Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Silviyawati, Wizna Adillah, dan Riska Nadira (Mahasiswi Semester 3 STAI Al-Azhary Cianjur)

Setidaknya ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam masyarakat Islam, yaitu fanatisme terhadap mazhab dan fanatik anti terhadap mazhab. Orang yang fanatik terhadap suatu mazhab bahwa hanya mazhab yang dianutnya saja yang benar sedangkan mazhab yang lain salah. Atau ada yang tetap berpegang teguh pada cara berpikirnya, padahal ia tahu bahwa dalil-dalil alirannya lemah, sedangkan dalil-dalil aliran lain lebih dapat dipercaya. Atau ada pula yang berpendapat bahwa talfîq (mengubah pikiran) itu haram. Apalagi kelompok ini sangat memuja pendeta teladannya hingga menghina pendeta lain. Kelompok anti Madzhab berpendapat bahwa taqlîd haram bagi madzhab.

Mereka beranggapan bahwa taqlîd terhadap mazhabnya berarti menolak Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka menganjurkan seluruh umat Islam untuk merujuk langsung pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika mengadopsi Hukum Syariah, dengan tidak memilih perangkat ilmunya atau bahkan memperhatikan syarat-syarat ijtihad yang harus dilalui untuk mencapai tingkat mujtahid. Seringkali undang-undang yang mereka buat tampak sekuler. Mereka berani menentang pendapat para pendeta dan mengungkapkan pendapat yang benar-benar baru. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa empat madzhab yang sudah lama dikenal umat Islam adalah ajaran sesat dalam agama Islam, dan menurut mereka keempat madzhab tersebut sama sekali bukan milik agama Islam. Ada pula yang mengatakan bahwa kitab keempat mazhab tersebut adalah al-Kutub Al-Mushaddi’ah (kitab-kitab yang membawa kehancuran). Sikap dan keadaan ini menimbulkan perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Bahkan tidak jarang perbedaan pendapat justru berujung pada pertengkaran dan pertumpahan darah antar umat Islam lainnya.

Pada titik inilah menjadi penting untuk mengkaji persoalan mazhab ini secara lebih mendalam. Sebagian besar umat Islam dunia tetap mengikuti fatwa dan pendapat keempat imam Madzhab dalam urusan furû’iyyah. Sebagian umat Islam mengikuti arahan selain keempatnya, seperti mazhab Dzâhirî dan Syiah. Namun ada pula umat Islam yang memisahkan diri dari mazhab-mazhab tersebut, yaitu tidak menganut salah satu dari empat mazhab tersebut atau yang lainnya. Namun, mereka menerapkan pendapatnya. Hal di atas tentu saja membingungkan umat Islam yang telah lama mengikuti pendapat para imam Madzhabnya. Tentu menarik untuk menelusuri lebih jauh apa itu madzhab dalam struktur hukum Islam.

1. Pengertian Madzhab
Kata-kata madzhab adalah tinggi (bentuk) isim makan (kata-kata yang menunjukkan tempat) diambil dari Fi’il Madhi Dzahaba (zhab (yang artinya pergi. Dengan demikian madzhab artinya : a) Kata-kata lain yang mempunyai arti yang sama jika ini madzhab tersebut mempunyai: Maslak ( مسلك( , tharîqah ( قرئة (dan sabîl ( سبيل ), yang kesemuanya berarti jalan atau jalan raya) Inilah kata madhhab dalam bahasanya). Menurut konsep madzhab antara Umat Islam : beberapa fatwa – fatwa dan pendapat para ahli besar dalam bidang agama, ibadah dan lain-lain. Namun menurut Siradjuddin Abbas, madzhab adalah “Fatwa, atau pendapat imam mujtahid”. Dalam kitab yang sama, Syekh M.Said Ramadlan al-Buthi menegaskan bahwa pengertian madzhab melalui ungkapan adalah cara berpikir. /pengertian/pendapat bahwa imam mujtahid mendefinisikan hukum Islam dari Al-Qur’an dan al-Hadits. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa madzhab mempunyai dua pengertian, yaitu :

Pertama, madhhab berarti cara berpikir yang dianut seseorang atau metode ijtihad Mujtahid para imam untuk menentukan hukum suatu peristiwa berdasarkan Alquran dan Sunah.

Kedua, fatwa mazhab atau mujtahid menurut pendapat Imam Al-Qur’an dan al-Haditstentang hukum mengenai hal itu.

