Mau Menang Kontestasi Politik? Ini Syaratnya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, JAKARTA – Saat memberi sambutan dalam HUT Partai Perindo, Presiden Jokowi menyampaikan, “Tadi bisik-bisik dengan Pak Hary Tanoe. Beliau bilang saya itu menang Pilkada di Solo dua kali. Pilkada DKI sekali. Lalu pilpres dua kali. Rahasianya apa? Kalau mau tahu, siapin dulu kopi atau teh nanti saya beri tahu,” ujar Jokowi sambil bercanda. Pada saat itu pula muncul istilah “jatah Prabowo”.

Jadi, soal jatah itu konteksnya saat Jokowi ikut dalam kontestasi. Karena Jokowi sudah dua periode dan tidak bisa mencalonkan lagi, maka ya mungkin menjadi “jatahnya” Prabowo. Karena dua periode Jokowi berhadapan langsung dengan Prabowo dan berhasil menang, sekarang Jokowi tidak ikut pilpres. Jadi, termasuk untuk menang, tidak sekadar cuma dapat pujian presiden incumbent.

Dalam bukunya berjudul “Strategi Menang Dalam Pilkada”, Agung Wibawanto, Sang Penulis, menjelaskan bahwa antara pilkada dengan pilpres itu sama saja. Substansinya sama-sama bagaimana merebut hati dan pikiran rakyat. “Ini bicara proses menang ya. Kalau soal bagaimana gaya kepemimpinan setelah menang, ya itu lain lagi,” jelas Agung.

Agung menerangkan ada tiga faktor utama dalam pemenangan seorang kandidat, yakni populer, elektabilitas tinggi dan didukung mesin partai. Meski pengalaman menunjukkan adanya calon independen pada pemilu daerah bisa menang, namun tetap saja ada beberapa partai yang mendukungnya. Karena berharap kalau calon independen itu menang bisa dapat manfaat dari kekuasaan.

Kombinasi dari ketiga faktor itu akan mempengaruh seberapa besar peluang kandidat untuk menang. Peluang terbesar, menurut Agung adalah jika memenuhi ketiga faktor tersebut. Selanjutnya, setidaknya memiliki dua faktor populer dan elektabilitas tinggi. Dan yang paling kecil peluangnya jika hanya bermodal populer saja, “Populer itu belum tentu dipilih rakyat,” jelas Agung.

Namun demikian, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam kontestasi pemimpin politik baik tingkat daerah maupun nasional (presiden), salah satunya yakni “pasangan”. “Pasangan sedikit banyak punya pengaruh dalam meningkatkan suara pemilih. Makanya terkadang, seorang kandidat belum bernilai apa-apa sebelum diketahui siapa pasangannya. Contohnya ya Anies itu,” terang Agung.

“Berbeda dengan Gibran di Solo, misalnya. Dia berpasangan dengan siapapun peluang menangnya sangat besar karena populer, semua orang kenal karena putera presiden, otomatis elektabilitasnya tinggi karena juga sosoknya yang humble, dan terakhir diusung dan didukung mesin partai besar yakni PDIP. Kita tahu Solo adalah “kandang” Banteng moncong putih,” tegas Agung lagi.

Pilwalkot Solo dianggap Agung juga ada faktor keberuntungan, tidak adanya sosok yang bisa mengimbangi kepopuleran Gibran. Selain itu, PDIP juga disokong oleh partai-partai lain sehingga perolehan suara Gibran bisa sangat tinggi. Dari itu, Agung menyoroti bagaimana peluang Anies pada pilpres 2024 yang menurutnya bisa berpeluang besar untuk menang tapi juga gagal, bahkan untuk menjadi capres.

Modal utama Anies menurut Agung adalah populer, “Hampir semua orang tahu siapa Anies Baswedan. Namun populer itu bisa positif juga negatif. Kalau positif berarti orang memilihnya, tapi kalau negatif ya orang menolaknya. Hasil survei menunjukkan elektabilitas Anies selalu berada di tiga besar, bersanding dengan Ganjar dan Prabowo, artinya lumayan lah,” tutur Agung.

“Yang menjadi persoalan utama Anies adalah mesin partai pendukungnya. Koalisi tiga partai Nasdem, Demokrat dan PKS masih cukup riskan. Koalisi itu belum solid terutama soal siapa cawapres mereka, Demokrat dan PKS masih tarik menarik. Koalisi itu juga tidak diikat oleh ideologi yang jelas, hanya karena kepentingan pilpres sesaat. Kita tahu PKS bersama ormas Islam garis keras begitu membenci Nasdem, hingga Metro TV mendapat cap tv kafir dsb,” tambah Agung.

Jadi menurut Agung konsolidasi tingkat internal koalisi tersebut belum selesai. Secara hitungan suara dari ketiga partai tersebut pun terhitung kecil sekitar maksimal 25% an. Hal ini akan merepotkan jika semua partai lain sepakat berkoalisi mendukung calon lawan Anies, jika (katakanlah) lolos babak kedua. Untuk itu, Agung mengatakan agar Anies fokus terlebih dahulu dengan koalisi partai pendukungnya, baru bicara meningkatkan elektabilitas.

Pada akhirnya, Agung menyampaikan bahwa dalam sistem pemilu langsung, sosok atau figur akan turut menentukan. Rakyat akan memilih figur seorang kandidat, bukan karena didukung partai A atau B, ungkap Agung. “Contoh termudah ya Jokowi. Betapa banyak relawan pendukung Jokowi yang itu bukan kader partai manapun. Mereka karena faktor figur Jokowi, bukan karena PDIP nya. Kalau sekarang, bisa dilihat pada Ganjar,” tutup Agung. (Red)

- Advertisement -

Berita Terkini