Gelombang PHK Bergema, Pengamat: Tantangan Kedepan Berat, Situasi Ekonomi Tidak Menentu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Pengamat Ekonomi Gunawan Benjamin mengatakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau karyawan dirumahkan merupakan kabar yang bergema belakangan ini. Ada banyak perusahaan nasional orientasi ekspor seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mem-PHK karyawannya. Di Sumut sendiri sejumlah perusahaan orientasi ekspor juga melakukan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja.

“Fenomena lainnya seperti penurunan penjualan eceran khususnya untuk barang-barang tahan lama (sandang, perabotan) juga mengalami penurunan. Ada banyak pekerja informal seperti pedagang bahan pangan/sembako, kuliner, grosiran, hingga pedagang kaki lima lain yang semakin banyak. Kalau dilihat dari sisi makronya, ekspor-impor Sumut selama periode Januari-Mei 2023 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu juga mengalami penurunan. Turun 19.03% untuk ekspor dan 12.24% untuk impor,” kata Benjamin di Medan, Jumat (21/7/2023).

Selain itu, ungkapnya, ada tren penurunan harga komoditas unggulan Sumut seperti sawit dan karet. Dan laju pertumbuhan ekonomi Sumut juga mengalami perlambatan di kuartal pertama sebesar 4.87% (YoY), dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal keempat 2022 sebesar 5.26% (YoY). Semua menunjukan bahwa situasi ekonomi Sumut dalam tekanan meskipun masih mampu tumbuh positif.

“Tetapi bagaimana mungkin disaat secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Sumut melambat, namun justru tingkat kemiskinannya mengalami penurunan? Jawabannya memang tidak terlepas dari intervensi pemerintah yang berupaya untuk menekan kemiskinan ekstrim ke angka 0. Meskipun konsekuensi dari kebijakan tersebut membuat pembangunan ekonomi fisik, seperti infrastruktur atau konstruksi serta pembangunan fisik lainnya menurun skala prioritasnya,” ujarnya.

Bantuan sosial menjadi salah satu alasan mengapa daya beli masyarakat miskin relatif terjaga, dan mampu mengurangi jumlah angka kemiskinan baru. Nah, kalau begitu dimana letak masalahnya sehingga yang kita rasakan sejauh ini seakan berbeda, dibandingkan pencapaian pemerintah dalam menekan angka kemiskinan?

“Saya menilai kita tengah berhadapan dengan penurunan pendapatan maupun pengeluaran dari masyarakat menengah ke bawah. Satu sisi pemerintah menyelamatkan masyarakat miskin untuk keluar dari kemiskinannya, namun justru di sisi lain ada penurunan pengeluaran di level masyarakat menengah, yang belum masuk dalam kategori miskin. Saya menyimpulkannya seperti itu,” kata Benjamin.

Benjamin mengambil contoh begini, misal satu keluarga di Sumut yang beranggotakan 5 orang memiliki 2 orang yang bekerja. Masing masing diasumsikan memiliki pendapatan 4 juta rupiah atau 8 juta per keluarga. Jika salah satu di PHK, maka penghasilannya masih 4 juta perbulan yang berarti masih diatas garis kemiskinan 3.2 juta di Sumut. Sehingga keluarga tersebut tidak masuk dalam kategori masyarakat miskin. Jadi di PHK bukan lantas membuat keluarga tersebut masuk kategori miskin BPS.

“Tetapi itu hanya contoh saja, realita di lapangan bisa sangat berbeda. Sehingga kunci pengendalian inflasi dan penciptaan lapangan kerja tetap menjadi pilar utama agar masyarakat tidak masuk dalam jurang kemiskinan. Jadi jangan berpuas diri dengan penurunan angka kemiskinan saat ini. Tantangan kedepan masih sangat berat, terlebih situasi ekonomi tengah tidak menentu. Dimana ketidakpastian ekonomi global saat ini justru mengarah kepada kemungkinan kinerja ekonomi yang lebih buruk,” pungkasnya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini