Sri Mulyani dan Luhut Beda Sikap Soal Resesi Ekonomi Picu Kebingungan Publik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Ancaman resesi di Indonesia terlihat di depan mata setelah pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2020 minus 5,32 persen. Kondisi itu diperkuat dengan kasus virus corona di Indonesia masih belum ada tanda-tanda menurun.

Di tengah keadaan tersebut, pemerintah sepertinya belum satu suara dalam memandang perekonomian ke depan. Seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku harus waspada. Sementara Menteri BUMN Erick Thohir serta Menko Maritim dan Investasi Luhut Panjaitan tetap optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III.

Lalu, apakah perbedaan pandangan tersebut bakal mempengaruhi upaya pemulihan perekonomian di tengah ancaman resesi?

“Kalau saya melihat sebenarnya dengan tidak adanya satu suara jadinya menambah skeptical publik khususnya ke pemerintah,” kata Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet saat dihubungi kumparan, Selasa (18/8).

Yusuf menjelaskan rasa skeptis atau ketidakpercayaan publik sebenarnya sudah mulai terlihat saat pemerintah melakukan new normal di tengah kasus yang masih meningkat. Tak heran, di saat new normal saat ini masyarakat masih belum banyak yang beraktivitas.

Untuk itu, Yusuf mengharapkan pola komunikasi para menteri bisa lebih baik. Sehingga segala kebijakan yang dikeluarkan bisa diikuti dengan baik oleh masyarakat.

“Nah dengan adanya pola komunikasi yang tidak searah menurut saya akhirnya menambah rasa skeptical masyarakat terhadap penanganan COVID dan juga pemulihan ekonomi. Menurut saya perlu satu suara dan perlu jujur bahwa kondisinya memang seperti ini,” ujar Yusuf.

Yusuf menegaskan belum satu suaranya para menteri dalam memandang ancaman resesi memang tidak secara langsung menggangu kinerja. Namun persepsi publik harus tetap diperhatikan. Pemerintah harus melihat sesuai dengan data yang ada.

“Nah kalau kita lihat Bu Sri Mulyani cenderung waspada karena memang kalau dilihat dari data selain data pertumbuhan ekonomi di kuartal II yang sudah terkontraksi, sampai saat ini memang jargon new normal yang didorong pemerintah memang belum sepenuhnya mendorong ekonomi pulih secara cepat,” terang Yusuf.

“Sehingga Kemenkeu mengeluarkan revisi pertumbuhan ekonomi kembali karena dari data-data misalnya penjualan riil belum membaik, aktivitas masyarakat juga belum sepenuhnya pulih,” tambahnya.

Sumber : Kumparan.com

- Advertisement -

Berita Terkini