2. Historisitas Lahirnya Madzhab.
a. Terpecahnya Umat Islam untuk Golongan/Madzhab.
Pada periode Nabi Muhammad saw. masih kehidupan anak Islam masih bersatu, ketakziman bagian dalam seksi pedoman atau seksi syari’ah (Hukum Islam). Hal ini tidak lain karena adanya kekuasaan tertinggi renovasi resam dan aqidah yang secara menerus dipegang oleh Nabi sendiri. Beliaulah yang menetapkan dan mengurungkan resam yang kelahirannya, ketakziman berlapiskan tanda al-Qur`an atau berlapiskan kalimat beliau sendiri. Umat Islam muka periode itu tidak terbiasa berijtihad mengenai benda peristiwa yang belum terdapat nashnya. Para sekutu mengaku milik cukup pakai adanya Rasulullah seperti wadah bertanya. Jikapun sesekali terbiasa memperuntukkan hikmat, reaksi hikmat disampaikan untuk Nabi, tempo hari Nabi menyerahkan keputusannya.

Setelah Rasulullah meninggal kekuasaan tertinggi renovasi resam umatpun merebak untuk getah perca sekutu. Pada masa itu sesungguhnya cutel kelahirannya pengembangan-pengembangan resam atau istinbâth resam pakai hukum menyorongkan panduan-panduan kepada kejadian-kejadian yang tidak tersedia bagian dalam nash. Namun demikian antipati golongan di kawasan sekutu terselip tidak menerbitkan timbulnya filsafat-filsafat/madzhab-madzhab bagian dalam Islam. Hal ini karenakan molekul kisi-kisi lain: kokohnya pedoman perundingan di kawasan sekutu, mudahnya lulus ijma’, pengisahan hadits masih belum begitu tersiar, sedikitnya peristiwa-peristiwa baru, tidak terlalu berlebihan menyorongkan panduan, spesies yang mempunyai hak menyerahkan fatwapun adalah bertenggang-bertenggang yang betul-betul ‘âlim (expert) di bidangnya.

Di domain resam Islam muka periode sekutu relatif masih bisa dipersatukan, namun muka periode terselip cutel terdapat kontradiksi muka seksi ketentuan kekhalifahan, terutama sejak khalifah Usman berperan seperti khalifah yang ketiga. Pada periode ini terdapat sebangsa anak Islam yang tidak suka dan tidak sehati pakai Khalifah Usman. Terutama karena Usman melaksanakan ketentuan pemerintahannya pakai sistem ‘kekeluargaan’. Hasutan Abdullah ibn Saba’ kondisi peninggalan ketentuan Muhammad untuk Ali perasan menyerahkan buah untuk sepotong anak Islam. Muncullah dua paham yang terbesar di kawasan bani Syi’ah, pertama, madzhab Wishayah yang mengasa bahwa Ali perasan mengikuti peninggalan berpokok Rasulullah saw. kepada bekerja khalifah sesudah beliau meninggal. Dikatakan juga bahwa Ali adalah peserta peninggalan ragil justru karena Nabi Muhammad saw. adalah Nabi ragil. Kedua, Madzhab Hak Ilahi yang mengasa bahwa Ali berkuasa bekerja khalifah itu karena bidang itu cutel mewujudkan doktrin berpokok Allah SWT. Dikatakan pula bahwa Usman perasan menyepuk eigendom pakai kekerasan.

Akibat pancingan dan ajakan yang diusung oleh Abdullah polong Saba terselip, berwai spesies yang mendurhaka kekhalifahan Usman berkedai mengeradikasi beliau berpokok kedudukannya seperti khalifah, yang muka buntutnya menerbitkan untuk terbunuhnya khalifah Usman. Pasca terbunuhnya Ustman, mayoritas anak Islam membai’at Ali polong Ali Thalib seperti khalifah ke empat. Namun, terpilihnya Ali seperti khalifah menahan peristiwa perang Jamal8 dan perang Shiffin. Peristiwa tahkim (arbitrase) bagian dalam perang Shiffin menghamburkan anak Islam terbelah secara politis untuk dua filsafat garis :

Pertama, yayasan Khawarij yang mengasingkan jisim dan masygul terhadap Ali dan Mu’awiyah bersama-sama spesies-spesies yang membawa bertenggang.

