Pemilu Membawa Pilu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pemilu merupakan sebuah aktifitas tak terhindari di negara yang menganut sistem demokrasi. Tidak ada sebuah negara demokrasi yang tidak menjalankan pemilihan umum (pemilu) bagi sebuah jabatan public dengan melibatkan warga negara yang berhak memilih. Sebab pemilu merupakan instrument pokok dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi.

Melalui pemilu yang diadakan lima tahun sekali ini, rakyat ikut menentukan siapa yang terbaik bagi mereka untuk menjadikan wakil rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden.

Di dalam Demokrasi, siapapun pemimpin yang terpilih akan menjalankan hukum yang di ciptakan oleh wakil rakyat. Karena hukum yang berdaulat di negeri itu adalah hukum kesepakatan wakil rakyat. Secara teoritis, penguasa negara tunduk pada hukum yang berdaulat. Jadi bisa di simpulkan bahwa didalam satu negara ada dua elemen, yaitu; kekuasaan dan kedaulatan. Dan ini merupakan inti dari demokrasi yang berarti kekuasaan di tangan rakyat dan kedaulatan hukum di tangan wakil rakyat.

Meskipun demikan, fakta berbicara bahwa kedaulatan hukum demokrasi ada di tangan para kapitalis. Hal itu terjadi karena hukum demokrasi adalah ciptaan legislatif, sedangkan suara legislatif sangat murah di beli.

Maka tak heran jika setiap pelaksanaan pemilu selalu diwarnai dengan kecurangan. Apalagi pemilu 2019 yang baru berlangsung dinilai banyak kalangan sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah negeri ini. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu. Deretan kasus ini menunjukkan KPU gagal menjamin pemilu berjalan langsung. Dari data yang dihimpun oleh Tirto, setidaknya ada belasan kabupaten/kota yang terhambat melaksanakan pemilu karena kegagalan KPU tersebut. tirto.id –

Kasus pertama terjadi di kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Ketua KPU TTU, Paulinus Veka mengatakan ada kekurangan surat suara untuk surat suara Presiden dan surata suara anggota DPRD kabupten untuk empat daerah pemilihan.

Keterlambatan logistik juga terjadi di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Akibatnya, ada 11 kecamatan yang terancam tidak bisa mencoblos. Polisi akhirnya dilibatkan untuk mempercepat distribusi logistik tersebut.

Kotak Suara Rusak

Kasus lain terjadi di kecamatan Tamansari dan Ciseeng, Kabupten Bogor, Senin, 15 April 2019. Di dua lokasi itu ada 682 kotak suara yang rusak. Beruntung, KPU Kabupaten Bogor memiliki kotak suara cadangan.

Hal serupa terjadi di Kepulauan Seribu. KPU menemukan 269 lembar surat suara rusak di Pulau Pramuka, yang lantas dihancurkan untuk menghindari penyalahgunaan.

Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ada 130 kotak suara rusak karena kehujanan. Divisi Teknis Penyelenggaraan, Komisioner KPU Jawa Tengah, Putnawati mengatakan kerusakan itu terjadi saat kotak suara diangkut dengan truk dan kehujanan di jalan.

Solusinya, mereka harus menggunakan kotak suara PPK untuk penghitungan suara. Sedangkan untuk kotak suara PPK, nantinya menggunakan kotak suara dari alumunium.

“Sesuai SE KPU 655 untuk rapat pleno tingkat PPK, ketika ada kebutuhan kotak suara yang masih kurang, maka dimungkinkan menggunakan kotak suara yang aluminium, yang lama,” kata Putnawati.

Di Kabupaten Bekasi, pada hari pemilihan, masih ada kekurangan 1.600 surat suara. Masalah itu bisa segera teratasi setelah ada pengiriman dari KPU Pusat.

Namun, pada hari H pencoblosan, justru ada kekurangan surat suara untuk DPR RI. Kekurangan itu terjadi di TPS 145 kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat.

