Suharto Dulu Juga Merasa Benar Tidak Langgar Konstitusi, Tapi Rakyat Tidak Suka

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Jokowi semakin terdesak oleh semua tindakannya sendiri. Sebenarnya, jika Jokowi ingin bermain cantik, bisa saja, dan dipastikan menang. Hanya saja, ternyata Jokowi termasuk orang yang tidak sabaran.

Paslon Pra-Gib sudah leading dan kans untuk menang mencapai 85%, meski mungkin melalui dua putaran. Tapi Jokowi memaksa dan ingin Pra-Gib satu putaran. Entah apa yang dikejarnya. Pasti ada hidden agenda di belakangnya.

Yang pasti, sepertinya Jokowi ingin mendapat kepastian dengan cepat. Mungkin ia sudah mempersiapkan beberapa rancangan dan langkah yang harus ia siapkan jika Prabowo menang satu putaran.

Bagi dia waktu adalah momentum. Jika dua putaran maka momentum bisa hilang. Mungkin ya, saya sendiri tidak tahu apa yang sudah dirancangnya. Termasuk di dalamnya ada deal-deal politik pastinya.

Saya hanya akan menyoroti efek dari “kegelisahannya yang menyebabkan banyak melakukan blunder. Bisa jadi ini sudah diketahui dan diperkirakan sebelumnya namun Jokowi berpedoman, sepanjang itu aman tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Namun di sisi lain akan merepotkan tim Prabowo yang harus terpaksa setiap kali membuat klarifikasi agar Jokowi tidak diserang. Jelas langkah Jokowi tidak produktif.

Hal ini dilakukan Jokowi bukan tanpa dasar. Ia melihat gerakan mesin partai dan relawan Prabowo sangat lamban. Terutama Prabowo sendiri yang dianggapnya malas untuk bergerak (turun dan menyapa rakyat).

Elektabilitas pun stagnan belum mencapai 50%. Ini yang membuat Jokowi gusar lalu berupaya keras dan terpaksa turun gunung. Prabowo harus berterima kasih kepada Jokowi yang terpaksa harus tabrak sana-sini.

Itu semua demi Prabowo, selain juga demi kepentingan politik pribadi Jokowi sendiri tentunya. Namun rakyat dan juga masyarakat sipil merespon negatif. Publik merasa kecewa dan tidak suka.

Ketidak-sukaan publik dibalas pula oleh Jokowi dengan nada “marah”, meski menahan intonasinya saat diwawancarai media. Jelas ia ingin mengatakan dirinya punya hak politik begitupun dengan para menteri. Boleh kampanye boleh memihak.

Komentar ini pun kembali mendapat respon yang jauh lebih negatif dari publik. Mungkin Jokowi tersadar jika apa yang disampaikan kurang lengkap, maka ia pun menyeting wawancara terkait itu.

Pihak istana bahkan sudah menyiapkan satu kertas print-print an berukuran besar. Berisi pasal dalam UU Pemilu. Buat apa ia melakukan itu selain ingin menunjukkan dirinya benar, dan jangan pojok kan saya.

Jokowi berlindung dari balik UU, padahal yang dipersoalkan publik adalah etika posisi pejabat negara atau pemerintah dalam pemilu. Jika hanya bicara hukum konstitusi, silahkan jawab pertanyaan saya: Apa kesalahan Suharto yang dianggap melanggar konstitusi ataupun UU? Tidak ada. Semua sudah berdasar UU yang memang dikondisikan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan Suharto. Tapi tetap saja itu semua berdasar konstitusi.

Persoalannya, rakyat tidak suka bukan karena Suharto melanggar konstitusi melainkan karena Suharto menerapkan gaya pemerintahan yang otoriter. Gaya pemerintahan itu juga konstitusional karena memang begitu aturan yang dibuat (ingat Dwi fungsi ABRI dsb), namun tidak disukai rakyat karena dianggap mengekang hak-hak politik rakyat. Suharto dianggap semena-mena, membudayakan KKN untuk anak-anak dan kroninya. Inilah etika politik.

Suharto dianggap tidak memiliki budaya etika politik demi melanggengkan kekuasaan. Itulah yang terjadi hingga rakyat melakukan perlawanan hingga mendesak Suharto mundur. Jokowi tidak belajar dari situ.

Padahal, wakil presiden, Ma’arif Amin dan beberapa menteri, seperti Sri Mulyani sudah mencontohkan agar pemerintah (pejabat) bersikap netral. Berpihak boleh, tapi tidak perlu ditunjukkan apalagi terlihat nyata oleh publik.

Jelas paslon lain akan merasa ada yang tidak adil dalam penyelenggaraan pemilu. Dengan alasan hak politik presiden dan menteri boleh kampanye boleh memihak, kemudian menunjukkan keberpihakannya.

Inilah yang secara etika moral tidak pantas dilakukan meski boleh secara hukum. Ma’arif Amin dan Sri Mulyani menggunakan dasar moral (etika) tapi Jokowi berdasar pada hukum. Ingat, etika itu kedudukannya lebih tinggi ketimbang hukum.

Meski sanksi hukum pelanggar etika itu tidak ada, namun sanksi sosial sudah menunggu, seperti apa yang didapat oleh Suharto. Bukan soal Jokowi sebagai presiden mau berpihak ataupun mau kampanye, yang tidak disukai publik adalah kepentingan politik Jokowi yang terlihat jelas ingin melanggengkan kekuasaan melalui anaknya Gibran. “Kerakusan” itu yang tidak disukai rakyat. Jokowi tidak bisa mengelak.

Jika mengatakan “tidak” serakah, maka hentikan cawe-cawe dan bersikaplah netral seperti Wapres dan Menkeu. Jadilah juri atau wasit yang adil tanpa ada konflik kepentingan karena anaknya menjadi cawapres Prabowo.

Rakyat tidak bisa dibodohi atau dibohongi. Ini semua juga karena ulah Jokowi sendiri yang grusak-grusuk menginginkan satu putaran. Wong jika Jokowi nongkrong saja, kemungkinan Pra-Gib menang tinggi.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Para tokoh bangsa, pengamat, media hingga ormas sudah memojokkan Jokowi. Jikapun ia secara legalitas masih presiden tapi tidak memiliki legitimasi lagi.

Orang-orang sekeliling Jokowi hanya kroninya para politik-penguaaha dan relawan. Justru kekuatan Jokowi dulu ada di tangan civil society yang berperan menggerakkan rakyat. Tanpa mereka, Jokowi bukan siapa-siapa.

- Advertisement -

Berita Terkini