Kedua, yayasan Syi’ah yaitu filsafat yang setia dan sangat loyal untuk Ali dan bani kerabatnya. Dengan mengamati ulasan di pangkal berwai jelaslah bahwa terusan deteriorasi anak Islam di domain ketentuan bekerja dua filsafat garis itu terbukti menyimpan terusan cukup berarti terhadap sirkulasi syari’at (fiqh) Islam di periode berikutnya. Hal ini sangat berharta juga bagian dalam bidang timbulnya madzhab madzhab fiqh di periode-periode selanjutnya.

b. Lahirnya Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi

Ketika Khilafah dipimpin oleh khalifah kedua Umar bin Khathtab, wilayah kekuasaannya bertambah. Hal ini menyebabkan para ulama berpencar ke berbagai kota dan wilayah kekuasaan Islam. Semua mengeluarkan fatwa dalam masalah agama. Para ulama yang melakukan ijtihad pada masa itu mempunyai kecenderungan dan pola tersendiri mengenai mitra yang mereka anggap paling berkompeten dalam ijtihad. Sudah ada dua formula (aliran) antar sesama melalui pembentukan undang-undang. Misalnya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar adalah dua sahabat Nabi. kuat memegang kekuatan nâsh. Mereka tidak mau menggunakan ra’yu kecuali jika terpaksa, yaitu ketika menerima suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, meskipun tidak ada nâsh yang sah.

Dalam situasi ini, mereka beralih ke ra’yu. Misalnya saja para sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khatthab dan Ibnu Mas’ud merupakan para sahabat Nabi yang banyak menggunakan ra’yu untuk menentukan hukum suatu permasalahan atau dengan kata lain. mereka tidak hanya membenahi tampilan kata nâsh saja, namun juga makna Lafadz, dilâlâh dan ruh syari’at/tasyri’ yang menjadi perhatian mereka. Di kalangan Tabi’in banyak yang terpengaruh oleh beristinbâth para sahabatnya. Misalnya, tahunTabi’in Hijaz dipengaruhi oleh ijtihad Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Hingga lahir, mereka lebih dikenal dengan sebutan Aliran ahlu al-hadîts. Tabi’in Irak dipengaruhi oleh ijtihad Ali bin Abi Thalib, Umar dan Ibnu Mas’ud. Oleh karena itu, mereka lebih dikenal dengan sebutan Qiyas (ra’yu).

Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan ulama Hijaz menjadi ahlu al-hadît, yaitu: Pertama, dipengaruhi oleh guru-gurunya yang menggunakan teks-teks hadis dalam ijtihad dengan sangat ketat dan cermat. Kedua, mereka hanya hafal Hadits Nabi dan fatwa para sahabat, kecuali sedikit sekali peristiwa-peristiwa baru yang tidak sebanding pada zaman para sahabat. Ketiga, mereka hidup pada awal perkembangan Islam, ketika diminta memberikan fatwa tentang suatu hal, mereka terlebih dahulu memeriksa kitab Allah (hingga Al-Qur’an), Sunnah Rasul, dan kemudian Fatwa. Sahabat dan kemudian mereka melakukan ijtihad bi ar-ra’yi padahal hukumnya tidak ditetapkan dalam nash.

Adapun faktor-faktor yang menjadikan ulama Irak menjadi Ahlu ar-ra’y adalah sebagai berikut :

Pertama, mereka dipengaruhi oleh cara berpikir para gurunya, seperti sahabat Abdullah bin Mas’ud yang dikenal dengan akan sangat terpengaruh. cara berpikir sahabat Umar bin Khathtab.

Kedua, Kufah dan Basrah, dua kota yang banyak dihuni ulama Irak, merupakan markas tentara Islam, dan di Kufah, Khalifah Ali bin Abi Thalib banyak dikunjungi sahabatnya, seperti Abdullah bin Mas’ud, Sa’. ad bin Abi Waqash, Ammar bin Yasir, Abu Musa al-‘Asy’ari. Tentu saja dengan cara ini mereka meriwayatkan hadis Nabi. Keadaan ini mendorong para ulama Irak untuk membenarkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat yang berkunjung. Terlebih lagi, Irak adalah tempat/sumber kekacauan yang menghujat. Di Irak, beberapa kelompok menjadi lebih berani dalam menciptakan hadis palsu. Hal ini juga memaksa para ulama Irak untuk menetapkan persyaratan ketat untuk menerima Hadis dari para sahabatnya. Sehingga ulama Irak lebih banyak menggunakan silaturahmi (ra’yu) dibandingkan hadis yang masih belum diyakini keasliannya.

Ketiga, letak geografis Irak – keberadaan sungai Tigris dan Efrat memerlukan upaya konstruktif masyarakat di sektor pertanian, seperti irigasi, perpajakan pendapatan masyarakat, dll.

Keadaan ekonomi masyarakat yang makmur menyebabkan kehidupan mewah dan munculnya permasalahan baru akibat adanya warisan budaya yang eklektik (campuran adat istiadat) antara Persia, Yunani dan Roma. Hal ini memerlukan jalan keluar. Situasi seperti di Irak tidak terjadi di Hijaz. Jika masyarakat Hijaz hanya mengandalkan hadis istiinbâth Nabi yang sah dan fatwa para Sahabat yang ada. Tidak demikian halnya di Irak, mereka merasa hadis dan fatwa Sahabat yang ada belum cukup, karena permasalahan hidup semakin rumit. Dengan demikian, Kufah lebih banyak menggunakan rasio/ra’yu ketika menetapkan hukumnya.11 Mazhab Ahlu al-hadits pada masa-masa selanjutnya terdiri dari beberapa mazhab, yaitu: mazhab Malik, mazhab Hanbali, mazhab Syafi’i, dan mazhab Dzahiri. Sedangkan mazhab yang dipengaruhi oleh Ahlu Ar-Ra’yi adalah mazhab Hanafi.

C. Mazhab Konsep Hukum Islam
1) Pengertian Madzhab Untuk lebih memahami pengertian Madzhab, disajikan dua pengertian, yaitu:

Pertama, bermadzhab, berdasarkan arti kata madzhab mengikuti salah satu cara berpikir/cara mujtahid. dari sumber istinbâth yang sah yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua, menjadi anggota madzhab berarti mengabdikan diri kepada salah satu imam (mujtahid) suatu madzhab menurut hukum Islam berdasarkan fatwa atau pendapat imam madzhab tersebut.Terminologi yang digunakan dalam pembahasan ini mengacu pada pengertian madzhab lain, yaitu. mengikuti para imam (mujtahid) satu madzhab dalam mengamalkan syariat Islam berdasarkan fatwa atau pendapat imam madzhab. Seseorang yang belum sampai pada derajat mujtahid, yang beramal shaleh atau mengikuti pendapat imam suatu madzhab, tanpa mengetahui atau tidak mengetahui sumber/dasar hak yang akan digunakan permanen atau sementara yang hanya mempunyai satu mazhab atau berpindah dari satu mazhab ke mazhab lainnya. Kalau tidak, berarti dia mempunyai madzhab.

2) Makna Madzhab Umat Islam sepakat bahwa sumber hukum syariat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang hakikat dan hakikatnya harus diikuti dan diamalkan. Seluruh umat Islam wajib mengambil hukum-hukum Allah langsung dari kedua sumber tersebut. Namun kenyataannya, tidak semua umat Islam mampu mengikuti hukum langsung dari kedua sumber tersebut. Para ulama sepakat bahwa seseorang yang dapat memperoleh suatu hukum langsung dari sumbernya harus tetap teguh dan mengamalkan apa yang diperoleh dari ijtihadnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfâ sebagai berikut: Para ulama Ushul sepakat bahwa setelah seseorang melakukan ijtihad dan mencapai suatu kesimpulan hukum, maka ia tidak dapat mengikuti pendapat mujtahid lain yang bertentangan dengan ijtihadnya dan tidak dapat berbuat terhadap hasil analisa orang lain dan meninggalkan hasil analisa atau pemikirannya sendiri. Demikian pula ulama ushul mazhab Hanafi, Ibnu al-Humâm, menyatakan dalam kitabnya sebagai berikut: Menurut Itifâq, ulama ushul menyatakan bahwa mujtahi yang melakukan ijtihad dalam suatu perkara hukum dilarang melakukan taqlid. itu. Tetapi karena ilmunya tidak sama, maka tidak mungkin ada orang yang tidak dapat memperoleh hukum itu langsung dari sumbernya.

Dengan demikian, pendapat para ulama terbagi menjadi dua golongan pada kedudukan akhirnya: Pertama, golongan ulama ushul yang meyakini haramnya termasuk madzhab. Semua umat Islam harus mengikuti apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Khajandi, Syekh Nashirudin Albani dan Ibnu Hazm dari kelompok Syi’ah. Kedua, Jumhur Ulama Ushul berpendapat diperbolehkannya masyarakat umum menganut madzhab, bahkan bagi orang awam yang murni pun wajib hukumnya. A. Hassan menyatakan bahwa madzhab mempunyai arti dan tujuan yang sama dengan taqlid. Keduanya dilarang oleh Allah, Rasulullah, para sahabat, bahkan para imam taqlid.16 Lebih lanjut beliau bersabda: meninggalkan madzhab itu tidak haram, melainkan wajib. Masuk Madzhab itu tidak wajib, melainkan haram.

