JPKP ke Mahkamah Agung, Ajukan Judicial Review untuk Merevisi SK BPN Nomor 42 dan 44

Breaking News

Keonaran di Media Massa ?

Kontroversi Yusril

Terobosan Prof YIM !

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Dengan kondisi yang diduga berketidaksesuaian regulasi dan peraturan perundangan undangan terhadap SK BPN No. 42/HGU/BPN/2002 dan 44/HGU/BPN/2002 berkaitan dengan kata yang tertulis Izin Pelepasan Aset dimohonkan untuk direvisi menjadi Penghapusbukuan.

Hal ini diduga tidak berkesudahan dengan UUPA No.5 Tahun 1960 yang saat ini selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran tanah.

Ketidaksesuaian ini pula selanjutnya bertentangan pula dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, dan juga Peraturan Menteri Keuangan No. 96/PMK.06/2007.

Serta JPKP mendapatkan kesimpulan yang kuat setelah mempelajari isi dari Legal Opinion Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor B-2431/N.2.1/Gp.2/3/2017 tertanggal 10 Maret 2017.

Rudy Chairuriza Tanjung selaku Ketua Dewan Pengurus Wilayah Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan Sumatera Utara (DPW JPKP Sumut) mendaftarkan Judicial Review tersebut ke Mahkamah Agung dan diterima langsung oleh Bidang Penelaahan Berkas Perkara Hak Uji Materi di Gedung Mahkamah Agung, pada Jum’at (21/1/2022) lalu.

“Pendaftaran Judicial Review inipun dilaksanakan setelah mendapatkan rekomendasi dari Maret Samuel Sueken selaku Ketua Umum JPKP saat Rakernas JPKP Ke VII di Taman Mini Indonesia Indah Tanggal 15 Januari 2022 yang lalu, yang dihadiri langsung Bapak Moeldoko selaku Pembina JPKP dan juga Kepala Staf Presiden Republik Indonesia,” kata dia kepada mudanews.com, Senin (24/1).

Dalam hal ini Rudy Chairuriza Tanjung berkesempatan menjelaskan sedikit perihal yang menjadi dasar atau acuan dalam pengajuan Judicial Review, beliau mengatakan apakah HGU yang sudah berakhir izin masa berlakunya dan tidak diberikan izin perpanjangan lagi, lahan atau tanah tersebut masih menjadi Asset sebuah perusahaan ?

“Sementara dapat dijelaskan bahwa HGU yang telah berakhir dan tidak diberi izin perpanjangan, secara otomatis menyandang status Tanah yang dikuasai negara,” ungkapnya.

Ironinya yang hadir di Sumatera Utara, sambungnya, penerima daftar nominatif untuk lahan Bekas HGU (lahan dikuasai negara) harus membayar ganti rugi kepada perusahaan bekas pemegang HGU, dan perusahaan tersebut menerbitkan Surat Perintah Bayar (SPP) untuk membayar sejumlah uang ganti rugi ke perusahaan bekas pemegang HGU, untuk ganti rugi lahan yang disetorkan ke nomer rekening perusahaan.

“Hal ini sungguh sangat mengkhawatirkan terhadap tidak tegak dan kokohnya regulasi peraturan perundangan undangan berjalan karena SK BPN tersebut diatas diduga tidak berkesesuaian dengan peraturan perundangan undangan di Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini