Gaya Pemberitaan Media Mengejar Nilai Kontroversi Agar Laku

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ada banyak kata-kata yang diucapkan presiden Joko Widodo dalam pidatonya di perayaan HUT Partai Perindo beberapa waktu lalu. Sebagai seorang presiden, setiap apapun yang disampaikannya akan selalu ditunggu dan menjadi penting bagi media.

Dalam pidato tersebut ada perkataan yang sifatnya formalitas, normatif, canda hingga politis. Kira-kira, perkataan apa yang akan dijadikan judul utama oleh media? Pastinya judul yang menjual (banyak memancing atensi pembaca).

Ciri dan gaya media memang seperti itu. Carilah judul pemberitaan yang kontroversi, karena pembaca suka penasaran dengan sesuatu yang bisa diperdebatkan juga digosipkan, terlebih sesuatu itu tengah menjadi trend dalam kasanah perbincangan publik.

Jika dilihat secara umum, apa yang disampaikan Jokowi dalam pidatonya tersebut, maka terlihat jelas akan pesan atau himbauan kepada “politik damai”. Jangan sampai ajang pilpres (dan pileg) nanti (2024) membuat kita sebangsa setanah air justru saling bermusuhan.

“Mbok ya sekali-kali antar partai antar politisi itu saling memuji. Tentu rakyat yang mendengar akan senang,” ucap Jokowi. Pesan ini tidak terlalu sampai, atau memang sengaja tidak didengar alias diabaikan, baik oleh publik maupun media. Kalah dan tenggelam dengan yang lain.

Yang lain yang dimaksud itu adalah soal kemana arah bandul Jokowi terkait dukungan capresnya? Ketika Jokowi mengatakan, “Mungkin pilpres nanti menjadi jatahnya Pak Prabowo,” itu yang menjadi headline pemberitaan. Karena ini tahun politik, memang mungkin itu yang paling ditunggu-tunggu.

Bak makanan, perkataan itu renyah dan gurih dan dianggap pasti bakal laris manis jika dijual ke masyarakat konsumen. Dan memang faktanya benar. Publik pun merespon beragam yang disampaikan Jokowi khusus terkait dukungan tersebut. Tidak lagi soal pesan “politik damai” nya.

Media juga publik pun, kadang tidak mau tahu, banyak perkataan yang tersirat ketimbang yang tersurat bagi seorang pejabat penting sekelas presiden. Ada makna denotatif ada makna konotatif. Bersayap ataupun diplomatis. Media abaikan itu, setidaknya, tidak menjelaskan kepada publik.

Hanya “dibungkus” mentah-mentah yang itu bisa menyebabkan banyak tafsir dan muncul spekulasi-spekulasi hingga pada akhirnya bisa terjadi fitnah dan perdebatan yang tidak perlu. Adakah tanggungjawab media terhadap kegaduhan publik yang disebabkan pemberitaannya?

Kerja media memang menyampaikan sebuah peristiwa, namun harus dipastikan clear tidak menimbulkan pertanyaan bahkan kecurigaan yang akhirnya menjadi polemik di kalangan masyarakat pembaca. Untuk itu media memiliki kode etik pemberitaan yang harus dipatuhi.

Beberapa waktu lalu di acara HUT Partai Golkar, Jokowi juga mengatakan bahwa Airlangga Hartarto, merupakan salah satu yang layak (capres) karena memiliki jam terbang tinggi. Pada acara relawan Projo, Jokowi juga mengatakan, “Ojo kesusu,” tapi dia memastikan calonnya (capres) ada di acara itu (merujuk kepada Ganjar).

Anies Baswedan juga diterima baik saat berkunjung ke istana menemui Jokowi (pamitan paska selesai jabatan gubernur DKI). Begitupun Yahya Muhaimin bertemu dengan Jokowi di istana. Jika dikaitkan dengan konteks politik, tentu semua itu bisa mengarah kepada pencapresan (pilpres 2024).

Jika mau digatuk-gatukan bisa saja dianggap sebuah “dukungan” presiden kepada mereka. Jokowi itu memiliki gaya komunikasi yang tanpa beban artinya, tidak ada yang dijadikan dendam baginya. Namun demikian, Jokowi juga dikenal sebagai pemimpin yang teliti dan hati-hati.

Semua yang diucapkan dan dilakukannya dipastikan sudah dipikirkannya masak-masak. Lantas ada yang mengatakan “presiden tidak fair” dan tidak etis. Lebih baik presiden fokus kepada kerja. Jokowi setiap hari melakukan kerja kenegaraan dan itu bisa diketahui publik.

Bahkan Indonesia menjadi negara di urutan 7 dunia sebagai negara terbaik pertumbuhan ekonominya di tengah krisis global, adalah hasil dari kebijakannya. Jokowi hanya sesekali bicara politik dan itupun di panggung acara dimana dia diundang sebuah partai. Selebihnya, Jokowi tidak pernah bicara dukung-mendukung di waktu kerjanya.

Sekali lagi, publik patut memahami bagaimana gaya komunikasi politik Jokowi dan seperti apa media itu. Agar tidak gumunan (kaget/heran). Kemarin terkait kasus Lukas Enembe juga diberitakan oleh media, bahwa KPK menghentikan kasus tersebut. Tentu berita ini laku dibaca tapi menyesatkan.

Yang benar, KPK menjanjikan kasus yang menjerat Lukas saat dihentikan jika Lukas bisa membuktikan sumber uang yang ada di rekeningnya.

“KPK, berdasarkan UU yang baru ini, bisa menghentikan penyidikan dan menerbitkan SP3 kalau nanti dalam proses penyidikan Pak Lukas bisa membuktikan dari mana sumber uang yang puluhan, ratusan miliar, tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dilansir detikNews, Selasa (20/9/2022).

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini