Rupiah Melemah, Nilai Tukar Berada di Level Rp14.777 per Dolar AS

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Nilai tukar rupiah berada di level Rp14.777 per dolar AS pada Kamis (3/9) sore. Posisi ini melemah 32 poin atau 0,22 persen dari Rp14.745 pada Rabu (2/9).

Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.818 per dolar AS atau melemah dari Rp14.804 per dolar AS pada Rabu (2/9).

Di kawasan Asia, rupiah melemah bersama rupee India minus 0,61 persen, won Korea Selatan minus 0,23 persen, peso Filipina minus 0,08 persen, dolar Singapura minus 0,06 persen, dan baht Thailand minus 0,05 persen.

Sedangkan dolar Hong Kong stagnan dan beberapa mata uang lain berada di zona hijau, seperti ringgit Malaysia dan yuan China, masing-masing menguat 0,08 persen dan 0,07 persen.

Begitu juga dengan mata uang utama negara maju. Mayoritas melemah dari dolar AS. Hanya rubel Rusia yang menguat 0,01 persen.

Dolar Australia melemah 0,32 persen, poundsterling Inggris minus 0,28 persen, dolar Kanada minus 0,24 persen, euro Eropa minus 0,2 persen, dan franc Swiss minus 0,05 persen,

Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan nilai tukar rupiah melemah karena sentimen penguatan dolar AS yang didukung perbaikan ekonomi di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Hal ini tercermin dari indeks Purchasing Managers Index (PMI) AS yang mencapai 56 dari sebelumnya 54,2.

Selain itu, bank sentral AS, The Federal Reserve juga memberikan dukungan stimulus moneter demi pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam. Dukungan diberikan dalam bentuk pembelian aset untuk mendukung likuiditas (Quantitative Easing/QE).

“Ini membuat perekonomian AS menjadi banjir likuiditas,” ujar Ibrahim kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/9).

Dari dalam negeri, sentimen kebijakan berbagi beban (burden sharing) antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) masih mempengaruhi pelaku pasar. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan burden sharing kemungkinan baru tidak dibutuhkan pada 2022 ketika ekonomi Indonesia sudah mencapai kisaran 4,5 persen sampai 5,5 persen pada 2021.

“Pelaku pasar kecewa karena mengira burden sharing hanya kebijakan jangka pendek, sekali pukul, ad hoc, one off. Namun ternyata ada kemungkinan bertahan lama,” terangnya.

Selain itu, pasar juga terpengaruh sentimen Rancangan Undang-Undang (RUU) BI yang tengah dibahas di Badan Legislasi DPR. Salah satu opsi yang ada adalah kembalinya Dewan Moneter seperti masa Orde Baru.

“Informasi ini membuat bingung pelaku pasar sehingga wajar kalau dana asing menahan diri untuk masuk ke pasar keuangan malahan sebaliknya dana yang sudah parkir di pasar dalam negeri kembali keluar,” pungkasnya.

Sumber : CNNIndonesia.com

- Advertisement -

Berita Terkini