[Cerpen] Isu dan Perempuan Pembawa Berita

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Sugih Hartono

MUDANews.com – Apa yang aku bebankan pada diri ini sedang ia bukanlah beban nyata untuk kita timang-timang atau malah kita keluhkan semua ada muasalnya, ya muasal bisa saja di sebut sebagai perkara atau bahkan disebut masalah paling nyata juga paling tabu dan semu untuk diungkapkan. Aku penggembala, tinggal di rumah tumpangan, hanya sebatas tumpangan saja. Rumah yang hampir rubuh itu dibuatkan oleh bapak sebelum hijrah. Sebagai penggembala tentu aku tak memiliki waktu untuk bersama teman-teman bermain, kulitku legam sebab selalu bermain dengan matahari dan kambing, rambut pirang dan baju kumal tentu sudah biasa menjadi pandangan indah atau malah dicemooh jikalau orang-orang kota melihatnya bahkan mungkin bisa jadi aku dianggapnya orang gila, tak tau etika atau mungkin malah aku hanya seorang yang sangat menjijikkan untuk dilihat.

Kulanjutkan untuk berpikir menyadarkan diri, mungkin karena banyaknya orang yang menilai, otakku sudah terbiasa menerima cemoohan semacam itu, yah buat apa dibebankan tak perlulah. Semua ini ialah perjalanan yang harus dilalui dengan senang hati, aku percaya apa kata bapak ketika sedang mendongengkanku sebelum atau ketika istirahat, “Hidup ini hanya sekali, jangan menghabiskan waktu untuk yang tidak berarti, menghabiskan waktu untuk uang, menghabiskan uang untuk kesehatan, semua sudah ditentukan takarannya masing-masing Le”. Tapi terkadang juga merasa jengah dengan cemoohan kadang juga melawan saja pikirku. Pernah sesekali tetanggaku menyatakkan kekata yang tak layak yah mungkin menurutnya sebagai lelucon tapi ini masalah hidup, sekali lagi ini masalah hidup bukan hanya sekedar lelucon. “Memang anak semacam ini mau jadi apa, bisanya ya ngangon kambing” lalu tertawa. Aku hanya diam saja, mungkin dia akan puas tetapi sekali lagi ini bukan masalah puas atau lelucon tapi ini masalah apa yang dia bicarakan itu untuk siapa? Untukku, untuk anak yang masih lugu.

Siapa yang tak kenal tetanggaku itu, perempuan garang yang ntah terbuat dari apa hatinya, setiap hari hanya mengolok-olok tetangganya saja, sekalipun tetangganya berkecukupan tetap saja menjadi tema empuk baginya, seandainya ia seorang penulis mungkin bisa saja dia menjadi maestro. Dian namanya. Perempuan berbadan kurus, kulintya putih karena panu yang sudah beranak binak, bibirnya yang tipis itu mungkin terbuat dari karet, lentur dan tak pernah copot meski tak pernah diam,  Sudah hampir setengah abad umurnya tetapi masih saja tidak ada perubahan prilakunya, sudah banyak pula yang menjadi tumbal gunjingannya, yah mungkin yang mengada-ada atau hanya sekedar kabar kabur yang dinyatakan oleh dirinya sendiri. Banyak pula orang tak senang dengannya karena prilakunya itu.

“Biarkan saja nanti juga mati sendiri” ucap Parlah perempuan yang sering digunjingkan karena ia tak pernah ater-ater apapun kepada tetangganya itu,baik di hari raya maupun di hari biasa. Bagaimana ia mau ater-ater sedang untuk memberi makan keluarganya saja ia kekuarangan. Ada lagi mbok Jinem, tetangga empat rumah dari Dian itu, suatu kali ia berangkat kerja dan bertemu Dian dijamban kesayangannya, mbok Jinem tak menegurnya lantas ia menjadi kabar yang empuk di seantero dukuh Kijing. “Dasar wong sinting itu Ti, ntah apa yang dipikirnya semua orang tak pernah benar di matanya” ucap mbok Jinem pada rekannya Narti.

“Hanya karena tak disapa saja sudah kayak kemalingan uang jutaan rupiyah” tambah mbok Jinem pada Narti.

“Sudah sabar Mbok, biarkan saja tak usah difikirkan nanti kalau lambenya itu sudah coplok kan diam sendiri” jawab Narti.

“Ya memang begitu juga bener, tapi apa ya kamu tahan dengan kabar yang membuat hati ini perih? Hampir satu desa, tidak hanya di rumah, tapi sampai ke tengah sawah hampir semua orang mendengarnya” jawab mbok Jinem dengan suara yang gemetar seakan tak mampu menahan rasa sedihnya air matanya mulai turun ke pipi keriputnya.

“Sudah mbok, bukan hanya sampean yang dapat perlakuan seperti itu, hampir semua warga dukuh Kijing ini sudah kena berita seperti itu, bahkan ada yang nyaris pegatan sama lakinya gegara Dian itu, diamkan saja mbok” Narti masih menenangkan mbok Jinem yang terlihat sangat terpukul dengan berita yang menimpanya itu.

Mbok Jinem masih sesegukkan dan diam, ia merasa apa yang dikatakan Narti ada benarnya, tak disangkalnya kata-kata Narti dibiarkan merasuki syaraf-syarafnya dan hatinya berusaha menerima. “Terimakasih Ti, mungkin lebih baik seperti katamu, diamkan saja” mbok Jinem menjawabnya setelah pikirannya memantabkan hatinya.

