Ketika Jiwa dikuasai Hawa Nafsu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Nikita Mirzani, lari keluar negeri, belum ada kabar kapan kembali, statusnya tersangka.

Apeng, tersangka korupsi terbesar dalam sejarah Republik Indonesia, lari keluar negeri, status tersangka;

Ferdy Sambo, Jenderal Polisi, status tersangka.

Benny Tjokro, tersangka korupsi pencucian uang Asabri dan Jiwasraya;

Kasus korupsi di Garuda, dugaan korupsi di pertamina yang diduga melibatkan petinggi KPK (sudah mundur, kasus gelap) dan banyak lagi lainnya yang tidak muat untuk di tulis satu persatu. Termasuk fenomena umum yang belum masuk ranah hukum positif, namun pasti telah masuk dalam ranah hukum Ilahi.

Semua itu hanya sedikit dari fenomena ketika jiwa seseorang dikuasai hawa nafsunya.

Jiwa yang dikuasai hawa nafsu, adalah jiwa yang di dalamnya Ruh telah dikalahkan oleh hawa nafsu.

Syahdan, dalam diri manusia itu ada dua kekuatan yang bertarung memperebutkan “kerajaan jiwa” atau “negeri”.

Penguasa yang sah adalah Ruh dengan wazir (pembantunya) adalah akal. Dan kekuatan oposisi adalah hawa nafsu dengan wazir adalah syahwat.

Tat kala Ruh dan akal yang menguasai kerajaan jiwa, maka kerajaan itu aman sentosa, damai bahagia. Namun jika penguasa yang sah ini dikudeta oleh hawa nafsu dengan pasukan syahwatnya, maka menderitalah negeri itu. Kerajaan jiwa menjadi kacau balau, stress di sana sini.

Di dalam negeri yang di kuasai oleh hawa nafsu dan syahwat, kerusakan terjadi disana-sini. Tidak ada hukum yang tegak, karena aparat hukum berupa akal sehat telah lumpuh. Tidak ada keadilan, karena ruh yang memutus telah dipenjara.

Hawa nafsu memimpin negeri dengan pandangan buta melihat kebenaran, tuli dan marah jika mendengar kritik. Yang buruk di sangkanya baik, yang baik disangkanya buruk.

Hawa nafsu dan syahwat tidak pernah puas, tidak pernah kenyang, tidak pernah bersyukur, tidak sabar, dan tidak mengenal keikhlasan, selalu riya dan pamrih. Tidak mau meninggalkan kursi kekuasaan tat kala sudah terlanjur berkuasa, apa pun dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan.

Lalu bagaimana Ruh dan Akal bisa kembali mengendalikan jiwa? Mengambil alih kekuasaan negeri? Ruh mesti menghadap Rabb-nya, bertaubat atas kelalaiannya, kesalahannya, agar Rabb-nya memberinya uluran pertolongan, membebaskannya dari penjara, dan memberinya pedang tauhid untuk memusnahkan musuhnya.

Taubat, ya taubat bagi Ruh, taubat seorang pemimpin negeri, itulah jalan mengatasi pemberontakan/kudeta hawa nafsu dan syahwat pada suatu negeri.

Oleh : Hasanuddin – Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini