Kiai Daring Wahabi Pening

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Ayik Heriansyah, LD PWNU Jabar

MUDANEWS.COM – Wabah Covid-19 zhahirnya musibah, batinnya pelajaran. Syaikh Ibnu ‘Atha’illah berujar:

اَلاَكـْواَنُ ظاَهِرُهاَ غِرَّ ةٌ وَباَطِنُهاَ عِبْرَةٌ فاَالنَّفْسُ تَنْظُرُ اِلىَ ظاَهِرِ غِرَّتِهاَ والقَلبُ يَنْظُرُ اِلٰى باَطِنِ عِبْرَتِهاَ ٭

“Alam semesta ini lahirnya berupa tipuan, dan batinnya sebagai peringatan, maka hawa nafsu melihat lahir tipuannya, sedangkan mata hati memperlihatkan peringatan/akibatnya”.

Wabah ini membalikkan arus dan gelombang keberagamaan umat Islam di Indonesia. Kaum Wahabi terbelalak menyaksikan ulama-ulama di Arab Saudi memfatwakan bid’ah dalam ibadah.

Dulu mereka petantang petenteng mem-bid’ah-kan shaf-shaf shalat yang renggang, yang ada sela 1-5 sentimeter. Kini mereka diam, mendengar fatwa ulama “salafi”, shaf shalat harus minimal berjarak satu meter.

Dulu mereka menolak mashlahah sebagai illat dalam penetapan hukum syari’ah karena dianggap berdasarkan hawa nafsu. Apalagi dalam ibadah mahdlah. Orang-orang yang menjadikan mashlahah sebagai illat dituding berpaham liberal. Jongos negara-negara kapitalis Barat. Dicap musuh Islam.

Kini mashlahah menjadi illat bukan saja dalam masalah muamalah dan jinayah melainkan juga dalam ibadah mahdlah. Disadari atau tidak, menjadi ijma ulama dan umat.

Karena berdasarkan mashlahahlah, shalat lima waktu dianjurkan di rumah, bukan berjama’ah di masjid. Shalat jum’at ditiadakan, diganti shalat zhuhur di rumah masing-masing. Umrah dilarang. Shalat idul fithri ditiadakan. Dan lain sebagainya.

Hikmah lainnya, media sosial yang beberapa tahun ke belakang dikuasai kaum Wahabi dan varian-variannya, menjadikan media sosial dijejali ilmu pengetahuan agama yang dangkal, tapi dianggap shahih. Penuh ujaran kebencian dan hujatan kepada kelompok yang berbeda. Menjadikan umat semakin bingung. Akan tetapi, kini berbalik arah.

Sejak himbauan tetap di rumah aja, pengajian-pengajian daring para kiai pesantren bak jamur di musim hujan. Para santri menyiarkan live pengajian kitab kuning yang diasuh kiainya. Masuknya para kiai ke arena media sosial bukan kehendak mereka.

Mereka sebenarnya “dipaksa” oleh takdir Allah swt, berupa wabah Covid-19. Sedangkan beban tanggung jawab menyebarkan ilmu, membina dan membimbing umat tetap ada di pundak mereka.

Dengan pengajian daring, kiai tetap bisa beramal tanpa harus meninggalkan keadaannya sebagai kiai. “Jika Dia menghendakimu, niscaya Dia membuatmu beramal tanpa perlu mengeluarkanmu (dari keadaan)” (Syaik Ibnu ‘Atha’illah dalam kitab al-Hikam).

Kiai rame-rame ngisi pengajian daring membawa arus dan gelombang baru di media sosial. Arus dan gelombang wasathiyah yang menggantikan dominasi arus dan gelombang ekstrim dan radikal. Kiai daring, Wahabi jadi pening.

 

- Advertisement -

Berita Terkini