Jangan Jadi Hewan! Perkuat Interpretasi Dengan Budaya Baca-Tulis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Joni Purba

MUDANews.com, Medan (Sumut) – Saat ini Indonesia memang sedang mengalami kondisi politik yang tidak stabil. Kemajemukan masyarakat Indonesia pada saat ini dimanfaatkan sebagai media politisasi oleh para elit yang memegang kekuasaan. Hingga pada akhirnya keberagaman masyarakat Indonesia menjadi semakin rentan terhadap isu SARA yang “dimainkan” oleh elit politik. Secara sosiologis isu SARA adalah isu yang sangat sensitif untuk memicu timbulnya gesekan yang pada akhirnya menimbulkan konflik.
Namun isu SARA juga merupakan cara yang sangat efektif untuk mengukur dan memetakan kekuatan politik. Sehingga secara sengaja para elit politik di Indonesia memelihara konflik tersebut untuk kepentingan politiknya. Secara sosiologis hal ini disebut dengan fungsional konflik. Di mana konflik dengan  sengaja dipelihara oleh seorang atau sekelompok aktor sosial dengan tujuan tertentu.

Seperti kondisi yang terjadi saat ini masyarakat Indonesia sedang digegerkan dengan statement seorang Gubernur DKI Jakarta yang disangka melecehkan kitab suci agama Islam. Secara kebetulan maupun disengaja hal tersebut dilakukan di tengah momentum politik dan kemudian menjadi permasalahan di tengah masyarakat Indonesia. Walaupun statement tersebut terindikasi sangat jelas berbau pelecehan, namun di tengah kondisi perpolitikan DKI Jakarta yang secara sosial politik berimbas pada tingkatan nasional, maka hal tersebut dijadikn sebagai media propaganda untuk menjatuhkan posisi lawan politik (baca: Ahok). Hal ini berimbas pada terpecahbelahnya masyarakat Indonesia dari tingkatan elit hingga ke masyarakat luas antara pro dan kontra Ahok. Seolah-olah masyarakat di tingkat bawah memiliki keterlibatan secara langsung dengan konflik yang dibangun. Padahal secara tidak langsung mereka telah tergerus kesadarannya dengan wacana yang dikembangkan oleh elit politik.

Hal ini semakin diperparah dengan kondisi internal masyarakat Indonesia yang masih belum dewasa memaknai arti demokrasi. Ketidakdewasaan tersebut salah satunya diakibatkan oleh kondisi masyarakat indonesia yang masih lemah dalam membudayakan budaya baca-tulis. Ditengah arus globalisasi yang tidak mengenal toleransi terhadap interpretasi masyarakat yang tidak dewasa, masyarakat Indonesia seharusnya terlebihdahulu mambudayakan budaya baca-tulis agar tidak tergerus dalam era digital yang sangat “kencang”. Hal ini sangat perlu agar masyarakat lebih matang dalam mengakses informasi dan menginterpretasikannya dalam kehidupan sosial.

Secara sosiologis masyarakat maupun individu berinteraksi dan bertindak dengan menginterpretasikan simbol-simbol yang beredar ditengah masyarakat tersebut. Simbol yang dimaksud adalah pemaknaan simbol dalam arti yang sangat luas. Simbol tersebut dapat diartikan sebagai media penyampaian pesan yang dapat direspon oleh individu dalam masyarakat melalui daya interpretasi. Hal inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Daya interpretasi setiap individu berbeda-beda sesuai dengan pemahaman yang didapatnya dari berbagai media yang berkembang dalam masyarakat.

Contoh, seorang anak yang sedang bermain-main dengan bantal guling. Anak tersebut dengan riang memeragakan bagai mana seseorang menunggang kuda. Tentu saja hal ini tidak dapat kita artikan (interpretasikan) sebagai hal yang tanpa makna. Hal ini dapat kita interpretasikan dengan, anak tersebut sedang berimajinasi sebagai penunggang kuda yang handal dengan menganggap bantal guling sebagai kudanya. Hingga pada akhirnya orang tua dari anak tersebut dapa mengambil sikap dengan mengikuti pola tingkah laku anak tersebut agar imajinasinya dapat berkembang. Begtu juga dengan kondisi lainnya yang harus kita interpretasikan secara matang agar kita dapat bersikap lebih bijak dan tidak salah arah.

Bahaya Kesalahan Interpretasi

Di zaman perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini menjadikan kita tak mampu lagi memiliki kesadaran sepenuhnya atas apa yang kita perbuat. Hal ini disebabkan oleh kelemahan kita dalam menginterpretasikan segala maCam bentuk informasi yang kita terima dalam pikiran. Secara tidak langsung kita telah terbawa arus wacana yang digiring oleh orang atau kelompok yang memiliki kepentingan terhadap kebutuhan massa yang terorganisir, dalam hal ini tak terlepas dari kepentingan politik. Hal ini lah yang penulis sebut dengan manusia telah menjadi hewan, dengan kehilangan daya interpretasinya sebagai salah satu tonggak utama pembeda antara manusia dengan hewan.

Hal ini sangat berbahaya bagi kita secara individu, terlebih lagi sistem sosial yang ada dalam lingkungan kita. hal ini dapat menyebabkan kita dapat terjerumus dalam agenda politik yang belum tentu, bahkan sama sekali tidak menguntungkan bagi diri kita secara individu maupun kelompok.

Contoh kasus di atas merupakan contoh yang nyata bagi kita untuk dapat kita ambil (interpretasikan) secara mendalam. Masyarakat Indonesia yang majemuk pada akhirnya terbelah dengan atau tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri dengan isu dan wacana yang dikembangkan oleh para elit politik yang ingin mengambil keuntungan dari lemahnya daya interpretasi masyarakat yang dengan begitu saja terbawa arus wacana yang diarahkan.

Untuk itu maka memperkuat budaya baca-tulis di tengah masyarakat sangatlah penting. Budaya baca-tulis lah yang mampu mendewasakan masyarakat Indonesia agar tidak tergerus dalam wacana propaganda politik yang dapat mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat itu sendiri. Ditengah kondisi sosial politik Indonesia yang tidak kondusif kematangan interpretasi masyarakat sangat menentukan arah kemajuan bangsa yang lebih baik.

Penulis adalah alumnus dari Departemen Sosiologi FISIP USU

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini