Astaga, PB HMI Ternyata Pernah Mendukung tuhan Orba!

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Menjelang diselenggarakannya Persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1973, satu tahun sebelum persidangan itu, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) periode 1971-1974 mengeluarkan Pernyataan tertanggal 13 April 1972 yang salah satunya berisi dukungan agar Sidang MPR memilih dan menetapkan kembali tuhan Orde Baru (Orba) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

Hal di atas dituliskan langsung oleh Akbar Tandjung dalam tulisannya yang berjudul “Partisipasi HMI dalam Pembangunan Bangsa 1971-1974” kemudian tulisan itu dimasukkan sebagai salah satu kumpulan tulisan dalam buku yang sudah tidak asing lagi bagi kita kader dan alumni HMI. Buku itu berjudul “HMI Menjawab Tantangan Zaman” dengan penyuntingnya Muchriji Fauzi HA bersama Ade Komaruddin Mochamad.

Akbar memberi alasan bahwa pernyataan dikeluarkan itu demi kepentingan pembangunan nasional sebagaimana dalam tulisannya. Ia menuliskan “Dalam rangka ikut menumbuhkan suasana yang menunjang iklim pembangunan dan pelaksanaannya secara lancar, maka diperlukan adanya kepemimpinan yang kuat, kestabilan sosial serta peran serta masyarakat. Menjelang diselenggarakannya Persidangan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973, setelah melihat situasi tanah air pada waktu itu, terdapat usaha-usaha untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 serta menggoyahkan kepemimpinan nasional, maka PB HMI mengeluarkan Pernyataan tertanggal 13 April 1972 tentang Lembaga Kepresidenan dan Masalah UUD 1945.”

Pada bagian lain, Akbar sendiri dalam tulisannya mengatakan dengan tuduhan gerakan Mahasiswa pada tragedi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pada 15 Januari 1974 dan aksi-aksi mahasiswa lainnya ditunggangi kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan nasional. Kepemimpinan nasional di sini maksudnya adalah tuhannya Orba, yaitu Soeharto.

Terlihat sekali dalam tulisan itu, bahwa Akbar yang pada masa itu sebagai Ketua Umum PB HMI sangat membela Soeharto. Dalam tulisan tersebut ia menuliskan “Sehubungan dengan terjadinya 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa MALARI, yang didahului dengan aksi-aksi protes mahasiswa pada waktu kedatangan Menteri Promo/Ketua I IGGI pada bulan September 1973 dan Pertemuan-pertemuan Dewan Mahasiswa di Bandung yang melahirkan “Petisi 24 Oktober” berisi evaluasi tentang strategi pembangunan, dinilai PB HMI di luar proporsi. Aksi-aksi mahasiswa yang meningkat dengan berbagai rangkaian diskusi, semakin terbukti tidak murni karena masuknya pengaruh kelompok tertentu yang tidak puas dengan keadaan pembangunan saat itu.”

Nah, sampai di sini Akbar lupa bahwa wajar saja mahasiswa melakukan aksi-aksi atas kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu. Tidak etis rasanya menuduh bahwa gerakan mahasiswa ditunggungi, apalagi kemudian membuat surat pernyataan dari PB HMI untuk menolak gerakan-gerakan mahasiswa. Herannya PB HMI pada masa itu mendukung kebijakan Orba pada masa.

Menurut saya, tidak sepenuhnya salah jika Akbar yang memimpin PB HMI pada masa itu pro terhadap pembangunan jika itu untuk kebaikan. Akan tetapi, jika dukungan politik langsung ditujukan pada MPR supaya Soeharto tetap menjadi Presiden RI adalah merupakan tindakan yang berlebihan melihat HMI adalah organisasi yang independen. Pernyataan 13 April 1972 tersebut menurut pendapat saya sudah “memperkosa” Independensi HMI.

Selanjutnya, PB HMI tampak jelas pada masa itu terlalu pro pada pemerintah Orba. Akbar sendiri memandang negatif aksi-aksi mahasiswa pada masa itu. Tidak heran jika, PB HMI pada masa tidak ikut memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah Orba pada peristiwa MALARI 1974.

Alhasil, tidak lama berselang waktu setelah menjadi Pimpinan PB HMI, Akbar menjadi bagian daripada Golkar dan telah mendapatkan jabatan-jabatan strategis di Golkar serta pemerintahan di zaman Orba. PB HMI masa itu Akbar menurut saya kaki tangannya Orba. Sungguh ini merupakan catatan buruk HMI sebagai organisasi independen terlibat politik kekuasaan di zaman Orba. Tidak heran saat ini banyak pengurus HMI tingkat pusat terlibat dalam Partai Politik, baik sebagai yang katanya Tenaga Ahli (TA) atau pun dijadikan “mata-mata” di HMI.

Implikasi ini banyak terlihat beberapa tahun belakangan. Yang terbaru adalah PB HMI saat ini secara semi meniru gaya Akbar. HMI pun terkesan mendukung Jokowi. Ini merupakan catatan yang perlu dievaluasi mengingat kembali bahwa HMI adalah organisasi Independen, bukan organisasi massa atau pun organisasi perpanjangan tangan partai serta bukan organisasi perpajangan tangan alumni-alumni HMI atauu orang lain yang berada di lingkaran kekuasaan.

Mungkin banyak kader-kader dan atau pun alumni-alumni HMI yang mengagumi Akbar Tandjung. Tapi bagi saya, tidak. Bagi saya Akbar adalah peletak “racun” politik di HMI. Seorang Lafran Pane sendiri tidak pernah menyatakan dukungannya terhadap kepentingan politik praktis apalagi yang berhubungan dengan jabatan kekuasaan seseorang. Lafran Pane menerima dan mendukung sesuatu hal pabila itu tidak menciderai Independensi HMI dan kepentingan ummat.

Apa yang diperbuat PB HMI saat itu menjadi beban berat HMI saat ini. Untuk mencuci kotoran itu kembali bersih tidaklah mudah, ditambah kondisi HMI saat ini yang tak kunjung islah. Kader-kader HMI saat ini harus benar independen dan tidak tercemari politik praktis, baik itu perintah senior yang penuh sarat kepentingan politik praktis maupun “tuhan” di masa kini.

HMI harus tetap menjadi organisasi yang independen dan organisasi perjuangan. Independen yang bergantung pada kebenaran, bukan pada pemerintahan. Berjuang untuk kepentingan ummat, bukan kepentingan pejabat.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini