Politisi Muda Sumber Petaka Negara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Bulan Agustus hingga Oktober 2019 adalah hari dimana Calon Legislatif (Caleg) yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik di tingkat daerah dan tingkat pusat, lewat Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 lalu diangkat sumpahnya. Mereka yang duduk di kursi DPR tentunya ada yang pendatang baru dan ada penghuni lama. Maksud dari pendatang baru adalah yang baru pertama kali terpilih, sedangkan penghuni lama adalah sebelumnya telah duduk di kursi DPR kemudian terpilih lagi.

Tentunya mereka berbagai ‘perahu’ yang berbeda, latar belakang yang berbeda, suku dan agama yang berbeda, status sosial yang berbeda, pendidikan yang berbeda, pengalaman dan keahlian yang berbeda, usia yang berbeda-beda, serta berbagai macam perbedaan lainnya. Segala perbedaan tersebut tentunya memiliki potensinya masing-masing.Seiring dengan potensi-potensi yang dimiliki, bukan berarti tidak ada kekurangan atau masalah.

Sebelum kita membicarakan salah satu perbedaan yang disebutkan tadi, yang menjadi sorotan pembicaraan sebagaimana judul tulisan ini, perlu penegasan bahwa siapa pun orang yang telah diamanahkan oleh rakyat menjadi wakil mereka, benar-benarlah memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Setelah dibukanya peluang lewat Undang-Undang yang mengatur bagaimana menjadi Calon Legislatif, baik pusat maupun daerah, tak terbendung lagi kaum muda atau politisi-politisi muda yang berusia 25 tahun sampai 35 tahun ikut andil di dalamnya. Bukan lagi hanya sebagai tim sukses, tapi sudah menjadi peserta pemilu.

Alhasil, tidak sedikit politisi-politisi muda tersebut, dengan segala bentuk perjuangan dan usahanya, terpilih menjadi Anggota DPR pada Pemilu 17 April 2019 lalu. Fenomena ini memang bukan hanya terjadi pada tahun ini, hasil Pemilu sebelumnya juga politisi muda tidak sedikit yang menduduki parlemen.

Dengan tidak sedikitnya politisi muda yang duduk di parlemen, baik itu pendatang baru dan penghuni lama, terdengar suara-suara keraguan (skeptis) terhadap mereka. Muncul pertanyaan-pertanyaan apakah mereka bisa bekerja melihat usia mereka yang masih dapat dikatakan muda? Mungkin muncul suatu perbandingan anggota parlemen yang terpilih sebelum dibuka peluang untuk kaum lewat Undang-Undang seperti saat ini. Muncul perbandingan kaum tua dan kaum muda, dengan segala sikap skeptis yang ditujukan pada politisi muda secara usia.

Sebagaimana statemen Marzuki Ali mengatakan bahwa anggota DPR muda sebagai sumber petaka bagi negeri ini. Lebih dari 50% dari anggota parlemen berusia muda yang diharapkan membawa perubahan dan perbaikan bagi negeri justru menjadi masalah baru. Sebagai contoh adalah Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Mallarengeng, Angelina Sondakh yang terjerat kasus korupsi. (Faisal Riza, 2019:122).

Benarkah statemen Marzuki Ali tersebut yang mengatakan bahwa anggota DPR muda menjadi sumber mala petaka bagi negeri ini dalam dunia politik? Atau itu tudahan belaka yang kurang tepat dengan mencontohkan beberapa politisi sebagai perwakilan (representatif) dari kaum muda?

Tanggapan Terhadap Statemen Marzuki Ali

Tanggapan ini bukanlah merupakan suatu sikap pembelaan (apologis). Tapi tanggapan ini mencoba untuk sedikit menguraikan dalam bentuk penjelasan jawaban atas sikap skeptis ditujukan kepada politisi muda yang duduk di parlemen. Pastinya juga tanpa panjang lebar menguraikan teori-teori politik yang berbentuk harapan yang disematkan pada kaum muda yang menjadi anggota parlemen atau menjadi politisi, hanya sekedarnya saja.

Pertama-tama perlu ditanggapi bahwa untuk representatif dari politisi muda yang disebutkan Marzuki Ali mengandung sumber petaka bagi negeri ini akibat tindakan kasus korupsi tidaklah dapat memenuhi dengan perbandingan banyaknya jumlah anggota parlemen usia muda, apalagi mereka tidak sedikit yang betul-betul berbuat untuk rakyat sesuai kemampuan dan keadaannya masing-masing.

