Awan Gelap Bayangi Daya Beli Petani Sawit Sumut di Tahun 2023

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Megacu kepada Nilai Tukar Petani Perkebunan Rakyat (NTPR) Sumut, yang mengalami kenaikan sebesar 5.29% pada bulan November 2022 menjadi 159,99. Petani perkebunan rakyat di Sumut masih dikatakan kesejahteraan masih terjaga, karena nilai indeksnya diatas 100. Selama bulan November kemarin harga CPO global ditransaksikan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan oktober sebelumnya. Sejauh ini harga CPO masih di kisaran $4.011 ringgit per tonnya.

Hal itu dikatakan Pengamat Ekonomi Sumut Gunawan Benjamin di Medan Sumatera Utara, Rabu (7/12/2022).

“Indeks nilai tukar (NTP) yang masih jauh di atas 100 tersebut, sejauh ini mengindikasikan bahwa petani perkebunan rakyat masih menikmati keuntungan dari penjualan tanaman sawit tersebut. Dan menjelang tahun 2023 mendatang, petani sawit seakan lebih siap dalam menghadapi ancaman resesi global dibandingkan jenis petani lainnya yang ada di wilayah Sumut,” jelasnya.

Namun, lanjut Benjamin, fakta di lapangan justru meragukan hal tersebut. Ada perlambatan ekonomi China dan Negara tujuan ekspor, yang menebar ancaman perlambatan ekspor di wilayah SUMUT. Ekonomi China di proyeksikan mengalami perlambatan pada tahun ini dari target pemerintah sebesar 5.5%, diperkirakan hanya akan terealisasi di kisaran 3%-an.

“Perlambatan ekonomi China tersebut juga telah menghempaskan harga CPO yang sempat mencapai 7.100 ringgit per ton pada bulan mei. Dan secara konsisten turun sampai saat ini. Dan penurunannya sangat signifikan, yang jika berkaca pada kemungkinan resesi mengindikasikan bahwa permintaan global untuk CPO ini dalam tren turun. Saya memperkirakan kondisi terburuk CPO tahun depan itu akan berada dikisaran 2.800 hingga 3.200 ringgit per tonnya,” jelas Benjamin.

Benjamin menambahkan, penurunan harga CPO akan memukul nilai tukar petani perkebunan rakyat, khususnya dari sisi indeks harga yang diterima. Tidak berhenti disitu, ancaman perang masih berpeluang memicu terjadinya kenaikan harga pupuk yang bisa saja terjadi di tahun 2023 mendatang. Harga gas yang di tahun ini masih mahal, ditambah dengan kebutuhan besar serta kebijakan gas ketat di wilayah eropa karena perang.

“Sangat berpeluang memicu kenaikan harga pupuk, dan menambah pengeluaran petani, khususnya dari sisi indeks harga yang dibayar petani. Indeks harga yang dibayar tersebut ini nantinya akan menggerus daya beli petani yang membuat indeks nilai tukarnya (NTPR) turun secara keseluruhan,” tambahnya.

Jadi, menurut Benjamin, tensi geopolitik yang masih panas, dengan ancaman resesi global yang belum mengikis rasa pesimis. Akan menjadi ancaman bagi petani sawit, terlebih kebijakan subsidi pupuk yang diberikan pemerintah tidak memasukan petani sawit sebagai petani yang berhak mendapatkan subsidi. Jadi daya beli petani sawit pada dasarnya berpeluang bermasalah nantinya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini