Refleksi Pedagogis: Lunturnya Kecakapan Humanis dalam Pendidikan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Anwar Sanusi (Aktivis dan Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi)

Setakat ini, volume penggunaan media informasi dan komunikasi di lembaga pendidikan telah mencapai tahap yang sangat mencengangkan. Konsekuensinya satu sisi melahirkan nilai-nilai positif dan mampu mengangkat taraf hidup. Namun di sisi lain, penggunaan media teknologi dan komunikasi secara eksesif, meminjam istilah Bahruddin & Makin (2007) menyebabkan terjadinya techno centric dan mengabaikan unsur human centric dalam proses pendidikan. Selain itu, proses pendidikan yang berfokus kepada techno centric menyebabkan hilangnya peran manusia secara utuh sebagai makhluk yang menjunjung tinggi nilai religius dan humanis.

Lebih lanjut, fenomena di lembaga pendidikan yang selalu menyajikan nilai-nilai kebaikan secara riil, seringkali bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan tersebut. Peserta didik masih dianggap sebagai tabungan yang diisi oleh pendidik sehingga yang terjadi bukanlah suatu komunikasi melainkan suatu pernyataan dari pendidik yang harus diterima dengan patuh oleh peserta didik. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, secara formal ihwal tujuan pendidikan nasional telah banyak mengalami perumusan atau perubahan, dan rumusan tujuan pendidikan nasional yang terakhir dijelaskan dalam Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3 yang menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Perumusan tujuan pendidikan nasional tersebut dapat memberikan arah yang jelas bagi setiap usaha pendidikan di Indonesia. Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, dibutuhkan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang mempunyai tujuan selaras dengan tujuan nasional. Bahkan, Idris (1992) menandaskan bahwa setiap usaha pendidikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional, bahkan harus menopang atau menunjang tercapainya tujuan tersebut.

Walakin, dalam proses pendidikan yang terjadi selama ini, seringkali hanya menyampaikan tentang materi-materi yang diajarkannya tanpa menanamkan nilai-nilai yang bisa menumbuhkan potensi peserta didik. Akhirnya, dalam proses pendidikan pendidik hanya menjadi pusatnya (teacher centris), sedangkan peserta didik hanya sebagai pendengar dan penerima materi yang disampaikan oleh pendidik. Dalam kurikulum yang terbaru, proses pembelajaran setidaknya bisa memberikan timbal balik terhadap apa yang dipelajarinya, sehingga bisa terjadi komunikasi yang baik dalam proses pembelajaran, spesifikasinya peserta didik mampu berperan aktif dalam proses pembelajaran (student centris).
Manifestasi kecakapan humanis dalam pendidikan harus memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk melakukan olah pikir (kognitif), olah hati (afektif), olah rasa (afektif), dan olah raga (psikomotor).
Tujuannya agar menjadi pribadi yang humanis, memiliki keseimbangan, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga memiliki kecerasan spiritual, emosional, dan spiritual.

Sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang (space) bebas bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang terdapat dalam dirinya, menjadikan mereka sebagai manusia yang terasing dan terisolir dari realitas sekitarnya, karena pendidik telah mendidik mereka menjadi orang lain dan bukan menjadi dirinya sendiri. Eksesnya, pendidikan bukan menjadi sarana untuk untuk mengembangkan potensi-potensi, tapi menjadikan mereka sebagai manusia yang siap dibentuk untuk kepentingan tertentu.
Konsep humanistik mengajarkan manusia untuk memiliki rasa kemanusiaan yang mendalam. Menghilangkan sifat-sifat egois, otoriter, dan individualis. Tidak memaksakan peserta didik memahami penjelasan pendidik secara langsung. Pendidikan humanistik adalah pendidikan yang memandang manusia yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu untuk dikembangkan secara maksimal dan optimal.

Ihwal pendidikan humanistik atau konsep belajar humanistik, tentunya tidak bisa dipisahkan dengan paham psikologi humanistik. Paham psikologi humanistik inilah yang di yakini oleh beberapa ahli menjadi dasar atau sumber munculnya konsep pendidikan humanistik. Aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaan terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan.

Proses pendidikan menjadi berubah, karena menyesuaikan dengan situasi dan tuntatan zaman. Dengan adanya perubahan strategi pendidikan dari masa ke masa, humanistik memberikan arahan yang signifikan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Psikologi humanistik membantu upaya perbaikan dalam pendidikan salah satunya dengan pendekatan humanistik. Pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik pada peserta didik. Dalam prosesnya mereka diberi pengalaman belajar, diakui, diterima, dan dimanusiakan, sehingga pada gilirannya peserta didik menjadi optimis untuk sukses.

Berdasarkan selayang pandang pernyataan tersebut, maka ihwal yang paling penting dan mendasar dalam membangun kecakapan humanis yaitu dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai humanis di antaranya nilai kebebasan, rasa aman, kreativitas, aktualisasi diri, kebenaran, dan pertanggungjawaban di dunia dan akhirat dalam setiap proses pendidikan. Prakarsa ini pada akhirnya akan melahirkan generasi emas bangsa yang memiliki kecakapan humanis.

- Advertisement -

Berita Terkini