Dari Hakim Konstitusi ke Hakim Rakyat: Pilpres 2024

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Denny JA

Jika dua ahli hukum berjumpa, maka akan ada tiga pendapat. Dari teks konstitusi yang sama dapat melahirkan tiga interpretasi yang berbeda.

Ini pandangan yang semakin populer di tahun 60-an. Terutama ketika mulai populer paham yang disebut Judicial Activism. Bahwa para hakim itu sebenarnya juga seorang pemikir dan aktivis.

Para hakim, dalam pandangan Judicial Activism, memiliki ruang yang luas untuk menafsir konstitusi dan menghidupkannya, menyesuaikannya, dengan zaman yang baru, dengan nilai-nilai yang baru, dengan situasi yang ada sekarang.

Para hakim tak perlu lagi dikerangkeng oleh kata perkata di konstitusi. Bahkan mereka tak perlu terpenjara oleh original intent dari para founding fathers, yang menciptakan konstitusi itu.

Subyektivitas dan “ideologi” yang diyakini oleh para hakim membuat sidang Mahkamah menjadi kaya dengan perspektif yang beragam, dan dissenting opinion. Judicial Activism membuat sidang Mahkamah Konstitusi lebih bergelora.

Para hakim konstitusi di Amerika Serikat selalu terbelah oleh “ideologi,” dan pandangan yang liberal dan paham yang konservatif.

Mereka yang liberal ini dipengaruhi oleh isu-isu hak asasi manusia dan kesetaraan individu. Mereka menafsir konstitusi untuk mengunggulkan dan mengutamakan keberagaman dan independensi individu.

Sementara hakim yang konservatif mengutamakan nilai-nilai tradisi yang banyak pula dipengaruhi nilai agama. Ketika mereka menafsir konstitusi, mereka menangkapnya berdasarkan filosofi tradisi dan ajaran agama yang mereka anut.

Tidak heran jika hakim yang liberal dan hakim yang konservatif umumnya berbeda dan berhadapan secara frontal untuk isu-isu life style.

Menang dan kalah dalam sidang mahkamah konstitusi di Amerika Serikat akhirnya ditentukan oleh komposisi. Apakah di Mahkamah Konstitusi lebih banyak hakim yang liberal ataukah lebih banyak hakim yang konservatif.

Inilah kerangka untuk kita memahami dinamika politik di balik putusan Mahkamah Konstitusi. Hal yang sama kita terapkan untuk memahami putusan MK di Indonesia, yang terjadi baru-baru ini, yang hot sekali, mengenai batas usia capres dan cawapres.

Dua contoh kasus di Amerika Serikat dapat kita jadikan referensi.

Kasus pertama di tahun 1973. Saat itu disidang apakah mahkamah konstitusi membolehkan atau melarang individu untuk aborsi di Amerika Serikat? MK memutuskan akhirnya hak individu untuk aborsi dilindungi konstitusi, dengan skor 7 banding 2.

Sebanyak tujuh hakim yang mengatakan boleh, dua hakim yang mengatakan tak boleh. Tujuh Hakim yang membolehkan aborsi itu sudah dikenal panjang track recordnya selaku hakim yang berpandangan liberal.

Sementara dua hakim yang menolak aborsi juga diketahui sebagai hakim yang sejak lama berpandangan konservatif.

Kedua, contoh kasus Mahkamah Konstitusi yang terjadi tahun 2015. Saat itu akan diputuskan apakah hak individu untuk menikah sesama jenis (the same sex marriage) harus dilindungi di Amerika Serikat.

Ujung dari sidang MK ini, lima hakim mengatakan perlu dilindungi. Sementara empat mengatakan tidak boleh untuk isu pernikahan sejenis.

Sudah diketahui pula sejal lama, lima hakim yang pro pada pernikahan sejenis adalah hakim konstitusi yang liberal. Sedangkan empat hakim yang menentangnya adalah hakim yang konservatif.

Pada ujungnya, yang menentukan menang dan kalah itu memang adalah komposisi. Jika komposisi hakim yang liberal lebih banyak, pastilah isu yang liberal seperti aborsi dan pernikahan sejenis akan menang.

Sebaliknya, jika dalam komposisi itu hakim yang konservatif lebih banyak, isu seperti aborsi dan pernikahan sejenis akan dikalahkan.

Karena itu penting bagi presiden, DPR atau MA, ketika mengusulkan hakim konstitusi, mereka harus memastikan platform dan filsofi hakim yang bersangkutan.

Putusan MK soal usia capres dan cawapres kini sudah selesai. Selanjutnya, palu bergeser tak lagi di tangan hakim konstitusi, tapi di tangan hakim rakyat.

Hakim rakyat itu adalah pemilih pilpres di 2024, yang berjumlah 204,8 juta, dari Aceh sampai Papua.

Setelah tuntas di sidang Mahkamah Konstitusi, kini nasib tiga pasang capres dan cawapres berada di tangan sidang Mahkamah Rakyat di hari pencoblosan.

- Advertisement -

Berita Terkini