Hukum Bukan Produk Politik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pendapat yang menyimpulkan bahwa: Hukum adalah/sebagai produk politik, bukanlah konklusi absolut dan sudah final terkait relasi hukum dan politik. Jika hal itu telah menjadi tesis para sebagian ahli hukum yang berada di lembaga politik, atau ahli hukum yang berlatar belakang politik, tentunya belum tertutup pintu untuk menguji dan menghadapkan antitesis padanya. Tentu tidak semua para ahli hukum–terkhusus ahli hukum dari latar belakang filsafat dan ahli hukum murni–sepakat bahwa hukum adalah atau sebagai produk politik.

“Hukum adalah atau sebagai produk politik” menurut saya perlu untuk terus diperdebatkan, perlu diberikan antinomi (pertentangan) ilmiah dan setiap orang sah-sahnya menilai pendapat tersebut. Sejak saya mempelajari dan mendalami hal tersebut, baik di dalam kelas mata kuliah maupun di luar kampus, selalu berada di pihak kontra terhadap pendapat tersebut. Sah-sah saja jika kita memberi penilaian bahwa pendapat tersebut adalah penggerusan terhadap nilai-nilai filosofis hukum itu sendiri.

Dalam hal ini bukan berarti saya tidak sependapat terkait adanya peran politik dalam kehidupan kita sehari-hari, baik dalam masyarakat maupun pemerintahan. Dalam perdebatan dengan seorang dosen dan juga dengan siapa saja, sikap kita menolak pendapat itu dengan menegaskan bahwa: Hukum bukan produk politik.

Pendekatan Analogis-Analitis

Dalam penguatan pendapat saya yang tidak setuju dengan pendapat bahwa hukum adalah atau sebagai produk politik, saya gunakan penjelasan dengan pendekatan analogis-analitis. Pendekatan analogis ini untuk mendeskripsikan secara fiksional-imajinatif relasi antara hukum dan politik. Pendekatan analitis (walau tidak sistematik) ini bermaksud menjelaskan gerak hubungan dan atau praktik aktivitas hukum dan politik dalam kehidupan individual dan juga sosial.

Kedua pendekatan yang kita gabungkan dan gunakan ini adalah dalam rangka menyederhanakan penjelasan serta pemahaman bahwa hukum bukanlah produk politik. Bukan maksud memperumit dan mempersulit serta memberi kekaburan di dalamnya, melainkan menyingkap cahaya gelap yang menutupi pemahaman pendapat bahwa hukum adalah atau sebagai produk politik.

Pertama-tama, kita analogikan bahwa relasi hukum dengan politik seperti sepasang kekasih atau suami-isteri, bukan seperti seorang anak dengan ayahnya atau seorang anak dengan ibunya. Dari penganalogian ini kita akan dapat membedakan bahwa hukum bukan produk politik dan hukum sebagai produk politik.

Analogi pertama (sepasang kekasih atau suami-isteri) untuk menggambarkan hukum bukan produk politik, sedangkan penganalogian kedua (seorang anak dengan ayahnya atau dengan ibunya) untuk menggambarkan hukum sebagai produk politik. Nah, kita membantah bahwa relasi hukum dengan politik yang menyimpulkan bahwa hukum sebagai produk politik dengan penganalogian pertama.

Maksudnya, politik dan hukum tidak mengenal stratifikasi yang membuat politik lebih tinggi kelasnya karena menghasilkan hukum. Keduanya tidak perlu dan tidak bisa di-stratifikasi-kan, akan tetapi dapat kita difrensiasi-kan. Tidak ada dan tidak perlu diadakan relasi vertikal antara hukum dengan politik, akan tetapi hubungannya terdapat relasi horizontal yang saling melengkapi, saling menyempurnakan dan saling melindungi layaknya sepasang kekasih atau sepasang suami-isteri yang mendambakan cinta sejati serta kebahagiaan bersama.

Terkait mengenai peranannya, tidak perlu diadakan manakah yang lebih penting. Sudah jelas kedua-duanya sangat penting dalam tatanan kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial selama hukum dan politik yang kita maksudkan adalah sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kemaslahatan ummat manusia.

Kedua, secara analitis bahwa asas dan prinsip hukum tentu berbeda dengan asas dan prinsip politik. Hukum bukan lahir dari politik, dan politik pun tidak lahir dari hukum. Asas dan prinsip masing-masing lah yang membentuknya, dan kreativitas suci manusialah yang membuat hukum dan politik saling beriringan pada tujuan universalitas manusia. Dalam praktiknya pun kita akan melihat yang mana ranah hukum dan yang mana ranah politik.

Selanjutnya, kita harus mengetahui bahwa peristilahan hukum yang digunakan tentu berbeda-beda. Ada yang menyebutkan law dan rule. Keduanya memiliki arti dan fungsi yang berbeda-beda. Keduanya juga tidak membenarkan bahwa hukum (baik law maupun rule) produk politik (politic). Hal ini dapat ditelusuri dengan penjelasan analitis-sistematik yang lebih lengkap lagi, akan tetapi tidak dapat kita uraian dalam kesempatan terbatas ini.

Hukum Bukan Produk Politik

Secara teori hukum dan teori politik, jelas dapat kita ketahui bahwa keduanya saling berbeda walaupun dalam praktiknya dapat dirasakan. Harus perlu kita tegaskan bahwa dalam praktiknya hukum dan politik saling beriringan. Jika corak berpikirnya menganggap bahwa hukum lahir dari politik karena dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintahan, seperti legislatif dan eksekutif yang diisi para politisi, hal ini lah yang membuat kabur, atau corak berpikirnya perlu dibersihkan.

Tidak dapat kita pungkiri memang bahwa hukum (rules) dibentuk oleh legislatif dan juga eksekutif, akan tetapi hal itu (rules) unsur pembentuknya (baik asas maupun prinsipnya) bukan unsur pembentuk politik, akan tetapi unsur-unsur pembentuk hukum itu sendiri. Di sini tentu sangat relevan apa yang telah ditegaskan oleh Hans Kelsen bahwa hukum perlu dipisahkan dari anasir-anasir sosial, terkhususnya politik.

Kita sepakat dengan pemikiran Kelsen (walau tidak secara keseluruhan) terkait perlu dipisahkannya antara hukum dengan politik, apalagi negara kita yang menganut hukum positif. Kelsen menegaskan bahwa politik tidak bisa lepas dari kepentingan ideologi. Nah, kepentingan tersebutlah yang dikhawatirkan mencemari asas dan prinsip hukum jika kita mengaminkan bahwa hukum adalah produk politik. Diharuskan hukum (rules/law) lahir dari norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat, bukan lahir dari norma-norma politik yang cenderung ideologis.

Secara tujuan dan karakteristiknya memiliki perbedaan. W Friedmann menjelaskan bahwa stabilitas, formalisme dan hasrat akan aman dari kekacauan adalah karakteristik dan tujuan hukum. Sedangkan Gustav Radbruch menegaskan hukum harus memberi manfaat, kepastian dan keadilan. Radbruch tidak secara murni memisahkan hukum dengan politik, akan tetapi pembagian tersebut menjelaskan bahwa hukum dan politik itu terpisah namun masih beriringan. Hal ini wajar-wajar saja, karena latar belakang seorang ahli hukum berbeda-beda sehingga mempengaruhi pandangannya terhadap hukum dan politik.

Sedangkan politik itu sendiri lebih masuk keranah soal kekuasan dalam pemerintahan dan juga ranah kelembagaan dalam rangka menjalankan apa saja yang harus dijalankan dan tidak dijalankan berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dibentuk. Jika hukum adalah aturan mainnya maka politik adalah gerak penyemangatnya.

Penutup

Hukum dan politik memiliki asas dan prinsip yang berbeda-beda, akan tetapi menuju pada arah yang sama. Yaitu arah yang membahagiakan individu dan sosial, yang tidak memisahkan dengan jiwa bangsa (volkgeist), norma-norma yang hidup di dalam masyarakat, keadilan substantif, dan serta kedamaian umat manusia.

Seperti analogi yang kita sebutkan dia atas, jelaslah bahwa hukum dan politik seperti sepasang kekasih yang bergerak dengan semangat dan cinta suci yang terus bergerak kepada harapan-harapan yang membahagiakan. Mereka berbeda, tidak menjadi penyebab dan akibat (causaliteit), dan tidak seperti lingkaran dalam lingkaran. Akan tetapi antara hukum dengan politik saling beriringan. Sehingga: Hukum bukan produk politik dan politik bukan produk hukum.*

Oleh: Ibnu Arsib (Mahasiswa FH UISU dan Kader HMI Cabang Medan)

- Advertisement -

Berita Terkini