintah dengan jumlah 303 kasus. Dari modus ini, kerugian negara ditaksir mencapai Rp17,8 triliun. Kedua, kegiatan atau proyek fiktif sebanyak 91 kasus. Dari modus ini, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp543,89 miliar. Ketiga adalah mark up atau melebihkan anggaran, dengan total 59 kasus. Kerugian negara yang ditaksir jauh lebih besar dari proyek fiktif, yakni Rp879,37 miliar (Katadata.co.id, 6/3/2023).

Data di atas menjadi renungan bagi kita semua bahwa praktik korupsi sudah seperti virus yang masuk ke berbagai sektor, mulai dari pusat hingga ke desa-desa. Kondisi ini merupakan masalah serius yang perlu segara ditangani. Korupsi bukan sekadar masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Karena itu, ada beberapa langkah yang mesti di lakukan terkait pemberantasan korupsi, salah satunya pemberian hukuman maksimal. Selama ini penerapan hukum kepada koruptor tidak membuat jera. Buktinya, masih banyak pejabat yang korupsi di negeri ini. Hal itu terjadi karena tuntutan hukuman yang diberikan terlalu rendah.

Menurut Agil Oktaryal (2022), perlu dibentuk standar tuntutan antara Kejaksaan dan KPK, serta standar vonis dari Mahkamah Agung dalam perkara rasuah supaya efek jera yang diharapkan dari pogram pemberantasan korupsi benar-benar maksimal.

Hukuman lain yang dapat diterapkan adalah pemiskinan. Selain hukuman penjara dan denda, perlu ada hukuman lain bagi para koruptor. Hukum yang dimaksud adalah pemiskinan koruptor dengan cara mengambil alih atau menyita harta kekayaannya. Karena itu, perlu adanya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang sudah dibahas sejak 2006 lalu. Pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi sangat penting agar ada efek jera dan perilaku serupa tak terulang lagi di masa mendatang.

Akhirnya, dengan penerapan hukuman maksimal dan perampasan aset koruptor, kita berharap semoga pemberantasan tindak pidana korupsi menjadi lebih baik sehingga mimpi Indonesia menjadi bangsa yang bebas dari korupsi lambat laun akan segara terwujud.

Oleh : Abdul Latif Panjaitan SH – Mahasiswa Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

- Advertisement -

Berita Terkini