Sementara itu, di TPS 91 dan TPS 92 Jatirahayu Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan pemilu, sehingga baru dimulai pukul 09.30 yang seharusnya pukul 07.00.

Kekacauan yang terjadi di pemilu 2019 yang digelar secara serentak tak hanya menelan dana hingga 26 triliuntapi juga menelan korban jiwa selama penyelenggaraan pemilu. KPU terus melakukan pendataan terkait jumlah petugas KPPS yang gugur dan sakit saat bertugas pada 17 April 2019. Data yang dirilis HU Republika pada (24/4) ini didasarkan oleh laporan KPU hingga pukul 16.30 WIB. petugas yang mengalami musibah sebanyak 667 orang. Sementara yang mengalami sakit sebanyak 548 orang. Musibah pemilu ini terjadi di 25 provinsi.

Pemilu Membawa Pilu

Menanggapi banyaknya korban jiwa saat pemilu serentak, Ketua KPU Arief Budiman menyebut akan mengusulkan santunan kematian sekitar 30-36 juta bagi petugas yang meninggal. Sementara yang mengalami cacat fisik akibat musibah akan mendapatkan 30 jutaan. Saat dikonfirmasi, menteri keuangan Sri Mulyani belum bisa menetapkan besaran santunan bagi korban jiwa pemilu.

Dalam artikelnya di HU Republika, Effendi Gazali, dkk menulis dengan judul Dukacita dan Pemilu Serentak. Dalam tulisan itu, Effendi sebagai salah satu pengaju judicial review menghimbau agar pemilu dikembalikan kepada saat 2014 dari pada pemilu serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan presidential threshold. Ketua KPU akhirnya menyatakan bahwa pemilu serentak cukup sekali saja. Dalam tulisan itu, Effendi lantas bertanya, apakah kemudian pemilu serentaknya yang harus disalahkan ?. saya jawab untuk pak Effendi, bukan hanya pemilunya yang disalahkan, tapi demokrasi pun harus disalahkan. Sistem politik padat modal inilah yang menjadi biang keladinya. Sebagai pengamat politik, Bung Effendi pasti sudah tahu cacat demokrasi. Dalam bahasa Ahmad Syafii Maarif, demokrasi itu cacat dan banyak bopengnya. Maarif membeberkan gambaran demokrasi yang tak kunjung menemukan bentuk yang memuaskan. Diakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang sarat dengan praktek politik uang (money politic). Bahkan demokrasi juga jauh panggang dari api soal pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam hal pemerataan kesejahteraan rakyat, bagi Syafii, demokrasi sangat mengecewakan. Indonesia akan terus bergelut dan berputar dalam lingkaran setan yang melelahkan, kata Syafii dalam membangun argumen pentingnya upaya pembenahan sistem demokrasi. (Republika, 16/04/19). Demokrasi dalam pandangan sokrates adalah bentuk pemerintahan yang anarkis, memberikan kesetaraan yang sembrono kepada siapapun, baik setara maupun tidak setara. Demokrasi memberikan ruang kebebasan tanpa batas. Anarkisme demokrasi akan berujung kepada kekuasaan tirani. Diperkuat oleh pandangan Aristoteles, bahwa demokrasi adalah bentuk negara yang buruk (bad state). Pemerintah yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas penduduk itu akan mudah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. karena Demokrasi adalah anak kandung kapitalisme sekuler. Dalam pandangan Islam, prinsip-prinsip demokrasi menyalahi syariah Islam. Pertama, Suara mayoritas mengalahkan suara Tuhan, melanggar QS Al An’am : 116. Kedua, kedaulatan hukum di tangan rakyat, melanggar QS Al An’am : 57. Ketiga, produk perundang-undangan ditentukan di parlemen, meski essensinya bertentangan dengan Alquran dan As-Sunnah, melanggar QS Al Maidah : 48. Keempat, demokrasi mencampakkan hukum Allah dalam urusan rakyat, melanggar QS Al maidah : 50.

