Orde Reformasi, Reinkarnasi Orde Baru

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Saat ini, tepatnya 21 Mei 2023 adalah usia 25 tahun berjalannya Reformasi di Indonesia. disebut juga sebagai Orde Reformasi. Liputan Khusus Majalah Tempo edisi 22-28 Mei 2023, dalam cover depannya menyatakan *”setelah 25 tahun Cita-Cita Reformasi 1998 tak tercapai. Para aktivis di luar dan di dalam kekuasaan gagal mencegah kembalinya watak otoritarianisme.”*

Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, setelah berkuasa 32 tahun. Turunnya Soeharto karena gaya kepemimpinan dengan watak otoritarianisme yang berurat berakar waktu itu. Rakyat dengan pelopor mahasiswa melakukan perlawanan yang masif dan diikuti dengan terjadinya kerusuhan rasial di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kesadaran Presiden Soeharto untuk tidak terjadinya korban yang lebih besar lagi, menyerahkan kepemimpinan lembaga Presiden kepada Wapres Habibie menjadi awal dimulainya Orde Reformasi.

Tetapi euphoria reformasi itu, menggilas Presiden Habibie karena persekongkolan elite partai di DPR yang menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie. Habibie punya _dignity_, tidak mau dicalonkan kembali sebagai Presiden. Kemudian menempatkan diri sebagai negarawan, Bapak Bangsa yang tidak mau mencampuri urusan pemerintahan berikutnya.

Ternyata 25 tahun kemudian, Orde Reformasi itu, kembali bermetamorfosa menjadi suatu Orde dengan watak otoritarianisme yang melanda pemimpin/ penyelenggara negara ini, berjamaah dengan sebagian besar partai politik dan anggota DPR.

Watak otoritarianisme adalah watak bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.

Negara di sini adalah bersatunya penyelenggara negara ( eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk menekan rakyatnya melalui kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan sekelompok orang atau Oligarki.

Pada periode Orde Reformasi yang telah berlangsung selama 25 tahun ini, semakin kental dan sangat terbuka tanpa malu-malu dan penuh kebanggaan menampilkan otoritarianisme di semua lini cabang kekuasaan negara semakin menebal sejak 5 tahun terakhir ini.

Bagaimana masyarakat dipertontonkan oleh seorang Ketua Umum Partai berkuasa, memanggil seorang Presiden ke kantor partai, karena disebut sebagai pekerja partai. Bagaimana Presiden yang disebut pekerja partai itu membagi-bagi kue kekuasaan kepada para Ketua Partai pendukung Presiden, untuk mengisi Kabinet Pemerintahan. Bagaimana 9 fraksi DPR, 7 diantaranya tegak lurus pada Presiden, bukan pada rakyat yang memilihnya.

Tidaklah heran, jika apa yang diinginkan Presiden memerlukan penguatan dengan payung Undang-Undang begitu saja diloloskan legislatif. Bahkan ada RUU yang dalam waktu 40 hari sudah tuntas dan diundangkan.

Dengan alasan untuk kepentingan percepatan pembangunan bongkar pasang Undang-Undang dilakukan dengan Metode _Omnibus Law_, yang merusak tatanan penyusunan perundang-undang yang telah ditata selama ini oleh para pakar hukum Indonesia. Pendekatan _Omnibus Law_ itu ibarat pukat harimau. Menerkam ikan kecil, ikan besar, pokoknya tidak bersisa lagi ikan yang menjadi area kerja pukat harimau.

Saat ini otoritarianisme merupakan gelombang tsunami yang melanda bangsa ini. Tokoh-tokoh yang 25 tahun lalu dikenal sebagai tokoh reformasi menjadi bagian yang memperkuat otoritarianisme, bahkan boleh dikatakan sudah melakukan deformasi. Para pentolan reformasi yang masih nyaring menyuarakan semangat reformasi 1998, dianggap sebagai nyanyian aneh dan bahkan dikatakan seolah karena tidak mendapat bagian atas kue kekuasaan itu. Suatu tuduhan yang menyakitkan.

Contoh yang teranyar dan menyakitkan dari watak otoritarianisme adalah dalam proses pembahasan RUU Kesehatan dengan pendekatan _Omnibus Law_ yang sedang berlangsung Pembicaraan Tahap I antara Panja Pemerintah dan Panja DPR Komisi IX.

Mereka (Pemerintah dan DPR), seakan tidak peduli dengan protes para tenaga kesehatan yang kena dampak RUU itu. Ribuan anggota dan pengurus Organisasi Profesi Kesehatan berdemo damai dianggap sepi. Presiden Jokowi juga membisu seribu bahasa. Sepertinya mereka sedang mengenderai bus dengan kecepatan tinggi untuk mengejar setoran.

Informasi yang berkembang, akhir Mei 2023 pembicaraan tahap I harus selesai. Awal Juni 2023 sudah masuk Pembicaraan tahap II. Pemerintah setuju, DPR Paripurna. Maka UU Kesehatan yang baru sudah sah. Jika tidak puas silahkan ke MK, dan di MK, Ketua MK ( adik ipar Presiden Jokowi) dan para anggotanya akan menyambut protes masyarakat dengan senyum dan penuh kepastian.

Itulah produk Reformasi yang pelakunya masih banyak aktivis 98 yang masih hidup dan juga berada dipusaran kekuasaan, dan melihat dan bahkan ada sebagai pelaku berubahnya reformasi menjadi dereformasi.

Apa bedanya dengan Orde Baru

Ternyata Orde Reformasi itu, pengulangan sejarah Orde Baru. Orang begitu anti dengan Orba (Orde Baru) pada masa awal-awal Orde reformasi, karena semangat anti otoritarianisme. Masyarakat marah pada Presiden Soeharto, karena otoriter. Marah kepada ABRI karena instrumen Soeharto untuk melaksanakan pemerintahan yang otoriter.

Akhirnya ABRI melakukan reformasi total pada tubuhnya. Menjadi TNI sejati, kembali ke barak, tidak ikut berpolitik. Politiknya adalah Politik Negara. TNI kembali kepada tupoksinya sebagai pembela kedaulatan negara. TNI memberikan kesempatan yang luas untuk terwujudnya _civil society_. Masyarakat sipil yang menjunjung nilai demokrasi.

Keburukan totaliter pada masa Orde Baru waktu itu, ternyata di masa 25 tahun Orde Reformasi keburukan yang sama ditunjukkan oleh masyarakat sipil itu sendiri, bahkan berusaha menarik narik dan menggoda TNI untuk ikut dalam keburukan totaliter itu.

Banyaknya jabatan birokrasi sipil yang diberikan kepada Polri maupun TNI aktif, perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme tidak beda dengan masa Orde baru, bukti nyata bagaimana sebenarnya sudah terjadi pergeseran semangat reformasi menjadi deformasi saat ini.

Orde Perubahan

Orde perubahan itu, tidak bisa disebut sebagai antitesa yang mutlak. Untuk kedepan perubahan itu sebaiknya dimaknai dengan _soft_. Perubahan itu bisa berarti melanjutkan sesuatu yang sudah baik dan bermanfaat bagi masyarakat, memperbaiki yang masih bisa diperbaiki, dan mengubah, merombak, dan bahkan membatalkan yang tidak baik, tidak bermanfaat, dan merugikan masyarakat.

Ukuran perubahan itu sebenarnya mudah. Dengan mendengarkan suara rakyat yang disuarakan oleh wakil rakyat/parlemen ( yang benar) dan berbagai lapisan organisasi kemasyarakatan sebagai _cross check_ atas suara parlemen. Parlemen sebagai legislatif yang mengontrol pemerintah harus dirubah cara bekerjanya. Parlemen itu harus bermartabat, punya harga diri, berdiri diatas kepentingan rakyat, bukan diatas kepentingan partai yang mengusungnya.

Demikian juga Presiden yang terpilih, harus benar-benar Presiden yang *Presidential*. Menempatkan dirinya pada tempat yang terhormat, berwibawa sebagai Kepala Pemerintah dan Kepala Negara, bersumpah untuk bekerja demi kepentingan rakyatnya tanpa embel-embel yang lain. Diharamkan penamaan Presiden itu sebagai petugas partai yang mengusungnya sewaktu dicalonkan sebagai Presiden.

Untuk menuju Indonesia Emas tahun 2045, seratus tahun Indonesia Merdeka, rakyat Indonesia sudah harus mampu memilah dan memilih calon-calon Presiden 2024 yang bisa membawa perubahan menuju cita-cita itu.

Jangan salah pilih dalam bilik suara. Selusuri jejak digital mereka-mereka yang mencalonkan diri sebagai Capres. Apa yang telah mereka lakukan, apa yang mereka katakan, dan apa yan telah mereka hasilkan untuk bangsa ini.

Bangsa ini sudah terlihat tua, tidak sebanding dengan usianya. Sudah hampir kehabisan energy karena disedot oligarki, sudah pucat kekurangan darah segar karena dihisap lintah darat oligarki. Harus segera dilakukan _recovery_, rehabilitasi supaya pulih kembali dan segera dapat melakukan lompatan jauh untuk mencapai Indonesia Emas 21 tahun mendatang ini.

Cibubur, 23 Mei 2023
Oleh: Dr. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc Dosen FISIP UNAS/Pemerhati Kebijakan Publik

- Advertisement -

Berita Terkini