Dibawah Lindungan Indonesia

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Muhammad Najib

MUDANews.com – Perkembangan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia cukup dinamis mulai dari jaman Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Dinamika politik pemilihan kepala daerah berubah-ubah seiring berkembangnya tuntutan masyarakat dan pengaruh iklim politik pada tiap masanya. Tak hayal, Perubahan sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan mengenai pemerintahan daerah. Pilkada secara langsung merupakan salah satu upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis serta sebagai langkah merealisasikan kedaulatan rakyat, yang notabene voting atau akumulasi angka yang berperan penting di dalamnya.

Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dengan hirarki kekuasaan yang terdapat dalam suatu sistem politik negara. Artinya akan terdapat sistem politik nasional yang didalamnya terdapat sub sistem politik daerah dalam bingkai sistem negara yang dianutnya. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Salah satu wujud dari demokrasi adalah Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19451. Pemilu di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang diikuti oleh 118 partai politik, organisasi, golongan dan perorangan.  Kemudian pada era orde baru pemilu dilaksanakan pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1999 untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Wakil-wakil rakyat itulah yang kemudian memilih presiden, bupati dan walikota yang dikenal dengan istilah demokrasi perwakilan. Kemudian sejak era reformasi, pemilu dilaksanakan pada tahun 2004, 2008 dan 2014 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten. Seiiring dengan lahirnya reformasi, ada sejumlah tuntutan untuk mengubah sistem pemilu dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi secara langsung dimana rakyat dapat memilih secara langsung presiden, wakil presiden, gubernur, walikota dan bupati. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22 Tahun 1999) memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen lokal (DPRD), termasuk kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Pilkada menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2015  dan menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2014.

Menurut UU No. 22 tahun 2014: Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana yaitu tidak memiliki ikatan perkawinan dengan petahana atau telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Sedangkan menurut UU No. 1 tahun 2015: Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Yang dimaksud dengan petahana adalah tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Namun dengan melihat perbedaan-perbedaan tersebut diatas, penulis mencatat adanya beberapa persamaan. Pertama, dalam pelaksanaan pilkada baik langsung maupun tidak langsung dilaksanakan secara demokrastis dengan mekanisme yang berbeda. Yang Kedua, kedua peraturan perundang-undangan tersebut mensyaratkan adanya uji publik bagi calon peserta. Materi uji publik adalah kompetensi dan integritas. Tujuan diadakanya uji publik tersebut untuk mendapatkan calon kepala daerah yang berkualitas. Ketiga untuk menghindari adanya konflik kepentingan kedua peraturan tersebut mensyaratkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh mempunyai ikatan perkawinan dengan  petahana.

Pilkada menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU No. 8 Tahun 2015) Ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 dirasakan masih terdapat beberapa inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala jika dilaksanakan, oleh karenanya perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut antara lain: penyelenggaraan pemilihan, tahapan penyelenggaraan pemilihan, pasangan calon, persyaratan calon perseorangan, penetapan calon terpilih, persyaratan calon dan pemungutan suara secara serentak.

Akhir kata penulis sedikit mengutip pernyataan dari Mantan Menteri Dalam Negeri M. Ma’aruf berpendapat bahwa pilkada langsung sebagai arana pembelajaran demokrasi bagi rakyat (civic education). Pilkada menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Lebih jauh Ma’aruf berpendapat bahwa pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi agar dapat diwujudkan. Karena, Kementerian Dalam Negeri mencatat sekitar 330 atau sekitar 86,22% kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Semoga Pemimpin-pemimpin yang terpilih disetiap daerah pada pilkada serentak ini adalah pemimpin yang adil dan profesional yang mampu menyejahterakan rakyat dn mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara ini aamiiin.

Penulis adalah Fungsionaris HMI Fakultas Syariah Dan Hukum UIN SUMUT

- Advertisement -

Berita Terkini