Kembali kepada korban jiwa saat pemilu. Islam memandang kematian adalah qodho atau ketentuan Allah. Kematian seseorang adalah kehendak mutal Allah. Jika telah ajal, maka tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Tapi perbuatan yang menyebabkan kematian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Misalnya ada perampok yang membunuh tuan rumah saat tidur hingga mati, maka yang mati tidak berdosa, namun yang membunuh berdosa.

Begitupun mati saat pemilu adalah ajal, namun jika sistem yang dibuat oleh KPU saat pemilu serentak menyebabkan orang sampai kelelahan dan meninggal dunia, maka KPU pembuat aturan pemilu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Apalagi jika pemilu dimaksudkan untuk melanggengkan demokrasi yang oleh Aristoteles sebagai negara buruk. Apalagi jika kemudian para penyelenggara pemilu berbuat curang, maka berlipatlah dosanya.

Tentang mati dan ajal, Allah berfirman, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”. (QS Al Anbiya : 35)

Jika ditelisik dari faktor-faktor kematian di lapangan, maka pemilu serentak yang menguras tenaga para petugas itulah yang mengakibatkan korban jiwa, baik yang meninggal maupun sakit. Jika demikian maka kesalahan sistem adalah penyebab utama kematian petugas pemilu, maka pembuat sistem harus bertanggungjawab.

Bukan hanya sampai disini, pemilu 2019 ini bahkan orang dengan gangguan jiwapun boleh memilih, sementara rumah sakit jiwa telah lama bersiap diri menampung calon wakil-wakil rakyat yang tidak terpilih karena dimungkinkan akan mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa calon wakil rakyat yang tidak terpilih disebabkan modal politik yang terlalu besar hilang begitu saja. Sungguh ironis demokrasi ini. Masihkah akan dipertahankan ?. Jika berakal sehat, maka demokrasi tidak layak dipertahankan.

Ada ide untuk menyebut para petugas yang meninggal saat bertugas sebagai pahlawan pemilu atau pahlawan demokrasi. Ide ini lebih ironis lagi, sebab itu hanyalah bualan sebagai hiburan sejenak bagi rakyat. Padahal setelah pemilu rakyat banyak yang masih hidup justru akan terus hidup dalam kesengsaraan dibawah kaki para kapitalis yang menjadi cukong demokrasi. Demokrasi tidak pernah mengubah kondisi rakyat menjadi lebih baik, sebaliknya makin sengsara. Sebab demokrasi hanyalah permainan cukong kapitalis atas nama kesejahteraan rakyat.

Gelar pahlawan hanyalah bualan, sementara sistem pemilu telah terbukti memakan jiwa rakyat jelata. Karena itu para korban jiwa pemilu lebih tepat jika disebuat sebagai tumbal demokrasi. Lebih miris lagi jika kelak yang menang pilpres yang sarat kecurangan ini merayakan kemenangan dengan pesta pora. Mereka tertawa berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan pemilu diatas mayat-mayat kaum jelata.

Selama demokrasi masih diterapkan negeri ini, maka ideologi kapitalisme dan komunisme lah yang sesungguhnya tengah mengangkangi negeri ini. Selama itu pula, negeri ini tidak akan pernah merdeka dan berdaulat. Rakyat akan terus menjadi korban kampanye pemilu demokrasi. Setelah pemilu, mereka akan mati pelan-pelan karena beban ekonomi yang makin berat.

Sementara rakyat hanya sebagai tumbal yang akan terus dimiskinkan, sementara perampokan atas sumber daya alam terus dilakukan. Alhasil, kekayaan di negeri ini hanya beredar pada segelintir kapitalis. Rakyat hanya bisa menjadi penonton sambil menunggu sekarat karena perut lapar dan lehernya tercekik pajak yang makin menggila. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan hanyalah mimpi belaka. Maka, tak jarang di negeri ini masih ada masyarakat yang makan rumput kering, bunuh diri dan bahkan depresi merasakan beratnya beban hidup di negeri demokrasi dibawah penjajahan kapitalisme dan atau komunisme.

Penulis adalah Siswo Utomo SH

- Advertisement -

Berita Terkini