Ketakutan Terhadap Sebuah Narasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Narasi apa yang muncul akhir-akhir ini dalam ruang-ruang publik, menunjukkan apa yang sedang menjadi perhatian publik. Juga dapat memberi petunjuk tentang siapa yang takut terhadap sebuah narasi.

Kita ambil contoh misalnya; narasi tentang pemberantasan korupsi. Narasi ini marak disuarakan oleh para aktifis, namun nampaknya sangat ditakuti oleh pemerintah. Presiden dalam pidato kenegaraan di depan DPR/MPR bahkan tidak menyebut perihal ini. Mungkin saking takutnya mengomentari persoalan yang sedang melanda KPK. Juru bicara kepresidenan berdalih bahwa presiden tidak mau mencampuri urusan KPK, dengan alasan menghormati keputusan MK dan MA.

Pernyataan juru bicara presiden itu, tentu saja jadi bahan tertawaan berbagai pihak, mengingat sebelum-sebelumnya intervensi kepada KPK itu demikian tinggi intensitasnya. Di sisi lain, jika kita sebut satu persatu koruptor kakap, kita seolah jadi seperti rasis, karena umumnya dari etnis tertentu saja pelaku kakapnya. Sehingga membahas korupsi seolah sedang memojokkan etnis tertentu. Padahal sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di antara mereka itu banyak sumbangannya dalam pemilihan presiden.

Narasi kedua yang banyak memperoleh sorotan adalah tentang isu kebangkitan Komunis “gaya baru”. “Gaya baru” mungkin maksudnya adalah bahwa Komunis dewasa ini bergerak tidak terang-terangan sebagai suatu partai politik. Berbeda pada tahun 60-an ketika gegap gempita mereka disuarakan dalam bentuk sebuah partai politik. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, narasi ini demikian masif memperoleh perhatian pemberitaan. Dan karena itu patut “ditakuti” oleh pihak-pihak tertentu.

Narasi lain adalah soal Pilpres 2024. Sekalipun masih jauh momen itu, tapi isu ini meninggi volume pembicaraannya karena didorong oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Banyak yang bersuara bahkan ingin pemerintahan saat ini segera “diakhiri”. Tentu saja suara seperti itu adalah ungkapan emosional, jadi tidak untuk diseriusi. Namun bukan berarti tidak ada. Ada, bahkan banyak, tapi kita bisa menyebutnya dengan santai sebagai fenomena psikopolitik.

Narasi Pilpres 2024 ini termasuk narasi yang berskala besar, dan bercabang banyak. Antara lain cabangnya adalah gigihnya para buzzer mempromosikan Ganjar Pranowo untuk menggusur Puan Maharani agar memperoleh tiket nyapres dari PDIP. Cabang lainnya adalah munculnya nama Anies Baswedan bukan lagi sekedar “nama”, tapi telah menjadi narasi tersendiri. Nama Anies Baswedan ini, seringkali dikait-kaitkan (oleh yang takut kepada narasi ini) dengan Novel Baswedan, penyidik KPK yang oleh para buzzer “istana” sering disebut Kadrun dan atau “Taliban KPK”. Narasi Anies Baswedan ini memang unik, sampai-sampai berbagai upaya dilakukan sejumlah pihak untuk mematikan narasi ini. Sangat menakutkan bagi sebagian kalangan.

Narasi berikut lainnya adalah soal massifnya fenomena bunuh diri akibat kemiskinan, masalah utang yang terus membengkak di tengah kesulitan neraca keuangan pemerintah, perampasan tanah rakyat, dan fenomena pejabat negara yang anti-kritik.

Berbagai narasi di atas itulah yang mengemuka dalam beberapa pekan terakhir. Dirkursus yang terjadi di ruang-ruang publik, memang lebih banyak berlangsung secara virtual, daring melalui berbagai media informasi. Dan inilah warna baru dalam tata kelola perpolitikan nasional.

Biasakanlah membaca setiap tahapan dari perkembangan suatu narasi, dan tidak usah panik. Toh, apa sih pengaruh ketidakhadiran negara bagi kehidupan anda?

Oleh : Hasanuddin
Penulis : Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini