Perang Dagang Amerika-China: Dampak Positif dan Negatif Terhadap Indonesia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Salah satu pemicu terjadinya Perang Dingin baru antara Amerika Serikat (AS) dan China dengan berbagai konflik baik dari konflik perdagangan, teknologi maupun geopolitik. Dalam konflik yang akan menentukan kepemimpinan global, dua kekuatan utama dunia ini bersaing untuk keuntungan strategis dalam persaingan yang panas untuk menentukan siapa di antara kedua negara yang akan unggul pada abad ke-21.

Tulisan ini menganalisis ketegangan hubungan AS-China yang terus meningkat dan dampaknya terhadap Indonesia. Hubungan AS-China kini telah beralih dari kerangka kerja sama menjadi persaingan terbuka dan strategis. Bagi China, AS hanya ingin mempertahankan keunggulannya yang mulai menurun.

Sementara bagi AS, kehadiran China hanya akan mengancam kepentingan keamanan, merusak kemakmuran, mengganggu demokrasi, dan menentang nilai-nilai individualisme. Sentimen anti-China telah menyatukan AS yang terpecah dan partisan, dan akan bertahan lama meskipun Donald Trump tidak lagi menjadi Presiden AS. Bagi Indonesia, ketegangan hubungan AS-China hanya akan merusak tatanan kerja sama multilateral yang selama ini menjadi andalan.

Dampak Perang Dagang

Ketegangan hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China telah menimbulkan kekhawatiran banyak pihak karena berpotensi mengancam negara- negara lain yang tidak terlibat di dalamnya. Hampir setiap saat kedua Negara saling melontarkan tuduhan untuk memperlihatkan keunggulan system politik masing- masing.

AS telah menghukum China karena sterilisasi paksa terhadap wanita Uighur, melobi Eropa untuk melarang perusahaan China (Nuctech) masuk ke Eropa, membatasi pemberlakuan visa pejabat China yang bertanggungjawab atas berlakunya Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang baru, memberikan batasan 90 hari untuk visa kerja bagi jurnalis China, dan terakhir menutup Konsulat Jenderal (Konjen) China di Houston, Texas.

Sebagai respons, Kementerian Luar Negeri China menolak semua tudingan AS dengan mengatakan Uighur dan Hong Kong merupakan masalah dalam negeri. China juga telah menarik kredensial pers wartawan di tiga surat kabar terkemuka AS dan mengancam akan menempatkan perusahaan AS dalam daftar entitas asing yang terlarang. China juga menutup Konjen AS di Chengdu.

Di sisi lain, AS mulai memperhatikan sepak terjang China, ketika pada akhir 2013 China memulai pembangunan proyek reklamasi besar-besaran di Laut China Selatan. China membangun pulau buatan dengan berbagai fasilitas untuk kepentingan geopolitik dan militer di bekas bebatuan dan karang atol. Sebagai respons, sejak Oktober 2015 AS meningkatkan patroli Freedom of Navigation (FON) dekat dengan fiturfitur yang dikontrol China sehingga memicu dinamika militerisasi Laut China Selatan antara China dan AS (Media Indonesia, 15 Juli 2020).

Menanggapi operasi FON AS, China meningkatkan kehadiran militernya di perairan yang dipersengketakan itu dengan mengirim persenjataan system rudal darat ke-udara, radar frekuensi tinggi, dan jet tempur ke pulau-pulau buatan di Laut China Selatan. Untuk kurun waktu yang lama, persaingan AS-China tertutupi oleh tuntutan untuk bekerja sama dalam berbagai bidang seperti ekonomi, keuangan, dan geopolitik global. Namun dorongan untuk bekerja sama ini hampir seluruhnya hilang, dan diperburuk oleh tuduhan terhadap tanggung jawab pandemi COVID-19, sehingga muncul saling ketidakpercayaan.

AS mempunyai keyakinan bahwa China merupakan ancaman terhadap kepentingan keamanannya, merusak kemakmurannya, mengganggu demokrasi, dan menentang nilai-nilai individualismenya (Dupont, 2020). Bagi Presiden AS Donald Trump, persaingan dengan China adalah upaya memperbaiki ketidakadilan di bidang perdagangan dan teknologi serta mengonsolidasikan posisi AS sebagai kekuatan global terpenting.

Sementara bagi Presiden Xi Jinping, persaingan dengan AS adalah untuk memperbaiki ketidakadilan pada masa lalu dan menangkap momen terbaik untuk mengembalikan China sebagai negara dominan di Asia dan akhirnya dunia. Melalui tulisan ini, secara ringkas dibahas ketegangan hubungan AS-China yang terus meningkat dan bagaimana dampaknya terhadap Indonesia.

Sumber Ketegangan AS-China

Meningkatnya surplus perdagangan China dan penguasaan teknologi digital memberi sumbangan atas permusuhan kedua negara. Namun sebenarnya perdagangan dan perang teknologi hanya merupakan bagian dari persaingan geopolitik yang lebih dalam dan berbahaya, yaitu ambisi strategis kedua negara yang saling bertentangan secara diametris dalam sistem politik, dan diperparah oleh rasa superioritas di antara mereka.

Sejak krisis keuangan 2008-2009, para pemimpin China menjadi jauh lebih kritis terhadap kelemahan demokrasi AS, dan yakin akan keunggulan model otoriter mereka sendiri yang mengistimewakan stabilitas politik dan tatanan sosial di atas hak-hak individu dan kebebasan berekspresi.

Masalahnya menjadi lebih akut ketika keduanya saling mencurigai ingin memaksakan elemen yang tidak diinginkan atau menyebarkannya secara internasional. Persepsi ini memperparah ketegangan ASChina sehingga lebih sulit untuk diselesaikan. Para pemimpin China telah lama lalai atas apa yang mereka sebut sebagai “gangguan yang tidak beralasan atas urusan internal”, dan kecenderungan orang Amerika untuk memberi kuliah tentang “perilaku dan sistem politik mereka”. Sekarang kondisinya telah terbalik ketika pemerintahan Donald Trump mengecam China karena dianggap ikut campur dalam politik internal AS, melakukan perang politik, dan mencoba untuk mengekspor model otoriternya ke AS.

Pergeseran dari kerjasama ke persaingan strategis telah memicu perdebatan yang semakin intensif tentang apakah dunia berada pada jurang Perang Dingin baru. Menurut Dupont, ada enam persamaan yang jelas dengan Perang Dingin, yaitu:

1) Persaingan AS-China adalah antara dua negara paling kuat di dunia, yang satu pendukung paham demokrasi liberal dan yang lainnya pendukung paham komunisme
2) Merupakan kontes seluruh sistem untuk supremasi
3) Berkaitan dengan nilai-nilai dan kekuatan
4) Akan berlangsung lama karena untuk kekuasaan global
5) Berkaitan dengan geopolitik. Keenam, tidak ada pihak yang menginginkan konfrontasi militer skala penuh

Namun di samping persamaan, ternyata ada juga perbedaannya. China telah menggantikan Rusia sebagai ancaman utama. Persaingan strategis antara AS dan Uni Soviet sebagian besar terjadi dalam ranah politik dan militer, sedangkan yang sekarang adalah persaingan di bidang ekonomi, yang meliputi perdagangan, investasi, teknologi, dan industri strategis. Pada titik puncaknya, produk domestic bruto (PDB) Uni Soviet hanya 40% dari PDB AS. Sedangkan China mempunyai PDB yang sudah mencapai 65% dari PDB AS, dan sedang tumbuh dengan cepat. Perekonomian AS dan China menyumbang sekitar 40% dari PDB global.

Sementara pendapat lain yang lebih optimis mengatakan, ketegangan hubungan AS-China tidak akan berkembang menjadi konflik militer karena kedua Negara tidak menginginkan hal itu meskipun mereka terus mengerahkan kekuatan militernya ke kawasan tertentu. Konflik akan terus terjadi dalam bentuk sanksi ekonomi. China akan terus menahan diri dan tidak terprovokasi oleh tindakan AS, karena menilai apa yang dilakukan AS hanya simbolis. China menyadari bahwa ketegangan dengan AS situasional sifatnya dan akan berhenti menjelang pilpres AS pada bulan November 2020.

