Jokowi (Dan Presiden) Memang Bukan Petugas Partai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Denny JA

“Kesetianku kepada partai berakhir, ketika kesetiaanku kepada negara dimulai.” Inilah pernyataan terkenal dari John F Kennedy, presiden Amerika Serikat.

Ia mengatakan bahwa sebagai presiden, kadang-kadang demi kepentingan yang lebih besar, ia harus berbeda haluan dengan kepentingan partainya sendiri.

Dengan kerangka inilah, kita membaca berbagai berita yang hot belakangan ini. Antara lain berita soal PDIP yang sedang bersedih hati, karena “Jokowi dan keluarga meninggalkan kami.”

Ada banyak sekali versi mengenai drama PDIP bersedih hati karena Jokowi dan keluarganya, Gibran, Bobby Nasution (menantu) meninggalkan PDIP.

Dalam dunia demokrasi, ada studi mengenai loyalitas terhadap partai politik. Bahkan anggota partai yang, yang memiliki kartu anggota, atau simpatisan, tak selalu setia kepada kebijakan dan pilihan partainya.

Washington Post, misalnya, mempublikasi studi yang menampilkan satu grafik dari tahun 1976 sampai 2020. Dalam grafik itu, cukup terbaca menurun dan menaiknya kesetiaan anggota partai terhadap kebijkan partainya.

Contoh kasusnya, tak jarang anggota resmi partai bahkan tidak memilih calon-calon legislatif, Kongres ataupun Senator, yang dimajukan oleh partainya.

Itu ada grafik, lengkap dengan prosentase. Bagaimana misalnya di era Clinton atau di era Reagon, kesetiaan anggota partai kepada partainya sendiri, tidak pernah total.

Apalagi untuk kelas seorang presiden. Jika anggota partai saja bisa memilih sikap politik yang tak harus sama dengan partainya, tentu pilihan politik seorang presiden lebih banyak lagi.

Seorang presiden itu, dengan seluruh pengalaman dalam kekuasaan, mengorkestrasi satu negara, sudah menjelma menjadi ikan yang besar. Terlalu besar ikan itu untuk dikerangkeng ke dalam kolam kecil kepentingan dan bias sebuah partai politik.

Sebagai presiden yang melihat dunia global yang begitu besar, ia hidup di samudra. Ia memiliki visinya sendiri, legacynya sendiri, tujuannya sendiri, yang tak selalu harus sama dengan bahkan partai politik yang membesarkannya.

Hal lain lagi soal Jokowi dan PDIP, adalab pernyataan dari tokoh PDIP, yang diwakili oleh Andi Widjajanto (wawancara Info A1, Kumparan).

Andi mengatakan, kami tidak mengerti mengapa Jokowi menyeberang? Secara ideologis, menurut Andi, yang diperjuangkan Jokowi dan Gibran, itu masih segaris dengan ideologi PDIP.

Ujar Andi, “kami sedang menunggu penjelasan mengapa Jokowi menyebrang, jika bukan alasan ideologis?”

Sekali lagi, dalam dunia demokrasi, kita bisa berbeda pilihan bukan karena alasan ideologis semata. Justru lebih banyak kasus, kita berbeda pilihan politik karena berbeda soal pilihan eksekutornya.

Ideologi yang sama bisa berbeda hasilnya jika eksekutor berbeda! Hal yang lumrah, walaupun ideologinya sama, bahkan programnya sama, kita berbeda soal siapa yang kita anggap lebih kokoh, lebih kuat, lebih hebat untuk mengeksekusi pilihan ideologi ini.

Jokowi sejak lama mengatakan. Kita perlu pemimpin yang berani, yang berani, dan pemberani. Ini kutipannya: “Kita rakyat Indonesia butuh pemimpin yang tepat, butuh pemimpin yang benari, pemberani, pemberani demi rakyat.”

Mengapa Jokowi berulang- ulang menyatakan perlunya karakter pemimpin yang berani? Itu karena Jokowi mengalami. Betapa misalnya, hilirisasi yang menjadi pilihan kebijakannya itu ditentang oleh dunia.

Hilirisasi ditentang oleh Uni Eropa. Ia juga ditentang oleh IMF. Program hilirisasi, yang tak lagi menjual bahan mentah ke dunia luar, hanya mungkin bekerja jika ia dieksekusi oleh presiden atau tokoh yang berani, yang pemberani.

Jokowi tentu memiliki pengalaman, dan menilai berdasarkan keyakinannya, siapa capres pemberani itu. Itu sepenuhnya hak Jokowi jika ia merasa Prabowo lebih berani atau lebih kokoh dibandingkan Ganjar.

Berbeda pilihan dengan partai politik yang membesarkannya, itu hal yang biasa saja. Lumrah. Terjadi di banyak negara demokrasi.

Setiap tahun selalu dipenuhi banyak pilihan kebijkan dan isu. Dalam dunia yang beragam, hal yang biasa saja jika di satu isu kita berada di satu pilihan. Lalu pada isu yang lain, kita bersebrangan. Dalam isu berikutnya, kita sejalan lagi.

Dinamikan itu anak kandung demokrasi. Memang seorang presiden bukanlah petugas partai.

Berharap seorang tokoh yang menjadi sentral dalam kekuasaan untuk selalu setia pada partai, apalagi pilihan subyektif ketua umum partai politik, menjadi petugas partai, itu sebuah ilusi !

- Advertisement -

Berita Terkini