Menjabat Tangan Sendiri

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Setiap diri manusia mempunyai empat hal yakni; harapan, keinginan, kegelisahan, dan penderitaan.

Siapapun, sekaya dan semiskin apapun, empat hal tersebut pasti ada dalam diri mereka.

Allah SWT memerintahkan kita untuk berusaha dan berpikir kreatif agar tidak terpenjara oleh empat hal.

What?
Untuk apa??
Agar manusia mampu terus bereksistensi dalam kehidupan ini.

Manusia sering dirundung masalah baik yang sederhana dan ringan sampai yang berat.

Dalam posisi tertentu, rasa lelah menggelayut. Seolah masalah datang datang silih berganti dan tiada henti.

Tapi sebenarnya, masalah terbesar kehidupan kita itu bukan “masalah” tapi justru jika “tanpa masalah”.

Lho, Kok bisa??
Begini, Manusia di turunkan Allah SWT ke dunia di awali dengan ‘masalah’.

Nabi Adam a.s dan Siti Hawa menghuni dunia ini dimulai dengan sebuah “masalah”. Putra Nabi Adam a.s saling membunuh juga karena “masalah”.

Masalah yang muncul itulah cara Allah SWT agar manusia “menjadi sesuatu” tanpa kehampaan dan kekosongan.

Dalam “proses menjadi” itulah manusia akan berkenalan, berbuat, bertindak dan berpikir serta mengambil ibrah.

Dalam proses “menjadi”, manusia di paksa untuk berhadapan dengan manusia yang sama-sama punya keinginan, harapan, kegelisahan, dan penderitaan yang berbeda, sehingga antara manusia satu dengan manusia lainnya mengalami benturan kepentingan. Di sinilah terkadang manusia lupa diri dan lupa akan dirinya.

Kita harus berdamai dengan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah. Kita dituntut mengenal diri dan menjabat tangan sendiri. Dengan mengenal diri maka kita akan mengenal aturan.

Mengenali diri bukan hanya melalui cermin atau foto, namun perjalanan ke dalam diri. Itulah kenapa orang buta yang tak pernah melihat wajahnya tapi mampu mengenali dirinya sendiri.

‘Menjabat tangan sendiri’ tidak hanya sekedar fisik, tetapi pada kedalaman jati diri.

Memasuki diri, keakuan atau ego yang transenden diperlukan kemampuan untuk mengenali jati diri secara benar, yaitu dengan memahami, memasuki dan menyatu dalam substansi jati diri yang aktual, yang terbangun dari berbagai komponen yang membentuk suatu kepribadian dalam aktualitas tindakan atau karyanya, baik komponen yang fisik maupun komponen yang metafisik. (Prof. Dr. Musya Asy’ari: 2002)

Allah SWT berfirman;

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.”
(QS. Lukman: 20).

Seseorang yang sudah mampu mengenal dirinya, selalu digambarkan sebagai sosok yang arif, bijaksana, suka menolong, dan penuh pesona kebaikan.

Sebaliknya, orang yang masih jauh akan pengenalan diri, hidupnya belum berdamai dengan siapapun, ia arogan, sembrono, dan semaunya sendiri.

Seseorang yang telah mengenali dirinya sendiri akan memiliki kesadaran untuk menjaga sikap, lisan, tulisan, ujaran, dan meminimalisir semua tindakan yang dapat menyulut permasalahan.

Di akhir kata, marilah kita menjaga silaturahim dan hubungan kita dengan sesama dengan melakukan hal-hal yang baik dan menyayangi saudara kita. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

عن أبي همزة أنس بن مالك رضي الله عنه – خادم رسول الله صلى الله عليه وسلم – عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه ” رواه البخاري ومسلم

“Dari Abu Hamzah Anas Bin Malik Rodhiyallahu ‘anhu pembantu Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: ” Tidak sempurna Iman seseorang sehingga ia mencintai saudaanya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. ” [HR Al-Bukhori dan Muslim]

Bukti sayang kita dengan saudara kita diantaranya tidak melakukan tindakan memfitnah. Jika kita mendengar berita tidak baik tentangnya, maka tabayunkan. Karena kita ketahui bersama Allah SWT bersabda bahwa;

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ

“Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (QS. Al Baqarah:191).

Fitnah muncul karena adanya prasangka yang tidak di tabayunkan. Sebagian prasangka kita itu banyak tidak benarnya dan Allah mengibaratkan dengan memakan daging saudara kita sendiri. Na’udzubillahi min dzalik.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hujarat:12)

Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.

Penulis : Hindun Shalihah

- Advertisement -

Berita Terkini