Peperangan di Kalangan Umat Manusia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pertumpahan darah akibat kedengkian pertama kali terjadi antara dua orang anak Adam, Kabil dan Habil. Iblis penguasa ego, berhasil memanipulasi kesadaran Kabil, sebagaimana yang pernah Iblis berhasil lakukan terhadap Adam, dengan membisikkan informasi yang keliru kepada Hawa, lalu Hawa yang termanipulasi oleh Iblis dengan informasi yang keliru, membujuk Adam. Adam luluh dengan bujukan Hawa yang sedang dalam pengaruh Iblis.

Kisah epic ini, terlepas adanya perbedaan versi cerita pada berbagai penuturan, namun pada intinya sama. Ada permainan iblis dibalik setiap peperangan.

Satu persatu kerajaan Bani Adam di masa lampau, hingga kini bertumbangan, berakhir dengan mengenaskan akibat peperangan. Mereka memperebutkan apa yang oleh iblis disebutnya sebagai “pohon keabadian”. Padahal, iblis sendiri tidak mengerti apa itu pohon keabadian.

Keinginan untuk hidup “abadi”, mendorong manusia mengumpulkan sebanyak mungkin harta benda, melestarikan penguasaan atas satu wilayah yang berhasil mereka kuasai, dan terus berpikir untuk memperbesar kekuasaannya.

Dalam setiap peperangan akan menghasilkan “pemenang” dan “pecundang”. Yang menang akan mengendalikan yang kalah, demikianlah hukum perang. Pemenang perang, menjadi kapitalis, dan yang kalah perang jadi pelayan atau budak mereka. Budak yang kalah perang, perlahan namun pasti akan berusaha merebut kemerdekaan demi kebebasannya. Maka dalam rangka itu mereka membangun solidaritas atas nama kesamaan nasib sebagai kaum yang tertindas. Memunculkan gerakan sosialisme melawan kapitalisme. Peperangan antara kapitalisme dengan demikian tiada adalah peperangan sesama para pengikut Iblis.

Iblis tidak memiliki kemampuan mempengaruhi mereka yang menentang untuk mengikuti egonya, hawa nafsunya. Sehingga manusia yang tidak memperturutkan hawa nafsunya tidak memiliki agenda berperang, kecuali hanya untuk nempertahankan survivalitas mereka saja jika mereka diserang. Naluri untuk survive ini, naluri yang bersifat alamiah murni, dan sebab itu tidak disebut sebagai ego. Naluri alamiah ini selalu mengajak kepada kebenaran, keselamatan, kedamaian. Naluri alamiah sebab itu disebut “millah”. Yakni kecenderungan alami pada manusia yang senantiasa ingin hidup damai.

Dengan demikian, pada diri manusia yang selalu termotivasi untuk berperang, bukanlah karena pengaruh “millah”, tapi pengaruh ego, pengaruh hawa nafsu. Bukan sifat alami atau fitrawi manusia.

Sifat alami berupa kecenderungan kepada kebenaran, keselamatan dan kedamaian atau “millah”, inilah yang mesti dipelihara, dirawat agar manusia terbebas dari konflik dan atau peperangan.

Sedikit manusia yang mampu menjalani kehidupannya dengan berpegang kepada millah, atau kecenderungan alamiahnya. Mayoritas manusia memperturutkan hawa nafsu dan egoismenya. Dan inilah warna peradaban manusia dari masa ke masa. Mereka yang konsisten menjaga fitrahnya, hidup diantara manusia-manusia yang mengikuti hawa nafsu dan egonya. Tidak ada agenda peperangan dalam mencapai tujuan hidupnya. Yang ada hanya pikiran lurus, murni demi meraih keselamatan dan kedamaian. Keselamatan dan kedamaian inilah keabadian, hal mana iblis telah keliru dalam memahaminya.

Bukti-bukti historis-antropologis atas apa yang diutarakan diatas, dapat ditemukan melalui jejak panjang peradaban manusia. Silih berganti antara yang kapitalis dengan yang sosialis. Terkadang yang sosialis jadi kapitalis, dan suatu waktu yang kapitalis jadi sosialis. Hanya yang teguh pada sifat alaminyalah yang kekal dan sukses meraih keabadian. Baik di kala kapitalis berkuasa, maupun di kala sosialis yang berkuasa. Sama saja bagi mereka, damai adalah diatas dari segalanya.

Oleh : Hasanuddin – Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini