Berdandan Juga Harus Jujur Terkait HTI

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Akhir-akhir ini kita jumpai banyak orang HTI yang dandanannya tidak mencerminkan kondisinya. Misalnya bukan alumni Al-Azhar berdandan ala Azhari. Bukan kiai berdandan ala kiai. Bukan habib berdandan ala habaib. Ada lagi dandanan tidak serasi dengan fikrah yang dianutnya. Misalnya bersarung ala kiai Aswaja Nahdliyah, tapi menyuarakan khilafah. Bersorban ala Habaib tapi membenci ulil ‘amri.

Ada juga yang menghiasi dirinya dengan mengenakan gelar-gelar keagamaan seperti ajengan, buya, kiai, tuan guru, guru dan sebagainya tapi kualitas ilmu, adab, akhlak dan ruhiyahnya jauh dari mencerminkan gelar-gelar tersebut. Gelar-gelar keagamaan diberikan masyarakat sebagai bentuk pengakuan atas kualitas orang yang digelari. Gelar-gelar itu tidak bisa diberikan kepada diri sendiri atau kepada orang lain yang satu komunitas.

Sudah bisa ditebak, motivasi dibalik dandanan dan bergelar keagamaan yang dikenakan oleh ustadz yang tidak sesuai dengan keadaan dirinya, untuk menarik perhatian orang. Akan tetapi itu adalah suatu bentuk penipuan. Yang jelas, yang pertama kena tipu adalah dirinya sendiri, baru kemudian ada orang-orang awam ikut tertipu.

Keserasian dandanan dengan kondisi seseorang menunjukkan kejujurannya. Di dalam kitab Lathaiful Minan, diceritakan bahwa ada seorang ahlu shuffah yang meninggal dunia. Di sampingnya ditemukan dua keeping dinar. Melihat itu Rasulullah SAW bersabda, “ini dua barang di neraka.”

Syaikh Abul Hasan asy-Syadziliy mengatakan bahwa banyak orang yang meninggal dunia pada masa Rasulullah SAW dalam keadaan meninggalkan harta, namun Rasulullah SAW tidak berkomentar seperti komentar di atas. Sebab, mereka tidak menyembunyikan sesuatu yang berlawanan dengan penampilan lahirnya. Sementara orang itu menampakkan kemiskinan padahal memiliki dua dinar. Ketika apa yang disembunyikannya tampak, Rasulullah SAW berujar, “ini dua barang dari neraka”

Ada cerita menarik tentang kejujuran ulama waliyullah dalam berdandan. Abul Qasim al-Junaid seorang waliyullah pemuka para sufi guru al-Hallaj. Sewaktu para ulama syariat sepakat untuk menghukum al-Hallaj, al-Junaid sedang mengenakan jubah sufi. Karena itu ia tidak mau membubuhkan tanda tangan. Tapi Khalifah mengatakan mereka butuh tanda tangan al-Junaid.

Lalu al-Junaid pulang dan ganti pakaian dengan sorban dan jubah ulama syariat. Setelah itu al-Junaid menandatangani putusan para ulama syariat tersebut. Al-Junaid menulis: “Kami memutuskan berdasarkan hal-hal yang terlihat. Sementara tentang kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang Maha Tahu.” Kisah ini diceritakan Syaikh Fariduddin al-Attar di dalam kitab Tadzkiratul Auliya Bab al-Hallaj.

Amal akan diterima jika dilakukan dengan benar dan jujur (shidq). Kata Syaikh Ibnu ‘Athaillah: “Jika kau menghendaki pahala untuk suatu amal, kau dituntut untuk mengerjakannya dengan benar dan jujur (shidq).” Sebab, balasan tidak akan diberikan kecuali untuk amal yang sempurna dari sisi wujud amal itu sendiri dan dari sisi niatnya. Semua terkandung dalam kata shidq yang berarti benar dan jujur, jelas Syaikh Zarruq di dalam syarah al-Hikam-nya.

Amal yang manipulatif dengan dandanan dan gelar keagamaan yang tidak sesuai, terlihat seolah-olah sedang mengerjakan ketaatan, akan tetapi belum tentu diterima. Lebih lanjut Syaikh Ibnu ‘Athaillah bertutur, “Mungkin Dia membukakan untukmu pintu taat, dan tidak membukakan untukmu pintu penerimaan.” Kata Syaikh Zarruq, “amal tanpa penerimaan adalah seperti tidak beramal.” Na’udzubillah min dzalik.

Oleh : Ayik Heriansyah – LD PWNU Jabar

- Advertisement -

Berita Terkini