Radikalisme Narasi Pengganti Komunisme

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Setelah menonton dan mendengar vidio Mahfud MD. yang menerangkan tentang radikalisme, berulang-ulang kali aku memikirkan dan mencerna apa yang diucapkannya. Penjelasannya tentang Radikalisme menurutku menjadi terjemahan versi Penguasa atau Pemerintah Indonesia saat ini.

Mahfud MD. Menjelaskan bahwa penafsiran mereka (Pemerintah) terkait radikalisme itu tidak ada sangkut pautnya dengan agama tertentu. Nah, sampai di situ saya masih sependapat, walaupun sebenarnya radikalisme ini tidaklah tepat dijadikan paham (isme) yang menjadi “radikalisme” karena radikalisme ini bukan suatu ideologi dan ini hanya kata keterangan kerja dalam berfilsafat. Sehingga mengapa sering dikatakan dalam berfilsafat harus berpikir radik (radix) atau radikal, yang maksudnya berpikir sedalam-dalamnya dan atau sampai ke akar-akarnya.

Akan tetapi, radikalisme yang dikonsumsi oleh masyarakat kita saat ini adalah pengertian atau pendefinisian versi Penguasa dan orang yang berada di belakang Pemerintah.

Selanjutnya, menghubungkan radikalisme dengan terorisme tidaklah berhubungan. Terorisme bukanlah bagian daripada radikal (radix). Jelas bahwa, teroris atau terorisme itu melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan membantai banyak orang-orang yang tidak bersalah dengan tujuan tertentu. Lihatlah bagaimana Israel saat ini menakut-nakuti dan sampai pada membunuhi masyarakat Palestina. Menurutku, itulah sebenarnya teroris atau yang berpaham terorisme. Jadi, pendekatan radikal dengan terorisme sangat tidak berhubungan.

Kemudian pada keterangan Mahfud MD. lainnya, Ia menyebutkan bahwa radikalisme itu adalah yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Nah, sampai di sini mengalami kejanggalan lagi. Kita sungguh sangat sepakat dan harus mempertahankan bahwa asas negara kita harus tetaplah Pancasila dan harus dipertahankan demi kesatuan serta persatuan bangsa Indonesia. Bukan menjadikan Pancasila sebagai alat Penguasa untuk mengatakan seseorang sebagai terpapar radikalisme dan terorisme.

Perlu saya tekankan, bahwa dalam memahami Pancasila harus berpikir radikal. Karena, dalam literasi atau kajian-kajian Pancasila, ada namanya Filsafat Pancasila. Mungkin kita dengan mudah mencari buku-buku yang membahas Filsafat Pancasila. Nah, yang namanya berfilsafat tentunya harus radikal. Ber- Pancasila haruslah radikal supaya kita dapat mengorek nilai-nilai luhur yang ada dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta Lima Sila lainnya. Bukankah Bung Karno pernah menyebutkan bahwa Pancasila digalinya dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia?

Penjelasan atau pendefinisian secara terminologi bahwa radikalisme itu yang ingin menggantikan Pancasila sebagaimana yang dikatakan Pemerintah lewat Mahfud MD selaku Menterinya Presiden Jokowi, adalah kurang tepat. Seharusnya yang demikian adalah Komunisme. Mengapa Komunisme? Karena sepanjang perjalanan sejarah negara ini, Komunisme lewat PKI ingin selalu mengganti Pancasila menjadi Komunisme. Baik secara ideologi negara sampai sistem pemerintahannya.

Soegiarso Soerojo dalam bukunya yang berjudul “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” menjelaskan pemberontakan kaum komunis yang gagal tahun 1965 adalah aksi kudeta dan ingin menghapuskan Pancasila dari NKRI ini. Nah, jelas bahwa seharusnya narasi yang digunakan haruslah komunisme atau ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, bukan narasi radikal. Ingat, radikal tidak dapat dijadikan paham (isme). Jika pun telah terlanjur menjadi kata yang biasa diucapkan, saya sebutkan radikalisme dibuat sebagai pengganti narasi komunisme.

Apa maksud dan dibalik yang menggantikannya, hanya mereka dan Tuhanlah yang mengetahui. Tugas kita saat ini menjaga bangsa dan negara dalam bingkai persatuan dan kesatuan sebagaimana semboyan Negara Pancasila (NKRI); Bhinneka Tunggal Ika. Teroris atau terorisme bisa datang darimana saja. Baik dari rakyat biasa maupun dari kelompok yang ingin mempertahankan kekuasaannya dan atau yang ingin mengambil keuntungan materi di dalamnya.

Yang terakhir, terkait narasi radikalisme yang dibangun oleh Pemerintah atau siapa pun itu yang menghubungkan ke arah terorisme, perlu diragukan. Jika ada pun ajaran atau ideologi yang membuat teror hingga sampai membunuh manusia itu bukanlah radikalisme. Ya, itu ideologi (entah apa pun namanya) yang bertentangan dengan kemanusiaan. Dan itu harus dihindari.

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut)

- Advertisement -

Berita Terkini