***

Kardi

Lelaki itu hanya seorang diri, tak punya keluarga tak punya sanak saudara tersebab pula ia anak tunggal dan keluarga dari bapak ibunya entah dimana, sampai usianya hampir tengah baya itu tak tau dimana sanak saudaranya karena bapak ibunyapun tak pernah menceritakan hal itu. Mungkin karena keadaan ekonomi yang tak memadai sehingga ayahnya malu mungkin juga saudaranya yang tak mengakui keberadaan ayahnya. Ia hanya memelihara kambing, tak banyak tapi cukup membingungkan untuk mencari ketika di lepaskan di hutan. Rumah punya dan hanya itu yang di tinggalkan oleh keluarganya selain beberapa kambing. Rumah yang hampir seusianya itu sudah bisa di tebak bagaimana keadaannya. Atab dari daun alang-alang yang hampir setiap tahun digantinya sendiri dan disulamnya sendiri. Dinding rumah yang hanya diikatkan pada tiang-tiang penyangga dan terbuat dari bambu-bambu wungkul saja. Sebenarnya sangat menarik, tapi mungkin juga sangat memprihatinkan.

Kesehariannya ngangon kambingnya tetapi disela itu tak ada yang tau bahwa ia seorang yang memiliki kerelegiusan yang luar biasa. Dia sederhana saja, membaca dipelajarinya saat sekolah dasar meskipun ia putus dikelas empat saja, alasannya sederhana tak punya biaya untuk melanjutkan sekolah itu. Membaca tulisan-tulisan arab dan surat-surat pendek itu di dapat dari ayahnya. Ayahnya yang mengajarkan mengaji dan mendalami ilmu keagamaan Sehingga tak di ragukan lagi ilmu agamanya itu.

Di dalam hutan, sambil ngangon ia menjelma menjadi tumbuhan, menikmati aroma-aroma kesejukkan alamiah, menenangkan diri dari bising dukuh yang dikotori perempuan jalang itu. Hampir tiap hari ia menghabiskan waktunya di dalam hutan bersama kambing-kambing kesayangannya, kadang membawa seruling yang di buatnya sendiri sebagai penghibur diri. “Disini, di tempat ini aku lebih memahami nikmatnya hidup” bisiknya dalam kesendirian, angin berhembus lembut seolah mengerti yang dibisikan dalam diam itu. Di helanya nafas dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan.

“Tak ada kebisingan dari perempuan itu, serasa indah dan tenang” lagi bisiknya lalu matanya dibukakan. Saat membuka mata ia terkejut bukan kepalang perempuan yang baru disebutnya ada tak jauh dari tempatnya bersila.

“Ah penyakit ini” dipandanginya perempuan itu, matanya yang kadang pula di palingkan.

“Apa katamu tadi?” ucap Dian sambil bertolak pinggang di hadapannya

“Ah tidak, aku hanya bilang, seandainya dukuh Kijing ini tak ada kau, mungkin sedamai dalam hutan ini” ucapnya pelan

“Oh oh oh jadi menurutmu, aku biang dari semua masalah di dukuh ini?” jawabnya ketus

“Tidak, hanya rasanya banyak yang terganggu oleh cerita darimu” masih dalam keadaan semula

“Ah itu hanya pemikiranmu yang kolot itu, mereka menyukai cerita yang ku ceritakan dan itu semua benar kenyataannya juga begitu kan? Kau saja yang iri, mungkin beberapa orang juga selain kau!”

“Mungkin saja!” jawabnya ringan

“Nah benarkan kataku, kau saja yang tidak tau berita. Kau kan miskin, ntah mau jadi apa kau ini, pantas saja tidak ada yang hendak menikah denganmu, perempuan mana yang mau menikah dengan lelaki kere sepertimu, tak punya kerjaan, kolot, dekil begitu, ha ha ha”

“Aku cukup bahagia seperti ini, semua yang ada di dukuh ini juga akan bahagia seperti ini kecuali kau dan tidak ada kau!”

“Ngomong denganmu itu tak berkelas, sudah kau disini saja dengan kambingmu itu kere gelandangan! Ha ha ha” perempuan itu berlalu dan menghilang di balik rumpun bambu manis di samping parit kecil perbatasan dukuh kijing.

Kardi hanya memandangi punggung perempuan itu, sambil menelan ludah pahit. Ia tak kaget juga karena sudah terbiasa dengan celoteh semacam itu dari mulut Dian,  dan memang prilakunya seperti itu laksana wartawati yang sedang mencari berita hangat, itu semua sudah menjadi pekerjaannya sehari-hari sejak dulu.

***

Siang itu terjadi kegaduhan, di tengah sawah, mbok Jinem lagi-lagi menjadi tumbal olok-olok sebagian pengikut Dian. Hanya masalah bantuan yang diberikan pak Lurah kepada nya.

“Ah pasti mbok Jinem pake nyogok itu, kalau tidak masa dia bisa dapat dan kita tidak” kata Tarsi.

“eh kamu jangan bilang sembarangan begitu Tar, aku nggak pernah menyogok apapun!” jawab mbok Jinem

“Alah nggak usah ngeles deh mbok,  semua sudah jelas kan, ya nggak teman-teman” ucap Tarsi pada beberapa teman yang ada di sawah itu. Beberapa orang yang tak dapat jatah dari pak Lurah ikut menyahuti ucapan Tarsi dan memberikan tanggapan yang sama.

Mbok Jinem hanya diam, tak mau membalas apapun karena ia tau pastinya jikapun disangkalnya berulang kali akan tetap seperti itu juga. Mbok Jinem hanya mengelus dadanya dan beberapa orang disebelahnya mulai berbisik-bisik. Begitulah keadaan yang selalu terlihat di masa ini. Ada saja berita yang menaikkan seseorang ada juga yang menjatuhkan orang bahkan tak ada yang menyangka Pak Lurah pun telah mendapati berita yang sama. Berita-berita yang dibuat seolah hanya ingin mengangkat naik dan lalu menjatuhkannya.

***

- Advertisement -

Berita Terkini