Rupiah Melemah ke 15.000, Bisa Jadi BI Akan Naikkan Bunga Acuan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin mengatakan sejauh ini pelemahan mata uang Rupiah di pasar spot pada dasarnya sudah diperkirakan jauh hari oleh banyak ekonom.

“Saya menilai pelemahan Rupiah tersebut terbilang wajar, bahkan bisa dikatakan masih lebih baik dibandingkan dengan pelemahan mata uang di Negara berkembang lainnya. Terlebih The FED atau Bank Sentral AS justru telah menaikkan bunga acuan secara agressif, dan masih akan agresif hingga tutup tahun 2022,” kata Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Rabu (6/7/2022).

Benjamin mengatakan, mungkin yang dikuatirkan adalah potensi terjadinya guncangan pasar yang lebih besar jika terlambat mengantasipasi. Belajar dari kebijakan yang dilakukan oleh The FED.

Menurutnya, tingginya laju tekanan inflasi belakangan ini di AS juga buah dari sedikit terlambatnya kebijakan The FED, yang seharusnya dilakukan dengan menaikkan bunga acuan lebih awal.

“The FED sebelumnya justru diwacanakan lebih melihat data ketenaga kerjaan sebagai tolak ukur menyesuaikan bunga acuan, ketimbang melihat perubahan kenaikan harga. Meskipun saat ini situasinya sudah berbeda,” ungkapnya.

Dikatakan Benjamin, banyak Negara di dunia yang juga sudah menaikkan besaran bunga acuannya mengikuti langkah The FED tersebut. Namun menurut hemat saya pelemahan Rupiah saat ini sebaiknya dijadikan bahan pertimbangan untuk menaikkan besaran bunga acuan BI atau BI 7 DRR. Bukan menjustifikasi bahwa BI harus menaikkan besaran bunga acuannya.

“Masih ada sekitar 2 minggu kedepan untuk terus mengevaluasi kemungkinan kenaikan BI 7 DRR. Jadi tidak perlu panik berlebihan. Saya berpendapat kalau pelemahan rupiah ini memang memberikan andil besar terhadap potensi kenaikan laju inflasi di tanah air. Bahkan pelemahan rupiah juga besar pengaruhnya terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, yang bisa bermuara pada penambahan jumlah angka kemiskinan,” jelasnya.

Benjamin juga menilai bahwa pelemahan Rupiah ke 15 ribu juga masih dalam batas wajar. Dan jika dilakukan stress test, saya melihat kondisi ekonomi maupun perbankan masih kuat menghadapi tekanan rupiah jika melemah sampai 17 ribuan per US Dolar.

“Tetapi berbalik lagi, melihat situasi terkini, dimana ekonomi tengah berhadapan pada ancaman inflasi tinggi dan pertumbuhan menurun atau stagflasi, BI bisa saja tidak mau terlambat dalam mengantisipasi kemungkinan gejolak makro ekonomi,” kata Benjamin.

Jadi di bulan Juli ini, bebernya, BI memang berpeluang untuk menaikkan bunga acuannya. Rapat kenaikan bunga acuan BI di bulan ini juga lebih cepat dari rapat yang akan diambil oleh The FED.

“Jadi pada dasarnya ada resiko yag muncul jika The FED naikin bungan acuan namun BI justru tetap mempertahankannya. Tetapi keputusan menaikan bunga acuan tersebut sebaiknya dilakukan dengan lebih melihat kepentingan nasional ketimbang wacana kenaikan bunga yang dihembuskan oleh banyak orang,” kata Benjamin.

Sebagai contoh, jelasnya, kita harus melihat kemungkinan kebijakan setelah Bunga dinaikkan oleh BI. Khususnya yang terlihat dari kinerja mata uang Rupiah nantinya. Kalau BI menaikkan bunga acuan sementara Rupiah mampu bertahan di angka 15 ribu per US Dolar.

“Maka kenaikan bunga acuan bisa diterima, ketimbang membiarkan Rupiah melemah lebih dalam lagi. Jadi mudharatnya bagi ekonomi perlu kita hitung disini. Pada dasarnya menaikan bunga dan membiarkan Rupiah melemah ini sama buruknya bagi pertumbuhan ekonomi,” kata Pengamat Ekonomi Sumut itu.

Tetapi setidaknya, tambahnya, kita bisa menilai, mana yang lebih mudharat jika kita memilih salah satu kebijakan tersebut. “Namun untuk saat ini saya menilai membiarkan rupiah melemah memang berpeluang memberikan resiko ataupun mudharat yang lebih besar dibandingkan dengan menaikkan bunga acuan,” kata Benjami mengakhiri. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini