Peradaban Islam, Sebatas Doktrin?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kenapa “peradaban Islam” mesti terus dibicarakan? Ada apa dengan istilah itu? Bagi mereka yang memperhatikan perkembangan secara seksama, dengan mengikuti lebih banyak detail dari setahap, demi setahap gerak dinamis dari perkembangan peradaban umat manusia, niscaya tidak sulit untuk memiliki kesamaan pandangan bahwa segala gerak dari dinamika masyarakat ada “yang mengaturnya”.

Hal yang sama akan ditemukan pada mereka yang secara saksama memperhatikan gerak dinamika dari perubahan-perubahan pada alam semesta. Mereka akan dengan mudah mempercayai bahwa ada sesuatu “yang menggerakkan” setiap detail perubahan demi perubahan pada alam semesta.

Hal itu jika telah tiba pada kesimpulan demikian, dengan mudah akan berkata: “sesungguhnya setiap detail perubahan, baik di alam semesta yang luas itu, maupun dalam lingkup perkembangan masyarakat, meniscayakan adanya “tujuan” dari yang menggerakkannya.

Dengan demikian tidak ada satu inci pun perubahan, dari gerak dinamika alam semesta, maupun masyarakat, melainkan sedang menuju tujuan penciptaannya masing-masing. Terlepas bahwa ada yang sedang bergerak secara keliru, nyasar, tidak pada jalur yang benar, sehingga seolah nampak ketidakberaturan dikarenakan oleh ketidakdisiplinan mereka.

Metode kerja para saintis memang berada pada posisi yang “serba ketidak-mencakupan”. Mereka mematuhi protokol sains untuk hanya menerima sesuatu yang dapat diverifikasi berdasarkan protokol ilmiah semata. Padahal sesungguhnya protokol itu hanya berlaku di “meja laboratorium” saja.

Tidak demikian halnya dalam kehidupan sehari-hari para saintis itu. Ambil contoh bagaimana para saintis itu mempercayai tunjangan hari tua, bukankah secara verifikasi sains, tidak bisa dibuktikan bahwa umur seorang saintis itu pasti “tua” sebelum mereka meninggal? Bukankah dengan demikian, para saintis itu menerima “tunjangan hari tua”, tidak berdasarkan protokol sains, tapi berdasarkan “keyakinan”?

Contoh lain, para saintis itu menyimpan uang mereka di bank-bank, karena “percaya” bahwa pegawai bank bisa dipercaya mengurus uang mereka. Membeli properthy dengan membayar “di muka” karena percaya bahwa pengembang perumahan dapat mereka percaya.

Jadi kehidupan para sainstis itu sesungguhnya tidaklah mengikuti protokol sains, jika mereka berinteraksi “di luar laboratorium”. Keseharian mereka, dan semua orang, termasuk agamawan/rohaniawan sesungguhnya diliputi oleh trust (kepercayaan).

Perbedaannya hanya terletak dimana mereka meletakkan pijakan _trust_ itu. Jika para saintis meletakkan pijakan _trust_ di meja-meja laboratorium, maka agamawan meletakkan _trust_ pada kitab-kitab suci agama mereka.

Jika _Kitab Suci_ agama yang mereka pedomani memang benar, maka tentu akan ditemukan realitasnya pada alam semesta. Sehingga apa yang ditemukan oleh para sainstis, pastilah tidak akan bertentangan dengan apa yang tertuang dalam “Kitab Suci”.

Sebuah “kitab” dikatakan “suci”, jika pada kitab itu memenuhi tiga persyaratan: pertama, bila kitab itu, sejak asalnya, saat ini, hingga “hari esok”, terpelihara nilai-nilai kebaikan.

Kedua, bila kitab itu sejak asalnya, saat ini hingga “hari esok” terpelihara kebenarannya.

Ketiga, bila kitab itu sejak asalnya, saat ini hingga hari esok terpelihara keindahannya”. Dengan demikian suatu kitab dikatakan “suci” jika tidak mengalami perubahan-perubahan nilai kebaikan, kandungan kebenaran, dan keindahannya. Jika tidak demikian, maka itu bukan kitab suci.

Umat Islam, patut berbangga bahwa mereka mempercayai kitab Ilahi bernama al-Quran, yang sejak diturunkan hingga hari ini, dan diyakini hingga akhir zaman tetap akan seperti itu, dan hanya satu itu saja, tidak ada versi lain. Dengan kandungan yang sama sekali tidak memiliki pertentangan dengan apa yang terjadi pada alam semesta. Ditambah pula, dengan keindahan bacaannya yang memiliki kandungan sastrawi yang tiada bandingnya.

Sebagaimana namanya, “al-Quran”, berarti “Bacaan yang sempurna”. Kitab ilahi yang diturunkan dari Allah SWT, agar menjadi panduan bagi seluruh umat manusia, yang mempercayai kebenarannya. Diisyaratkan dalam kata القران (Al-Quran) bahwa firman Allah ini mengharuskan keterlibatan manusia untuk mewujudkannnya, melalui dua huruf (alif dan nun) di akhir kata tersebut. Huruf Alif adalah simbol kehadiran Ilahi, dimana huruf alif yang ada pada kata ini dikenal dengan _alif ilmu_ sementara _nun_ adalah simbol dari kehadiran insaniah.

Jika kata al-Quran dibaca, maka kedua huruf yang terakhir itu akan berbunyi “an” yang berarti “kesempurnaan”. Maka disebutlah al-Quran itu sebagai “Bacaan Yang Sempurna”.

Dengan demikian, dapatlah kita memahaminya bahwa manusia mesti membaca, memahami isi dan kandungan al-quran itu, lalu menjadikannya sebagai pedoman hidup, atau guidance dalam menjalankan aktifitas mereka. Sehingga keterlibatan manusia dalam pencapaian tujuan diturunkannya al-Quran itu memiliki posisi yang sangat strategik.

Demikanlah karena Allah telah memutuskan untuk menjadikan Adam dan keturunannya sebagai _khalifah fil ardh_. Peran strategik sebagai _khalifah_ inilah yang diisyaratkan dengan kehadiran huruf _nun_ pada akhir kata al-quran tersebut.

Jika memahami penjelasan di atas, tidaklah sulit untuk mengajak para pembaca untuk bersepakat mengatakan bahwa al-Quran itulah “blue print” dari apa yang sedang kita bicarakan sebagai “peradaban Islam”.

Terwujud atau tidaknya idealitas peradaban Islam itu, dalam kehidupan dunia ini sangat ditentukan oleh sejauh mana manusia menjalankan panduan Allah, Tuhan Yang Telah Menurunkan al-Quran itu, agar dijadikan pedoman dalam bermasyarakat.

Tentu saja al-qur’an telah memberi peringatan bahwa setan/iblis yang telah menyesatkan nenek moyang umat manusia (Adam), tidak akan pernah senang dengan pelaksanaan al-Quran itu. Karena itu, jika al-Quran hanya dibaca, dikaji, dihafal, namun tidak diamalkan, iblis/setan itu relatif santai, (meskipun hati mereka “panas” dengan mendengar bacaan al-Quran).

Namun kalau sudah mau melaksanakannya, iblis/setan pasti akan menggerakkan pasukannya menentang keras pelaksananannya. Setan/iblis akan menuduh mereka yang mau melaksanakan al-Quran itu sebagai teroris, radikal, kadrun dan lain-lain. Dan bila perlu setan akan membunuh mereka yang memperjuangkan pelaksanaan al-Quran dalam membangun peradaban Islam.

Oleh karena itu, wahai orang-orang yang beriman, ingat dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya, dan jangan kalian mengikuti syaithan, karena sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.

Lalu jika demikian, apakah peradaban Islam itu akan terwujud? Orang yang beriman akan menjawab Insya Allah, pasti terwujud pada saatnya.

Dengan keyakinan seperti itu, bicarakanlah dan upayakanlah sedikit demi sedikit, setahap demi setahap pelaksanaan al-Quran itu dalam kehidupan sehari-hari. Yakinlah bahwa sekecil apa pun peran serta kita masing-masing dalam mewujudkan “peradaban Islam” itu, akan Anda dapatkan ganjarannya dari Allah Swt, di dunia ini maupun di akhirat kelak. Yakinlah, dan jangan berhenti sebatas doktrin saja.

Oleh : Hasanuddin – Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini