Kewenangan Adjudikasi Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

A. Pendahuluan

Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota parlemen (legislatif) mulai dari anggota DPR, DPD dan DPRD provinsi kabupaten/ kota dan memilih pemimpin eksekutif yaitu presiden dan wakil presiden, yang dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil didasarkan pada UUD 1945. Secara umum pemilu melibatkan setidaknya tiga aktor penting yang saling berinteraksi dalam kerangka sistem pemilu yang dilaksanakan, yakni peserta pemilu, penyelenggara pemilu dan pemilih.

Dalam hubungan interaktifnya pada proses tahapan pemilu, para aktor penting dalam pemilu di atas khususnya antara peserta pemilu maupun antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu dapat muncul dalam bentuk hubungan yang bersifat harmonis atau sebaliknya hubungan yang bersifat konflik.

Kerangka hukum pemilu yang berbasis pada UU pemilu menyediakan sarana penyelesaian konflik terhadap kemungkinan munculnya hubungan yang bersifat konflik antar peserta pemilu maupun antara peserta pemilu dengan komisi pemilihan umum (KPU) melalui mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu agar konfik yang terjadi dapat diselesaikan secara berkeadilan sesuai dengan standar sistem keadilan pemilu (eletoral justice system).

Bawaslu, berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017 kewenangannya diatur dalam Pasal 95, bahwa Bawaslu berwenang untuk: menerima dan menindaklanjuti laporan atas dugaan pelanggaran pemilu; memutus pelanggaran administrasi pemilu; memutus terhadap pelanggaran politik uang; melakukan pemeriksaan, mediasi hingga ajudikasi terkait sengketa proses pemilu; memberikan rekomendasi kepada instansi atas hasil pengawasan terhadap netralitas ASN, TNI-Polri yang melanggar; evaluasi terhadap putusan Bawaslu di bawahnya; membentuk Bawaslu provinsi, kabupaten atau kota dan panwaslu luar negeri; pembinaan anggota; serta wewenang lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis normatif salah satu perkembangan penting mengenai penyelenggaraan pemilu khususnya bawaslu yang diatur dalam UU Pemilu adalah terjadinya penguatan fungsi bawaslu, bawaslu provinsi dan bawaslu kabupaten/ kota sebagai lembaga pengawas sekaligus peradilan pemilu. Fungsi peradilan ini dapat dilihat pada pasal 468 UU Pemilu yang menegaskan bahwa Bawaslu ditempatkan sebagai badan adjudikasi dan menyelesaikan sengketa setiap proses pemilu melalui mekanisme adjudikasi.

B. METODE

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan Jurnal ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan objek penelitian adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis dan asas-asas hukum dengan cara meneliti aturan-aturan norma-norma hukum.

Ketua Bawaslu Padang Lawas
Foto : Ilustrasi. (Dok.Net)

C. Hasil dan Pembahasan

Perpindahan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) ke Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dalam mengadili dan memutus sengketa pemilu bukan nya tanpa sebab, kuatnya intervensi politik dan kepentingan di pusat serta banyaknya kasus-kasus sengketa pemilu membuat MK merasa perlu mendelegasikan kewenangan dalam mengadili dan memutuskan dalam proses sengketa pemilu, tentu perlu kita apresiasi sebagai bentuk penguatan lembaga pengawas pemilu dan pendewasaan daerah. kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum dalam hubungannya dengan hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.

Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa proses pemilu mengacu pada pasal 468 ayat 3 dan ayat 4 UU Pemilu yaitu menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu dan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota menyelesaikan sengketa proses pemilu melalui adjudikasi.

Menurut Ateng Syafrudin tentang teori kewenangan “kewenangan formal yang berasal dari yang diberikan Undang-Undang”, kewenangan formal inilah yang digunakan Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa proses pemilu yang dimohonkan oleh PKPU terkait keputusan KPU nomor 58/PL.01.1-Kpt/03/KPU/II/2018 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dan permohonan kuasa Oesman Sapta Odang (OSO) terkait keputusan KPY nomor 1130/PL/01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2019.

Bawaslu beserta aparatnya di daerah sesungguhnya dapat memainkan peran sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pemilukada maupun pemilihan alternatif apabila membentuk dan mengembangkan sistem menampung dan merespon pertanyaan, keluhan, ataupun kesalahpahaman dalam pelaksanaan tata cara setiap tahapan pemilu atau pemilihan kepala daerah. Berbagai perkara atau sengketa pemilu atau sengketa pemilihan kepala daerah yang timbul karena ketidaktahuan atau kesalahpahaman dapat diselesaikan secara awal melalui mekanisme yang dimandatkan oleh undang-undang dan disusun oleh Bawaslu sebagai lembaga banding administrasi yang putusannya bersifat final dan mengikat tanpa membawa kasus ini kepada pengadilan murni.

Sistem peradilan (adjudikasi) khusus yang mampu menyelesaikan sengketa semacam ini diharapkan semakin kuat dan dipercaya publik. Penyelesaian sengketa inilah yang disebut sebagai penyelesaian sengketa alternatif melalui adjudikasi (peradilan) administrasi semu sambil menunggu adanya peradilan khusus pemilu yang defenitif pada pemilihan umum serentak nasional yang dicanangkan.

2 Tahun Bawaslu Kabupaten/Kota Mengabdi Untuk Negeri
Logo Bawaslu

Dalam ketentuan Perbawaslu No. 18 Tahun 2018 pada pasal 25 dalam penganjuan Majelis Hakim ajudikasi dari anggota tidak menjelaskan kompetensi hakim adjudikasi dalam pelaksanaan sidang adjudikasi terlebih lagi anggota Bawaslu ada yang dari disiplin ilmu lain selain hukum maka dari itu kompetensi hakim adjudikasi harus di berikan pendidikan khusus kehakiman dengan membentuk Divisi khusus hakim ad hoc adjudikasi sebagai upaya menghindari adanya ketidakcakapan dalam menangani kasus pilkada melalui adjudikasi.

Oleh karena itu, Peraturan Bawaslu No. 27 Tahun 2018 perubahan atas Peraturan Bawaslu Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas peraturan badan pengawas pemilihan umum Nomor 18 tahun 2017 tentang tata cara penyelesaian sengketa, proses pemilihan umum perlu di revisi mengenai kompetensi pengajuan hakim adjudikasi.

Maka dari itu dalam pembentukan divisi ini dapat mewadahi anggota Bawaslu untuk memberikan pendidikan khusus hakim adjudikasi hal demikian dilakukan terjamin keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum yang dimana dicetuskan oleh Gustav Rebruk. Maka dari kewenangan adjudikasi dalam sengketa pemilukada berjalan dengan terstruktur, sistematis dan masif, hal demikian menjadi upaya terjaminnya kompetensi hakim-hakim adjudikasi yang diajukan dari anggota Bawaslu yang dimana dalam pengajuan hakim ajudikasi mempunyai kapasitas dan integritas yang memadai.

Dalam pasal 95 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu telah mengamanatkan kepada Bawaslu untuk melakukan sidang adjudikasi yang dimana Bawaslu juga telah memiliki fungsi pengawasan dan fungsi peradilan dalam proses penyelesaian sengketa pemilu. Maka dari itu, rencana pembentukan peradilan khusus pemilu merupakan hal yang harus dilakukan karena pemilu serentak tahun 2024 akan dilaksanakan.

Terlebih lagi Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Dalam norma tersebut ditentukan bahwa yang berwenang menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah adalah badan peradilan khusus. Bagaimana dan seperti apa mekanisme bekerjanya badan peradilan khusus dimaksud sama sekali belum diatur.

Oleh karenanya, dengan menjadikan Bawaslu sebagai lembaga khusus Pemilukada dapat menyelesaikan sengketa pemilukada secara optimal karena jika penyelesaian sengketa terus dilakukan di Mahkamah Konstitusi dapat memungkinkan terjadinya ketidakefektifan penyelesaian sengketa dan mekanisme penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi di berikan Tenggang waktu penyelesaian sengketa yaitu 14 hari.

Hal tersebut diatur dalam pasal 475 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Dalam satu perkara Pemilukada jika terjadi sengketa secara bersama di setiap daerah, Mahkamah Konstitusi akan kewalahan dalam penyelesaianya sehingga penyelesaian sengketa Pemilukada tidak berjalan sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dalam biaya murah.

Maka dari itu perlu memperluas kompetensi kewenangan peradilan khusus pemilukada oleh Bawaslu dalam Undang-Undang Pemilu dan pengaturan mekanisme peradilan Khusus Pemilukada, dan sifat putusan nanti yang harus akhir dan mengikat (Final and Bainding). Maka prinsip Chek and Balance sebagai prinsip yang menjadi tolak ukur pembatasan kekuasaan lembaga negara sebagaimana Mekanisme checks and balances dalam suatu demokrasi merupakan hal yang wajar, bahkan sangat diperlukan.

Hal itu untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh seseorang atau pun sebuah institusi, atau juga untuk menghindari terpusatnya kekuasaan pada seseorang ataupun sebuah institusi, karena dengan mekanisme seperti ini, antara institusi yang satu dengan yang lain akan saling mengontrol atau mengawasi, bahkan bisa saling mengisi.

Kalau dilihat pada pasal 469 ayat 1 UU Pemilu menyatakan bahwa putusan bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan:

a. Verifikasi partai politik peserta pemilu
b. Penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ kota, dan
c. Penetapan pasangan calon

Selanjutnya, apabila putusan yang dikeluarkan Bawaslu tidak diterima oleh para pihak maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu wajib ditindaklanjuti oleh KPU paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan. KPU wajib menindak lanjuti putusan Bawaslu dengan meneribitkan keputusan KPU yang isinya menerima atau menolak dan melakukan upaya hukum ke PTUN. Apabila KPU atau peserta pemilu tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu, maka Bawaslu dapat mengadukan pihak yang terkait ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Kewajiban KPU untuk menindaklanjuti putusan Bawaslu adalah dengan mengeluarkan keputusan KPU baru, yang isinya menerima atau menolak dan apabila menolak maka harus melakukan upaya hukum ke PTUN. Berdasarkan Pasal 464 UU Pemilu, apabila KPU tidak menindaklanjuti putusan Bawaslu maka Bawaslu dapat mengadukan ke DKPP untuk dilakukan pemeriksaan.

Di samping itu, tindakan KPU juga telah melanggar ketentuan pada Pasal 518 UU Pemilu yang dengan tegas mengatur bahwa setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu yang berkaitan dengan pelaksanaan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah).

Bawaslu : Banyak Daerah Gelar Pilkada Sepele Bahaya Penyebaran Covid-19
Net/Ilustrasi.

D. Kesimpulan

Transformasi krusial kewenangan bawaslu, bawaslu provinsi, dan bawaslu kabupaten/ kota dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah menambahkan fungsi penyelesaian sengketa proses pemilu. Penambahan wewenang ini membuat bawaslu sebagai pemutus perkara, dalam memutus dan menindak, dilakukan melalui dua tahapan, yaitu menerima dan mengkaji permohonan penyelesaian sengketa serta mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi dan melalui sidang adjudikasi ini dapat dilaksanakan untuk menerima, memeriksa, mempertimbangkan dan memutus sengketa proses pemilu.

Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dan penetapan pasangan calon.

Putusan bawaslu dalam penyelesaian sengketa proses pemilu hampir sama dengan lembaga peradilan lain, ini dilihat dari karakter putusan Bawaslu bersifat final dan mengikat, substansi putusannya hampir sama dengan badan peradilan dan aspek prosedural sengketa proses pemilu melalui mekanisme persidangan. Melihat konstruksi hukum tentang kekuasaan kehakiman, Bawaslu tidak sebagai badan peradilan karena tidak termasuk peradilan di bawah Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan tidak termasuk dalam Peradilan Khusus.

Daftar Pustaka

Bagja, Rahmat, Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu: (konsep dasar, mekanisme maupun fungsinya sebagai sarana pelembagaan konflik yang mewujudkan keadilan pemilu), Jakarta: Bawaslu, 2019.

Bagja, Rahmat dan Dayanto, Naskah Buku Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu (konsep, prosedur, dan teknis pelaksanaan), Jakarta: Rajawali Pers, 2019.

Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.

Munte, Heri, Dkk. (2017). Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur,Bupati Dan Walikota (Studi Putusan Sengketa Administrasi Pemilihan Walikota Dan Wakil Walikota Di Panwas Kota Pematangsiantar Tahun 2015’. Medan: USU LAW Jurnal Vol. 5. No. 1.

Syafruddin, Ateng, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000.

Oleh : M. Taufik Umar Dani Harahap SH

- Advertisement -

Berita Terkini