Resesi Memang Pahit, Namun Tidak Semua Masyarakat Akan Merasakan Pahit Yang Sama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Resesi di depan mata, niscaya kita bisa menghindarinya. Keniscayaan itu muncul setelah di kuartal ketiga yang tersisa 3 minggu ini menyisahkan banyak masalah besar di tanah air. Aktifitas ekonomi yang lesu membuat estimasi pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga diperkirakan akan mengalami kontraksi atau minus. Dan secara sah nantinya akan membuat Indonesia resmi masuk jurang resesi.

“Namun, resesi yang kita alami dan rasakan nantinya tidak akanlah sama. Jadi kalau kita berandai-andai ekonomi nasional nantinya minus 2% di kuartal ketiga. Apakah semua rakyat Indonesia akan merasakan hal yang sama?, yakni merasakan resesi yang angkanya sama?. Tentunya tidak, masing-masing dari kita akan merasakan hal yang berbeda,” jelas Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Jumat (4/9/2020).

Dia menambahkan, jangankan masing-masing dari kita, setiap wilayah khususnya pemerintah daerah juga bisa saja merasakan hal yang tidak sama. Yang tercermin dari pertumbuhan minus ekonomi di wilayahnya masing masing. Ambil contoh Sumut akan merasakan resesi yang dosisnya lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata resesi nasional. Karena realisasi pertumbuhan ekonomi Sumut di kuartal kedua minus 2.37% atau lebih rendah dari nasional minus 5.3%.

“Hal yang sama juga pernah terjadi di tahun 97/98. Dimana krisis kala itu terjadi dengan realisasi dua digit (lebih dari minus 10%). Tetapi sebagian dari masyarakat kita justru tidak mengalami kesulitan ekonomi yang berarti. Berkaca pada tahun 97/98, dimana kala itu harga sawit atau TBS (tandan buah segar) mengalami kenaikan yang sangat tajam,” tambahnya.

Sawit di tingkat petani kala itu yang sempat dijual di kisaran 250 hingga 300 Rupiah per Kg, tiba-tiba mengalami kenaikan hingga menjadi 900 hingga 1000 rupiah per Kg. Petani sawit kala itu justru sangat diuntungkan dengan terjadinya krisis 97/98. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang justru merana dengan terjadinya krisis di era 97/98 tersebut.

“Nah, bukan hanya sawit yang naik kala itu. Pelemahan Rupiah yang melemah hingga 8 kali lipat (2.500 menjadi 17 ribu per US Dolar) juga menguntungkan petani lainnya seperti karet, kelapa, dan banyak petani yang lain. Nah kondisi ini menjadi gambaran bahwa kala krisis hebat 97/98 saja, masih banyak masyarakat yang justru diuntungkan karena pendapatannya malah naik berlipat lipat,” imbuhnya.

Namun, krisis di tahun 2020 ini berbeda dengan krisis 97/98. Akan tetapi tetap saja tidak akan memberikan rasa pahit yang sama bagi masyarakat kita. Dan tetap saja masyarakat kita akan diuntungkan secara ekonomi seperti tenaga medis, perusahaan farmasi, perusahaan pembuat suplemen, termasuk juga keuntungan kenaikan harga sawit selama pandemi yang rata rata sedikit lebih tinggi dibandingkan sebelum ada pandemi, dan masih banyak perusahaan lainnya.

“Nah, sebagian masyarakat kita mungkin justru tidak akan banyak merasakan dampak negatif resesi ekonomi seperti ASN, Pegawai BUMN, TNI/POLRI, petani yang mandiri memenuhi kebutuhannya sehari hari, sebagian besar pegawai wastadan banyak lagi. Dan sebagian masyarakat justru kehilangan pendapatan maupun usahanya bangkrut, seperti karyawan di sektor pariwisata, sektor jasa, pusat perbelanjaan, tenaga kerja kontrak atau informal dan lain lain.

Lanjutnya, atau justru ada kelas masyarakat yang tidak mengalami tekanan ekonomi namun terbebani dengan gangguan penyakit atau bahkan gangguan jiwa. Seperti para pengambil kebijakan, para pejabat tinggi, direksi perusahaan dan banyak lagi. Jadi kesimpulannya dampak resesi ini tidak akan dirasakan sama oleh masing-masing dari kita.

“Tergantung pada siapa kita pada saat resesi ini. Jadi jangan menyimpulkan bahwa kita akan merasakan dampak resesi yang sama. Bahkan saya masih menemukan masyarakat yang menyatakan resesi ini menguntungkan. Dari hasil survey saya tersebut, masyarakat itu menyatakan sekalipun dia kehilangan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun disaat resesi dia tetap saja bisa memenuhi kebutuhan keluarganya sehari hari karena ada Bansos. Dan dia berkesimpulan “kenapa harus kerja?,” jelas Gunawan Benjamin. Berita Medan, red

- Advertisement -

Berita Terkini