Likuditas US Dolar Turun, Waspadai Gangguan Ekonomi yang Lebih Besar di Tanah Air

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Kita memang harus mewaspadai adanya potensi likuiditas valas (US Dolar) yang turun belakangan ini. Indikator dari OJK dimana LDR (loan to deposit ratio) valas bank umum yang naik ke level 87.79% dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya di level 78.39%, sementara LDR valas Bank BUMN naik ke level 95.09% dari 83.1%, ini menjadi indikasi yang kurang baik.

Hal itu dikatakan Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Rabu (14/9/2022).

Dikatakan Benjamin, terlebih LPS juga menyampaikan bahwa dana pihak ketiga (DPK) valas perbankan per Juli 2022 turun 6 Triliun rupiah. Permintaan kredit valas yang tinggi di tahun ini jidak tidak mampu dipenuhi akan memicu terjadinya penambahan hutang valas yang nantinya akan turut dihitung sebagai hutang Negara. Meksipun yang melakukan penambahan hutang tersebut adalah industri swasta.

“Selain itu, windfall dari kenaikan harga komoditas ekspor tanah air yang belakangan harga komoditasnya mengalami penurunan, juga berpotensi menyulut terjadinya tekanan pada kinerja mata uang rupiah. Sejauh ini memang Rupiah masih cukup stabil dikisaran 14.921 per US Dolar, atau masih dibawah level psikologis 15.000 per US Dolarnya,” jelas Benjamin.

Dalam dua hari terakhir ini, kata Benjamin, memang mengalami pelemahan. Yang saya kuatirkan adalah jika likuiditas yang mengering tersebut secara konsisten terus mengalami peningkatan.

“Salah satunya dipicu oleh harga komoditas global yang mengalami penurunan belakangan ini. Indikasi kuatnya ada di harga minyak mentah dunia, dimana terjadi penurunan dikisaran $86 per barel dari posisi tertingginya dikisaran $120 per barel di tahun 2022,” ujarnya.

Sejauh ini, lanjut Benjamin, harga batubara yang mengalami kenaikan seiring dengan permintaan yang tinggi akibat krisis energy di eropa. Harga batubara masih bertengger dikisaran $438 per ton.

“Tetapi komoditas ekspor seperti sawit (CPO) mengalami penurunan dikisaran 3.800 ringgit per tonnya. Padahal di bulan Mei sempat menyentuh 7.000 ringgit per ton,” ujarnya.

Benjamin mengatakan jika perbankan kita tidak mampu memenuhi kebutuhan valas untuk pembiayaan. Bank Asing akan menjadi alterative pembiayaan bagi pengusaha. Ini bisa membuat hutang bertambah, dan rentetan masalah lainnya adalah potensi pembengkakan hutang karena rupiah berpeluang terdepresiasi.

“Depresiasi pada mata uang Rupiah juga tengah dialami seiring dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika ditambah dengan capital outflow di pasar obligasi tanah air,” kata Benjamin.

Lebih lanjut dikatakan Benjamin, menarik DHE (devisa hasil ekspor) yang tersimpan di Negara lain memang bisa menjadi solusinya, walaupun bukan perkara mudah.

“Akan tetapi saya menggaris bawahi bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi sebelumnya justru mengurangi beban mata uang rupiah pada hari ini. Bayangkan jika harga BBM subdisi tidak dinaikkan, maka konsumsi BBM akan naik dan permintaan valas akan lebih tinggi dari posisi saat ini,” tambahnya.

Terakhir Benjamin mengungkapkan Resesi yang mengancam sejumlah Negara besar belakangan ini jelas memperlihatkan kepada kita kemungkinan ancaman serupa yang bisa saja terjadi di tanah air.

“Jadi sejumlah kemelut yang terjadi saat ini, memberikan gambaran kepada kita bahwa mengendalikan rupiah ini urgensinya lebih tinggi karena pelemahannya bukan hanya memicu terjadinya pembengkakan hutang, tetapi justru bisa menyeret kita pada potensi krisis yang lebih besar,” tandasnya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini