10 November 1945, Jihad Fi Sabilillah Berkobar di Surabaya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Nurul Azizah

Dipelajaran sejarah tidak pernah ada yang membahas tentang resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 sebagai pemicu utama meletusnya peristiwa 10 November 1945.

Seakan-akan peristiwa 10 November 1945 tiba-tiba terjadi atau ujug-ujug. Peristiwa 10 November 1945 meletus begitu saja, tanpa didahului rangkaian peristiwa sebelumnya.

Ada peristiwa lain yang sengaja disembunyikan. Hal itu dilakukan oleh penguasa yang tidak suka dengan keberadaan Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari. Sejarah yang demikian dipertahankan sampai berpuluh-puluh tahun lamanya.

Namun kesaksian demi kesaksian, dokumen demi dokumen mulai membuka mata masyarakat luas, tentang bagaimana peristiwa yang sesungguhnya.

Rentetan peristiwa itu dapat diuraikan sebagai berikut : Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah Indonesia merdeka banyak cobaan yang harus dilalui Bangsa Indonesia.

15 September 1945 tentara Inggris mendarat di Jakarta. Mereka tergabung dengan AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang yang sudah kalah perang.

Dalam misi itu tentara Belanda bergabung dengan NICA (Netherlands Indies Civil Administrasion) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris.

Kedatangan mereka tercium oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Insiden demi insiden terjadi antara laskar-laskar merah putih dan rakyat Indonesia dengan tentara Inggris di berbagai tempat.

Sebagai negara baru, Bung Karno berfikir tidak mungkin melawan kekuatan itu. Atas usul dari Panglima Jendral Soedirman, Bung Karno mengirim utusan khusus untuk menemui Roisul Akbar Nahdlatul Ulama KH.

Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Tujuannya Bung Karno meminta Kiai Hasyim mengkaji hukumnya berperang membela negara menurut ajaran Islam.

Untuk menjawab permintaan tersebut Kiai Hasyim memanggil KH. Wahab Chasbullah dari pondok pesantren Tambakberas Jombang untuk mengumpulkan kiai-kiai NU se Jawa dan Madura.

Kiai Hasyim juga meminta Kiai-Kiai utama (khos) NU untuk sholat istikharoh terkait hukum melawan penjajah untuk membela negara Indonesia. Diantaranya KH. Abas Buntet dan KH. Bisri Syansuri.

Ditengah-tengah Kiai Wahab mengumpulkan para Kiai se-Jawa Bali, situasi politik di Jawa Timur, khususnya Surabaya hari demi hari terus bergejolak.

Di satu sisi pemerintah menyerukan rakyat mengibarkan bendera merah putih, tapi disisi lain Belanda tetap mengibarkan bendera Merah Putih Biru.

Puncaknya pada tanggal 19 September 1945 terjadi insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato (sekarang hotel Majapahit) di jalan Tunjungan Surabaya.

Pengibaran bendera Belanda tanpa persetujuan Pemerintah RI di daerah Surabaya. Hal ini menyebabkan kemarahan rakyat Surabaya.

21 Oktober 1945 ketua-ketua NU Se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Rapat dipimpin langsung oleh KH Hasyim Asy’ari, dalam sambutannya, beliau menyampaikan pendapat pribadi mengenai hukum jihad melawan penjajah. Pertemuan selanjutnya dipimpin oleh KH. Wahab Chasbullah

22 Oktober 1945 resolusi jihad NU dicetuskan. Dokumen resolusi jihad NU digandakan dan disebarluaskan ke seluruh pelosok Jawa dan Madura.

Tak terkecuali kepada komandan laskar Hizbullah, laskar Sabilillah, laskar santri dan komandan Pasukan PETA serta sejumlah daerah di Jawa Timur.

Tanggal 25 Oktober 1945 tentara sekutu mendarat di Surabaya. Kabar kedatangan pasukan sekutu dengan persenjataan lengkap menyebar luas ke seluruh rakyat Surabaya.

Pada tanggal 27-29 Oktober 1945 terjadi perang rakyat Surabaya melawan pasukan sekutu. Rakyat Surabaya nekat melawan sekutu dengan senjata seadanya, ada yang membawa golok, bambu runcing, tombak, arit dan senjata lainnya.

Mengapa mereka nekad melawan sekutu dengan senjata seadanyanya ? Usut punya usut, rakyat Surabaya telah membaca revolusi jihad NU 22 Oktober 1945 yang membakar semangat juang rakyat Surabaya.

Dalam pertempuran 3 hari ini, banyak rakyat Surabaya yang berguguran, demikian juga dipihak Inggris. Dalam pertempuran tersebut Inggris benar-benar terdesak dan kewalahan menghadapi semangat juang rakyat Surabaya.

Pada tanggal 30 Oktober 1945 Jenderal Mallaby melakukan perjalanan di kamp-kamp tentara sekutu untuk memerintahkan genjatan senjata. Saat melintas di Jembatan merah, Mallaby berselisih dengan laskar Indonesia.

Saat itulah Mallaby tewas tertembak oleh senjata salah satu laskar Indonesia. Namun ada pihak yang menyebutkan Mallaby tewas oleh granat yang dilempar oleh anak buah sendiri tanpa sengaja.

Kematian Mallaby membuat marah pasukan sekutu yang dipimpin oleh Mayor Jendral Eric Carden Robert Mansergh, jenderal pengganti Mallaby ini membuat ultimatum tanggal 10 November 1945 rakyat Indonesia disuruh menyerah pada sekutu.

Tanggal 1-9 November pemuda Surabaya bernama Sutomo, atau biasa dipanggil Bung Tomo melakukan konsolidasi dan persiapan perang. Bung Tomo memiliki anak buah yang cukup banyak dan loyal. Diketahui Bung Tomo menghadap dan sowan ke Kiai Hasyim Asy’ari di kediamannya.

Bung Tomo memang dikenal dekat dengan Kiai Hasyim karena rumahnya bersebelahan dengan rumah Kiai Hasyim di Surabaya. Saat itu Kiai Hasyim berada di Surabaya.

Bung Tomo minta ijin ke Kiai Hasyim untuk menyiarkan resolusi jihad melalui radio guna memompa semangat rakyat Surabaya untuk menghadapi kemungkinan terburuk sampai tanggal 10 November 1945.

Pagi hari, 10 November 1945 Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya memutar pidato Bung Tomo yang dengan suara yang meledak-ledak mengajak rakyat Surabaya turun ke jalan mengangkat senjata melawan sekutu.

Pekik takbir Bung Tomo menunjukkan bahwa pidato tersebut adalah ajakan untuk berjihad seperti ajakan oleh NU sebelumnya. Siaran Bung Tomo diputar terus menerus sepanjang pagi hingga siang hari oleh RRI dan direlay oleh radio-radio lainnya di Surabaya.

Pertempuran hebat antara rakyat Surabaya dan pasukan sekutu tak bisa dielakkan. Pasukan sekutu melakukan pengeboman di atas kota Surabaya. Gedung-gedung perkantoran dan rumah penduduk menjadi sasaran bom-bom milik Sekutu.

Sebanyak 30.000 pasukan infanteri melawan rakyat yang jumlahnya tak terhingga. Perlawanan sekutu dan rakyat Surabaya tak terelakkan. Sekutu yakin akan menguasai kota Surabaya setelah pertempuran sengit 10 November 1945.

Tanggal 11 November 1945 Inggris kehilangan Jendralnya lagi. Jenderal Eric Carden Robert Mansergh pengganti Mallaby tewas. Ini menunjukkan belum ada dua minggu sekutu melawan arek-arek Surabaya, Inggris kehilangan dua Jendral pimpinan mereka. Hal ini yang membuat psikologi tentara Inggris jatuh.

Inggris tidak mampu lagi menghadapi lautan manusia terus merangsak ke arah sekutu tanpa ampun. Gema takbir terus keluar dari mulut rakyat Surabaya.

Mati satu muncul sepuluh. Mati sepuluh muncul seratus, mati seratus muncul seribu dan seterusnya. Hal ini menyebabkan sekutu dapat dipukul mundur oleh arek-arek Surabaya.

Semangat juang rakyat Surabaya menggugah hati para tentara Inggris asal Pakistan dan India. Awalnya pasukan ini didatangkan Inggris untuk menyerang rakyat Surabaya, malah kebalikannya. Pasukan Gurkha (Pakistan-India) balik menyerang Inggris dan membela Indonesia.

Pertempuran di Surabaya sangat melelahkan dan menimbulkan korban jiwa yang banyak. Kota Surabaya memang luluh lantah. Inggris memang berhasil menguasai Surabaya. Tetapi hal ini harus dibayar mahal, dengan tewasnya dua jenderal, kehilangan 2.000 lebih pasukan terbaiknya.

Dikhianati tentaranya sendiri. Korban dari pihak Indonesia tak terhitung, semuanya gugur sebagai syuhada seperti yang dijanjikan dalam resolusi jihad NU.

Akhirnya pertempuran di Surabaya memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Dunia Internasionalpun mengakui bahwa Bangsa Indonesia tetap eksis, baik pemerintahannya maupun militernya.

Sebagai pencetus resolosi jihad, Nahdlatul Ulama sangat berperan dan berpengaruh terhadap semangat juang arek-arek Surabaya.

Semangat arek-arek Surabaya menjadi penyemangat untuk mengusir segala pertempuran dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Semangat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan diakui dunia Internasional, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia selalu menjaga eksistensinya.

Untuk mengenang perjuangan rakyat Surabaya melawan sekutu, maka pada tanggal 10 November diperingati sebagai hari pahlawan.

Nurul Azizah, penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI, minat hub 0851-0240-8616

- Advertisement -

Berita Terkini