Salah Kaprah Cara Pandang “Atasan” dan “Bawahan”

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa dengan panggila Cak Nun-seharusnya sudah layak sih dipanggil Gus Nun, tapi karena tidak ada nasab ke arah sana (Gus) ia pun merasa tidak jadi masalah. Mungkin dia juga tak akan menerimanya, karena dia tetap merasa orang biasa-biasa saja.

Cak Nun pernah menyinggung manusia Indonesia ini mempunyai cara pandang garis budaya vertikal dan tidak memiliki cara pandang garis budaya horizontal. Dalam bukunya yang berjudul Surat Kepada Kanjeng Nabi, Cak Nun menuliskannya seperti ini:

“Seorang Camat tentu saja memandang Bupati sebagai atasannya. Tetapi, celakanya rakyat juga memandang pejabat sebagai atasan. Ini warisan sejarah feodal dan dikukuhkan pula oleh refeodalisasi budaya, yang rupanya diperlukan oleh politik birokrasi negara kita. Dan karena itu lebih celaka lagi karena pejabat yang memandang rakyat sebagai bawahan. Hal ini bahkan terefleksikan ke dalam idiom kebebasan: rakyat selalu disebut rakyat biasa, sehingga pejabat pastilah rakyat luar biasa.

Orang miskin merasa bahwa orang kaya adalah “atasan”-nya. Ulama menganggap bahwa jamaah adalah “bawahan”-nya. Otoritas dalam bidang apa pun hampir selalu melahirkan tata budaya hierarkis-vertikal. Murid sekolah secara psikologis melihat guru adalah “atasan” dan susahnya banyak dosen juga meletakkan mahasiswa seolah-olah “bawahan”-nya.

“Festival” salah kaprah seperti itu mungkin tak pernah Anda bayangkan seberapa kerugian yang ditimbulkannya. Baik kerugian fungsi, kerugian ilmu, kerugian kreativitas, serta kerugian kesejahteraan secara menyeluruh. Kalau seorang guru melihat muridnya sebagai bawahan, prospek kreativitas keilmuan cenderung menumpul, baik pada guru maupun murid. Kalau seorang pegawai memandang masyarakat sebagai “orang di dataran bawah” kata prinsip fungsionalitas berokrasi menjadi rusak, filosofi negara dan rakyat menjadi terbalik, sementara itu tinggal kita hitung berapa defisit proses, kerugian demokrasi, bahkan berapa jumlah uang anggaran yang menjadi tidak efektif terhadap kehendak pembangunan yang sebenarnya.

Yang paling menyedihkan ialah kenyataan bahwa banyak kalangan masyarakat umum, bahkan kaum terpelajar dan birokrat, yang tidak memahami bahwa itu semua salah kaprah. Generasi mutakhir kita dilahirkan, dibesarkan, dan dididik oleh atmosfer yang sedemikian, dan mereka tidak cukup menyadari bahwa seharusnya tidaklah demikian.”

Pendapat Cak Nun di atas masihkan terlihat dalam praktik masyarakat kita saat ini? Suatu warisan masyarakat feodal yang harus diruntuhkan. Rakyat bukanlah bawahan para birokrat negara. Rakyat harus sadar, dalam era-Demokrasi ini, kekuasaan penuh untuk memilih dan menentukan pejabat negara berada ditangannya rakyat.

Rakyat harus mempunyai kemampuan untuk memandang orang lain, baik Presiden, Menteri, Dewan Rakyat, Gubernur, Wali Kota, Bupati, Camat, PNS, Guru, Dosen, Ulama, Petani, Nelayan, Buruh dan status sosial lainnya dalam posisi sejajar di kiri atau di kanannya. Naluri dan cara pandang “atasan” dan “bawahan” yang dididikkan lewat warisan masyarakat feodal harus dibuang jauh-jauh.

Pemahaman masyarakat kita terhadap budaya, sosial, hukum, politik, ekonomi, agama dan aspek lain harus ditingkatkan dan disadarkan dari “virus-virus” feodalistik dan juga doktrinisasi birokrat negara, agar supaya supaya rakyat mengetahui dan mempunyai nilai fungsi dan juga nilai statusnya tersendiri.

Rakyat bukan bawahan pejabat negara. Rakyat adalah wakil Tuhan di muka bumi ini. Kalau ndak sependapat dang jadi masalah (tidak jadi masalah), terserah tu ho (terserah Anda)! Opini Sumut, Ibnu Arsib Ritonga

Penulis adalah Kader HMI Cabang Medan

- Advertisement -

Berita Terkini