Paradigma Budaya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Ahmad Arief Tarigan

MUDANews.com – ANDAI kolom ini sebuah hamparan tanah tempat kita duduk dan mengobrol, mari kita mulai merapikannya. Sisa reranting pohon patah dan rerumputan yang menonjol dirapikan. Serangga dan binatang kecil yang mungkin bisa mengganggu kenyamanan dihalau untuk mendekati. Mantapkanlah tempat dudukan supaya kita bisa mengobrol dan saling mengisi satu sama lain. Bukan apa-apa, tema diskusi yang bermanfaat terasa kian dibutuhkan dewasa ini.

Bagi ‘orang sekolahan’, pertama sekali perlu membentuk paradigma di dalam dirinya. Biar secara formal menekuni bidang keilmuan apapun, paradigma menjadi hal mendasar dan penting dipahami. Apa itu paradigma? Ia adalah sekumpulan pandangan atau ‘keyakinan’ yang beroperasi secara laten dari dalam diri seseorang. Paradigma menentukan bagaimana seseorang itu menerima, mengolah, dan mendeskripsikan atau mewacanakan ulang hal-ihwal ataupun peristiwa yang ditemuinya. Paradigma terbangun dari pengalaman hidup yang dijalani dan tersusun (rapi atau acak) di dalam kepala dan berkontribusi besar membentuk mindset dan pola komunikasi verbal/non verbal.

Mengenai ‘budaya’, hal ini sudah sering dan berulangkali saya wacanakan. Tentang paradigma (cara pandang) kebudayaan yang, menurut hemat saya, acapkali kurang proporsional. Tidak ditempatkan pada porsinya. Budaya yang dimengerti sebagai sebuah ‘benda mati’ atau lebih kepada aktivitas luar dan permukaan. Aktualisasi budaya yang dipraktikkan lewat ‘pameran-isasi’ di etalase-etalase industri kebudayaan. Industrialisasi produk budaya yang lebih berorientasi pada profit ekonomi-material (uang) ketimbang nilai pemberdayaan kemanusiaan. Kebudayaan seakan terbatas pada material dan dijadikan komoditi bisnis. Terkesan menganggap aktivitas kebudayaan tanpa pantulan ekonomi kurang dianggap penting. Oleh karenanya, lebih afdol bila disandingkan bersama bisnis kepariwisataan dan sejenisnya. Kita semua bisa menyaksikan realitas ini secara gamblang di depan mata. Seolah-olah kebudayaan muncul belakangan dari praktik ekonomi-material.

Tidak salah, sama sekali tak salah menyandingkan aktivitas kebudayaan dengan dunia kepariwisataan. Justru ini merupakan salah satu strategi merawat keberlangsungan kebudayaan. Namun, keliru bila meletakkan kebudayaan sebatas itu. Ia sesungguhnya melampaui itu semua bahkan seluruh aktivitas manusia, baik secara immateril maupun materil, adalah kebudayaan itu sendiri. Maka anggapan bahwa kebudayaan sebatas ‘segala sesuatu yang kuno dan berbau etnisitas’ wajar dikatakan sebagai kekeliruan. Kebudayaan adalah sebuah ‘proses historis’ yang berlangsung terus-menerus, selama kehidupan manusia ada maka selama itu pula praktik berkebudayaan dilakukan.

Hakikat kebudayaan sejatinya bertumpu pada aspek kemanusiaan, yaitu sejauh mana manusia itu memaksimalisasi kualitas diri sebagai manusia. Kualitas kemanusiaan disini tentu saja ditinjau dari kemampuan olah pikir dan rasa yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Daya cipta, rasa dan karsa yang diwujudkan lewat hadirnya produk kebendaan. Peradaban dinilai dari tampilan produk kebendaannya namun hakikat sesungguhnya terletak pada tingkat olah pikir dan rasa sebagai cerminan kualitas kemanusiaan.

Majelis pembaca budiman, kehadiran kolom ‘Reflaksi Budaya’ ini, tentunya ikut meramaikan pewacanaan kebudayaan kita. ‘Refl-aksi’ sebagai penggabungan dari kata ‘refleksi’ dan ‘aksi’ semoga dapat mewakili paradigma kebudayaan sebagaimana dimaksudkan di awal tadi. Kebudayaan yang sebermula dimulai dari pengalaman indrawi manusia atas alam lingkungan sekitarnya. Lantas kemudian, pengalaman itu dibawa masuk ke dalam ruang batinnya. Diperlakukan sebagai data untuk diolah secara reflektif-meditatif yang kemudian diekstraksi menjadi nilai-nilai. Kumpulan nilai yang dimaknai serta di-aksi-kan lewat berbagai bentuk aktivitas (ritual, tatanan sosial, dsb.) dan kebendaan. Terwujudlah kebudayaan yang terejawantahkan ke berbagai sisi kehidupan manusia dari waktu ke waktu hingga kini. Inilah paradigma budaya itu. Paradigma yang bersemayam di ‘kamar sebelah dalam’ diri kita sebelum beralih ke halaman berikutnya. Salam budaya.

Penulis adalah Pengamat dan Pegiat Sosial Budaya

- Advertisement -

Berita Terkini