Dehidrasi dan Perubahan Situasi Picu Sakit Jemaah Haji

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Madinah – Sebelas pasien tengah dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daker Madinah dalam rentang enam hari kedatangan jemaah haji Indonesia di Kota Nabi. Empat di antaranya sudah diperbolehkan pulang untuk kembali ke hotelnya.

Kasubsie KKHI Daker Madinah Ika Nurfarida mengatakan, kebanyakan pasien yang dirawat adalah karena kambuhnya penyakit yang sudah dibawa dari Tanah Air.

“Kekambuhan itu dipicu oleh dehidrasi, serta perubahan situasi dan lingkungan,” ujar Ika di KKHI Madinah, Rabu (2/8).

KKHI Daker Madinah melalui Tim Promotif dan Preventi (TPP), kata Ika, terus mengedukasi jemaah dan petugas kloter agar mengantisipasi potensi dehidrasi. Menurutnya, pesan edukatif sudah diberikan sejak dari Tanah Air hingga jemaah sampai di Tanah Suci.

Beberapa pesan yang diberikan kepada jemaah antara lain agar minum dalam jumlah cukup, minimal 300cc setiap jam bagi jemaah yang normal, tanpa menunggu rasa haus.

“Jika jemaah punya faktor risiko, seperti kencing manis, harus minum lebih dari itu,” tuturnya.

Kemudian, melengkapi diri dengan Alat Pelindung Diri (APD), misalnya berupa semprotan wajah, masker, topi, alas kaki, dan membawa kurma.

Terkait faktor perubahan lingkungan, Ika mengatakan kalau itu bisa terjadi karena terjadinya perubahan lingkungan fisik, antara lain suhu yang sangat panas hingga hampir dua kali lipat dari suhu di Tanah Air. Selain itu juga pergerakan jemaah dalam jumlah yang sangat besar, kondisi yang sebelumnya tidak ditemukan di Tanah Air.

Perubahan lainnya berupa pola aktivitas. Sebagian besar jemaah Indonesia hidup di wilayah pedesaan dan jarang bepergian. Mereka juga tidak terbiasa berketemu banyak orang. Saat berangkat haji, mereka langsung pergi ke lokasi yang sangat jauh dan bertemu banyak orang dan dengan layanan fasilitas yang berbeda.

Tidak adanya pendamping ikut menambah adanya perubahan lingkungan yang drastis dan memicu terjadinya disorientasi. Ditambah lagi dengan tidak adanya dukungan dari teman satu regu dan rombongan.

“60 persen jemaah kita adalah lansia yang butuh pendamping. Praktiknya, yang muda tidak sabar menunggu yang tua karena secara mobilitas lambat. Ini seringkali jemaah lansia ditinggal di kamar atau di masjid sehingga menimbulkan kebingungan bagi mereka,” tuturnya.

Secara biologis, jemaah yang sakit karena mengalami disorientasi bisa ditangani dengan melakukan assessment fisik dan memberi obat. Di samping itu, dilakukan juga pendekatan fisiologis untuk menenangkan pasien sekaligus memberikan support psikoterapi.

“Secara social, kami juga minta bantuan media untuk ikut mengedukasi ketua regu, rombongan, teman sekamar, dan pendamping agar bisa memberikan lingkungan yang kondusif bagi jemaah yang memiliki faktor risiko disorientasi,” tandasnya. (ka)

- Advertisement -

Berita Terkini