Dalam konteks ini, Ibnu Hazm mengatakan bahwa seorang muslim tidak boleh bergabung dengan seorang mujtahid, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dan setiap orang wajib melakukan ijtihad sesuai kemampuannya. Sementara itu, taklîd atau ittibâ’ mengatakan kelompok yang diperbolehkan bahwa orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad mempunyai dua pilihan ketika timbul suatu permasalahan hukum.
Pertama, tidak diwajibkan, tentu saja melanggar ijma.
Kedua, wajib menunaikan ibadah, jika itu berarti harus mempelajari dalil-dalil hukumnya atau wajib mengabulkan shalat.19 Mengenai persoalan di atas, para ulama Ushul nampaknya sependapat. Pendapat Imam Madzhab dan Fatwa. Mereka hanya mempersoalkan izin madzhab dalam arti taqlid atau ittibâ’. Kebanyakan ulama ushul berpendapat bahwa umat Islam yang belum mencapai jenjang mujtahid wajib mengikuti madzhab. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara istilah taklîd dan ittibâ’.

Keduanya mempunyai arti yang sama yaitu mengamalkan madzhab. Ibnu Subki mengatakan, kecuali para mujtahid mutlak, baik yang termasuk golongan awam maupun golongan lainnya, wajib tunduk kepada para mujtahid.

Hal ini berdasarkan surat An-Nahl: 43.20 Al Amidi lebih menekankan dan lebih banyak dari pada orang awam dan orang-orang yang tidak mempunyai ketrampilan yang diperlukan untuk melakukan ijtihad, meskipun mampu memberikan sebagian ilmu mu’tabar ketika melakukan ijtihad, namun ia wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka, menurut suara. berpengetahuan luas tentang ushul ulama.

Syekh Khudary Beik mengatakan, meminta fatwa dan mengikuti ulama adalah wajib bagi masyarakat awam. , baik ia orang awam murni maupun orang awam biasa yang belum mencapai taraf mujtahid mutlak, meskipun ia mampu ijtihad dalam beberapa hal. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa ijtihad hanya dapat dan hanya berlaku pada perkara fiqhiyyah tertentu saja. Uraian berikut menjelaskan pernyataan-pernyataan yang membolehkan orang awam mengamalkan madzhab berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ :

a) Nash al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Nahl: 43 yang artinya “kalau tidak mengetahui, bertanyalah kepada ahlinya”. (Qs. An-Nahl: 43.) Para ulama sepakat bahwa ayat di atas merupakan perintah kepada orang yang belum memahami hukum dan asasnya, agar bertanya kepada orang yang lebih paham. Ayat tersebut merupakan landasan pertama yang menjadi landasan bagi kaum awam untuk wajib menaati para imam madzhab.
b) Ijma Ulama Dalam hal ini Al Amudi mengatakan bahwa masyarakat awam pada masa Sahabat dan Tabi’in sebelum munculnya kelompok penentang selalu meminta fatwa kepada mujtahid dan mengikutinya dalam urusan syariat. Para ulama diantara mereka dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tanpa memberikan bukti dan tidak ada yang menggugatnya, sehingga berarti mereka telah ijma atau setuju bahwa orang awam mutlak boleh ikut mujtahid. 23 Inilah penjelasan tentang kemampuan manusia untuk terhubung. madzhab sebagai pedoman penerapan hukum Islam.

Maka dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa larangan mengikuti madzhab tertentu ditetapkan oleh sekelompok kecil ulama, namun mayoritas ulama menyatakan bolehnya seorang muslim, khususnya awam, mengikuti madzhab/empat madzhab tertentu. Sebagian besar ulama Ushul sepakat bahwa ada empat mazhab yang bisa diikuti. Karena para imam melakukan ijtihad dengan segala syaratnya. Banyak orang yang salah mengira bahwa memiliki fakultas hukum berarti perpecahan karena orang lain terpecah menjadi beberapa sekte. Begitu banyak umat Islam yang menjauhkan diri dari sekte, bahkan ada yang anti-Mashaba. Gambaran absurd tentang sekolah ini disebabkan oleh keamanan dan kurangnya pengetahuan yang memadai tentang hakikat sekolah hukum. Kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Mazhab fiqih ini tidak mewakili perpecahan atau konflik dalam komunitas Muslim, apalagi peperangan.

Di sisi lain, keberadaan mazhab merupakan kebutuhan mendasar untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mazhab pemikiran mewakili sikap dan cara seseorang memahami teks Al-Qur’an dan as-Sunnah. Siapapun yang mencoba memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut sebenarnya adalah sebuah sekte. Jika dia tidak mengacu pada sekte orang lain yang sudah ada, setidaknya dia mengacu pada sektenya sendiri. Keberadaan aliran-aliran saat ini masih diperlukan sebagai gambaran pengamalan hukum Islam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak tergabung dalam aliran sesat. Setiap orang beriman, disadari atau tidak.

- Advertisement -

Berita Terkini