Ketegangan hubungan AS-China mempunyai pusat gravitasi geografis di kawasan Indo-Pasifik, bukan Eropa, karena pusat perdagangan global telah berpindah dari Atlantik ke Pasifik, yang mencerminkan kenaikan Asia dan penurunan Eropa. AS dan China sama-sama kekuatan Pasifik, sehingga persaingan mereka akan terasa paling tajam di kawasan Indo-Pasifik, di mana kepentingan mereka bertabrakan dan ada beberapa pemicu potensial untuk konfrontasi militer seperti Korea Utara, Laut China Timur dan Selatan, Taiwan dan Hong Kong yang berpotensi menjadi arena konflik, tetapi bukan karena signifikansi politiknya.

Ketegangan hubungan ASChina dapat dengan mudah berubah menjadi perang terbuka jika tidak dikelola dengan hati-hati. Persaingan antara kekuasaan yang sedang meningkat dengan yang sudah ada seringkali mendahului konflik militer atau periode konfrontasi dan ketidakstabilan yang panjang. Jika tidak mereda, ketegangan antara AS dan China dapat memperburuk situasi internasional, yaitu era persaingan strategis yang semakin tinggi yang akan sangat mengganggu perdagangan internasional dan ketertiban dunia.

Persaingan kedua negara akan diselingi juga dengan konflik proxy, terutama di dunia maya. Meskipun lebih korosif daripada eksplosif, namun kondisi ini akan menuju pada periode panjang persaingan kekuasaan besar, yang dapat memutar balik keuntungan yang didapat dari 70 tahun liberalisasi perdagangan, mengganggu rantai pasokan global (global supply chains), dan membagi dunia menjadi dua kekuatan system politik yang saling tidak kompatibel.

Dampaknya terhadap Indonesia

Perekonomian AS dan China mempunyai peran yang sangat besar di dunia. Pada tahun 2017 kontribusi PDB AS terhadap perekonomian dunia mencapai 24,03%, sementara China tercatat 15,2%. Kontribusi Indonesia terhadap PDB dunia hanya 1,25%. Selain berperan besar terhadap PDB dunia, kontribusi nilai perdagangan AS dan China juga sangat besar, mencapai 8,8% dan 12,8%. Di sisi lain, AS mengambil 13,5% dari impor dunia, sementara China menyumbang 10,3%. Dengan besarnya kekuatan perekonomian AS dan China di dunia, bisa dipastikan bahwa kedua negara tersebut akan sangat mempengaruhi dunia.

Perekonomian AS dan China mempunyai peran yang sangat besar di dunia. Pada tahun 2017 kontribusi PDB AS terhadap perekonomian dunia mencapai 24,03%, sementara China tercatat 15,2%. Kontribusi Indonesia terhadap PDB dunia hanya 1,25%. Selain berperan besar terhadap PDB dunia, kontribusi nilai perdagangan AS dan China juga sangat besar, mencapai 8,8% dan 12,8%.

Di sisi lain, AS mengambil 13,5% dari impor dunia, sementara China menyumbang 10,3%. Dengan besarnya kekuatan perekonomian AS dan China di dunia, bisa dipastikan bahwa kedua negara tersebut akan sangat mempengaruhi dunia.

Ketegangan hubungan AS China akan berdampak signifikan pada kerja sama multilateral. Indonesia yang mengandalkan kerjasama multilateral untuk mencapai tujuannya sudah pasti akan terpengaruh, sebab baik China maupun AS akan mengandalkan pada kerja sama bilateral. Regionalisme ekonomi seperti Belt and Road Initiative (BRI), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) ataupun Indo-Pasifik akan menyulitkan Indonesia dalam menentukan pilihan, mengingat baik China maupun AS merupakan mitra ekonomi utama Indonesia.

Kedua negara merupakan tujuan ekspor dan investasi utama Indonesia. Rantai pasok Indonesia, dan ASEAN, sangat tergantung pada hak paten yang dimiliki perusahaan AS, sementara dari China banyak mengimpor produk setengah jadi.

