Solusi Indonesia Part 8, Al-Quran sebagai Pedoman dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Hasanuddin, MSi
Pengamat Sosial Politik

MUDANEWS.COM – Ketergesa – ketergesaan dalam mengambil suatu tindakan, salah satu sisi kelemahan manusia. Catatan ini bukan sekedar pembicaran mengenai proses pembuatan Omnibus Law yang ugal – ugalan itu, namun seperti yang dilakukan Musa atas kaumnya, ia telah meninggalkan kaumnya dan terlebih dahulu berangkat dengan maksud menemui Allah. Namun apa yang ditemuinya, Allah SWT justru menegur Musa. “Wahai Musa, apa yang menyebabkan kamu meninggalkan kaummu dengan tergesa-gesa? Musa menjawab, “mereka sedang mengikuti jejak-jejakku, sementara aku bersegera menuju-Mu, wahai Tuhan (Rabb) ku, agar Engkau ridha kepadaku. Allah berfirman; “Maka (ketahuilah bahwa), sungguh, Kami telah menguji kaummu sesudah engkau tinggalkan dan orang Samaria itu telah menyesatkan mereka” (QS. Thaha: 83-85)

Para mufassir menjelaskan ayat diatas, bahwa Musa terdorong oleh rasa gembiranya karena Allah telah menyelamatkan mereka dari kejaran Firaun, sehingga dengan perasaan gembira itu, dia bermaksud bersegera menemui Allah di Gunung Sinai. Dia berangkat mendahului atau meninggalkan kaumnya karena berpikir bahwa kaumnya tetap tunduk dan patuh kepadanya, sekalipun dia tidak berada ditengah-tengah mereka. Sebuah persangkaan yang ternyata keliru. Ditengah-tengah rombongan Bani Israel yang menyertai mereka eksodus dari Mesir, ada seorang Yahudi dari suku Samirah”.

Sebagaimana penjelasan Al-Thabari dan Al-Zamaksyari, suku samaria ini adalah kelompok etni religie yang saat ini masih dapat ditemukan keturunannya di daerah Nablus, Palestina. Sekte ini diduga merupakan keturunan dari al-samir yang diceritakan turut serta eksodus bersama Musa.

Sebagaimana di kemukakan oleh Ibn Abbas, yang di kutip Al-Razi, orang ini adalah salah satu dari sekian banyak orang Mesir yang telah beralih agama mengikuti ajaran Musa dan bergabung dalam rombongan Bani Israel yang dipimpin Musa meninggalkan Mesir dari kerjaran firaun. Sekalipun demikian, kepercayaannya akan agamanya yang terdahulu belum sepenuhnya tinggalkan.

Disamping itu pula, ia belum sepenuhnya memahami ajaran Musa as. Harun, yang ditugaskan Musa menjaga rombongan itu, bahkan tidak mampu mencegah samiri untuk mempengaruhi rombongan tersebut mengikuti ajaran lama yang dianutnya. Menyembah Patung Sapi Emas, sebagai perlambang tuhan yang mereka sembah.

Ketika Musa ditegur Allah karena meninggalkan rombongannya, dan diberitahu akan apa yang dilakukan Samiri atas rombongan yang ditinggalkannya itu, Musa bersegera kembali menemui rombongan mereka. Musa memarahi Harun, karena dianggapnya lalai dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula Musa amat marah kepada Samiri yang telah menyesatkan rombongan tersebut dari ajarannya dan berpaling kepada ajaran nenek moyangnya menyembah patung sapi emas.

Kisah ini diturunkan dari ayat 86 hingga ayat 97 pada surah Thaha, yang memberikan setidaknya beberapa pelajaran penting; pertama agar seorang pemimpin tidak meninggalkan mereka yang dipimpinnya, sekalipun yang mereka lakukan itu baik menurut pendapatnya sendiri, namun belum tentu dapat diikuti oleh yang dipimpinnya.

Visi seorang pemimpin setinggi apapun itu, sehebat apapun itu, namun jika rakyatnya tidak memahami visi itu, tidak merasa menjadi bagian dari visi itu, tidak akan memberi manfaat. Kedua; umat, rakyat atau pengikut dapat keliru di dalam memahami petunjuk atau arahan seorang pemimpin, dan ketidakhadiran pemimpin ditengah-tengah warga yang dipimpinnya besar dampaknya terhadap keutuhan masyarakat.

Secara akidah, Islam menentang segala bentuk sesembahan selain Allah, atau membuat berhala-berhala, sekalipun itu di assosiasikan sebagai “perantara” dalam menyembah Allah. Sebab itu, terlepas dari alasan “toleransi”, akidah Islam tidak menerima segala bentuk tradisi penyembahan kepada Allah melalui media perantara seperti patung, atau berhala dalam bentuk apapun.

Ketergesa-gesaan dalam menyimpulkan apa yang dibaca dari ayat-ayat Alquran, juga sangat tidak dianjurkan. Allah swt telah menyusun Alquran dan menurunkannya secara bertahap agar melalui proses pentahapan tersebut, manusia menyaksikan kesempurnaan Alquran yang disampaikan melalui lisan Arab hamba-Nya (Muhammad), agar menjadi peringatan yang didalamnya memiliki banyak sisi, agar manusia tetap senantiasa sadar akan Allah, dan atau agar Alquran itu membangkitkan suatu kesadaran baru, tahap demi tahap pada (diri)mereka yang mempelajarinya.

Allah swt berfirman:

{وَكَذَلِكَ أَنزلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُمْ ذِكْرًا (113) فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (114) }

“Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Qur’an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka. Maka Maha-tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya; dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

Meskipun sangat mungkin bahwa peringatan ini, sebagaimana yang umumnya disampaikan para mufassir klasik, pertama-tama ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, tidak diragukan lagi bahwa ia juga berlaku bagi setiap orang yang membaca Alquran sepanjang masa. Gagasan yang mendasari ayat diatas mungkin dapat disimpulkan bahwa; karena Alquran adalah firman Allah swt, seluruh bagian yang menyusunnya, frasa, kalimat, ayat dan surah, membentuk keseluruhan yang integral dan serasi, sebagaimana yang disampaikan dalam Surah Al-furqan (25) ayat 32 ( sebagaimana telah kami tuliskan pada part-6 dari catatan ini).

Ketergesa-gesaan ini erat kaitannya dengan kisah alegoris keterperdayaan Adam kepada Iblis tentang persangkaan iblis mengenai pohon kehidupan (khuldi). Akibat dari suatu dorongan dari Iblis yang tidak dicermati secara saksama oleh Adam kebenarannya, sehingga Adam terpuruk karenanya.

Renungkanlah, apakah Omnibus Law itu dan sejumlah kebijakan mengejar investasi duniawi lainnya itu, telah sesuai dengan kehendak Allah swt, atau semata karena ketergesa-gesaan yang disebabkan oleh bisikan Iblis tentang kehidupan keabadian. Jangan sampai kecintaan kepada kelanggengan berkuasa secara secara abadi, dorongan untuk mengejar pertumbuhan semata, sehingga semua langkah-langkah yang diambil justru mendatangkan kemurkaan Allah swt.

*”Dan Allah senantiasa mengatakan kebenaran, serta senantiasa memberi jalan” (QS.33:4).

Billahitaufiq Walhidayah

Depok, Kamis 5 November 2020

Penulis adalah Ketua Umum PB HMI 2003-2005, Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia

- Advertisement -

Berita Terkini