Kiranya tidak perlu kita sebutkan siapa-siapa namanya di antara ribuan ratusan plotisi muda, baik di pusat maupun di daerah. Jika boleh membuat perbandingan, kaum tua yang duduk di parlemen lebih banyak tersandung kasus korupsi dari pusat hingga tingkat daerah. Rasanya juga tidak perlu untuk menguraikannya satu persatu yang terjerat korupsi. Cukuplah kita mengambil pelajaran dari tindakan itu sehingga politisi kita, baik usia muda dan tua tidak meniru perbuatan buruk tersebut.

Kemudian perlu kita tanggapi bahwa, kebijaksanaan seorang anggota parlemen tidak dapat secara mutlak diukur dari usia. Tidak selamanya sifat buruk psikologis pemuda ditujukan pada para politisi muda, karena di dalam politisi muda pasti unsur ada sifat-sifat baiknya. Tentunya pasti dengan catatan yaitu pemuda yang menjadi politisi harus berangkat dari ideology memperjuangkan nasib rakyat. Politisi muda tentunya memiliki potensi baik ketika dia menjadi anggota parlemen. Maka dengan kita simpulkan bahwa, sifat baik dan buruk tidak memandang usia, sebagaimana sakit tidak mengenal apakah seseorang itu masih muda atau sudah tua. Akan tetapi perlu pengendalian diri dari perbuatan buruk kemudian mengutamakan hal-hal yang positif.

Hal-hal positif yang kita maksud di sini adalah bagaimana politisi tua dan politisi muda dapat menjalankan dengan sebenar-benarnya tugas serta fungsinya sebagai perwakilan rakyat sebagaimana aturan hukum yang berlaku. Selanjutnya, benar-benar menjadi wakil rakyat yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi rakyat atas ketidak-adilan menimpa mereka. Lembaga parlemen jangan sampai dijadikan institusi penindasan dan memperkaya diri serta kelompok masing-masing. Secara hakikatnya, Anggota DPR saat duduk di parlemen tidaklah lagi menjadi perwakilan partainya walau partainya menjadi tumpangannya. Akan tetapi, ia berubah menjadi wakil rakyat, karena anggota parlemen bisa duduk karena atas suara rakyat lewat Pemilu.

Menjadi Politisi Muda Pembela Rakyat

Tidak menutup kemungkinan juga politisi muda dapat menjadi petaka bagi negara dalam perpolitikan, pembangunan bangsa dan negara, sebagaimana statemen Marzuki Ali. Hal itu terjadi apabila politisi muda tidak memiliki bekal ideologi politik yang mengandung nilai-nilai kebaikan, seperti membela rakyat yang telah memilihnya.

Menjadi politisi muda pembela rakyat adalah suatu keharusan karena jiwanya yang masih semangat membangun. Mentalitasnya yang kuat membuat politisi muda tidak takut pada apa pun demi membela rakyat. Ia bukan hanya sekedar politisi tapi harus juga mulai menjadi seorang negarawan. Dan bukan sekedar menduduki jabatan publik di lembaga-lembaga negara, akan tetapi dapat duduk bersama rakyat, mendengarkan serta memperjuangkan hak-hak rakyat.

Politisi muda harus benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat. Jangan sampai melupakan janji-janjinya kepada rakyat yang telah memilihnya. Kita tegaskan lagi, kepentingan rakyat harus berada di atas kepentingan partai politik yang mengusung. Politisi muda harus memiliki kualitas moral yang tinggi sehingga tidak terjebak pada jurang-jurang kehancuran.

Politisi-politisi muda yang mendapat amanah dari rakyat di Pemilu 17 April 2019 lalu, harus memiliki visi strategis yang jauh melihat ke masa depan rakyat dan negara. Ia (politisi muda) bekerja demi rakyat tanpa pamrih, karena menjadi politisi bukanlah semacam bentuk pekerjaan yang mendapatkan untung materi untuk pribadi dan golongan, akan tetapi lembaga perwakilan rakyat menjadi lembaga pengabdiannya pada rakyat. Sehingga politisi muda tidak menjadi sumber petaka bagi rakyat dan negara. Semoga!

Penulis adalah Ibnu Arsib ( Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Kota Medan )

- Advertisement -

Berita Terkini