Selama bertahun-tahun, Indonesia telah mendapat manfaat dari sistem perdagangan yang terbuka dan berdasarkan pada regulasi. Presiden Joko Widodo telah menyatakan keprihatinan tentang perang tarif yang dilakukan Trump dan telah menyerukan koordinasi kebijakan dan pendekatan multilateral untuk mengatasi ketidakseimbangan perdagangan.

Indonesia melihat, kerja sama dan kolaborasi sebagai pilihan terbaik, daripada persaingan dan kompetisi zero-sum games. Dalam perspektif Indonesia, dekade peningkatan kerja sama multilateral berbasis globalisasi telah memberikan dampak positif pada perdagangan dan investasi, termasuk untuk memastikan semua pihak berbagi tanggung jawab.

Gangguan dan guncangan yang diciptakan oleh ketegangan hubungan AS-China telah menggagalkan kepercayaan dunia atas apa yang selama ini dipraktikkan sebagai system perdagangan global. Banyak orang memang meragukan jika perang dagang yang diterapkan oleh Trump akan menjadi solusi atas ketidakseimbangan perdagangan. Justru sebaliknya, banyak yang mempercayai jika ketegangan hubungan AS-China pada akhirnya hanya akan melemahkan ekonomi kedua negara dan merusak multilateralisme.

Indonesia sudah merasakan dampak ketegangan hubungan AS-China ketika Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, kesulitan mencari investor untuk pengelolaan rare earth yang bisa menjadi bahan baku senjata. Saat ini investor yang sudah siap adalah China, namun dengan alasan menjaga iklim investasi di Indonesia, Luhut enggan menyerahkan kepada China. Salah satu pekerjaan berat yang harus dilakukan Indonesia adalah melepaskan diri dari ketergantungan terhadap China. Sudah saatnya Indonesia memikirkan kemungkinan berubahnya konstelasi politik dunia yang akan mempengaruhi daya saing perekonomian China.

Walhasil, dampak perang dagang China Amerika Serikat memang tidak terlalu berdampak signifika terhadap hubungan dagang Indonesia dengan Amerika Serikat walaupun begitu banyak dinamika yang terjadi selama perjalanan hubungan bilateral anata Indonesia dengan Amerika Serikat. Mengingat juga pada awal kemrdekaan Amerika Serikat adalah salah satu Negara pertama yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia pada tahun 1949, sehingga hubungan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat sangatlah tidak bisa di anggap remeh, dan juga Amerika Serikat berpandangan Indonesia adalah mitra penting di Kawasan Indo- Pasifik dan hubungan Amerika Serikat-Indonesia semakin penting. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara dengan mayoritas Muslim terbesar, ekonomi ketujuh terbesar berdasarkan daya beli, dan pemimpin di ASEAN.

Indonsia memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia dan keanekaragaman hayati darat terbesar kedua. Indonesia juga berbatasan dengan Laut Cina Selatan, yang memiliki jalur laut tersibuk di dunia – kargo lebih dari $ 5 triliun dan sebanyak 50 persen kapal tanker minyak dunia melewati Laut Cina Selatan setiap tahun.

Dan hal-hal inilah yang mmbuat Amerika Serikat memiliki hubungan Bilatral yang baik dngan Indonesia baik di bidang ekonomi, kebudayaan politik dan keamanan nasional dan international dan juga bentuk pengakuan dari Amerika Serikat Terhadap Indonesia sebagai Negara maju, dan tidak menghilangkan fasilitas GSP pada masa perang dagang ini adalah salah satu gambaran yang jelas bahwa hubungan Bilatral Indonesia dengan Amerika Serikat sangat baik Memang dampak perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok bagi Indonesia adalah tidak signifikan.

Hal ini dikarenakan:Produk yang dikenakan tarif akibat perang dagang bukanlah fokus produk ekspor Indonesia di kedua Negara, Indonesia hanya mempunyai pangsa pasar yang kecil di Amerika Serikat dan Tiongkok terkait barang yang terkena tariff akibat perang dagang Indonesia bukanlah mitra dagang utama bagi Amerika Serikat; Indonesia adalah pemasok ke- 16 terbesar bagi Amerika Serikat.

Oleh : Halimah
Penulis merupakan peserta Latihan Kader III (Advance Training) Badan Koordinasi HMI Riau-Kepri

- Advertisement -

Berita Terkini