Pengacara Sa’i Rangkuti, Agar Perkara UU ITE Jurnalis Mudanews Dihentikan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Menanggapi proses hukum mediasi klien kami dari Polda Sumatera Utara Nomor : K/1759/VIII/RES.2.5/2021/Ditreskrimsus, tanggal 19 Agustus 2021 yang ditujukan kepada klien kami Ismail Marzuki.

“Selaku Kuasa Hukum Ismail Marzuki sangat memberi apresiasi kepada Polda Unit Dirkrimsus, walaupun klient kami sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun proses mediasi tetap terbuka, sehingga bertalian dengan tugas Jurnalistik yang melekat pada diri klient kami, seyogyaNya menurut hemat kami, agar Perkara ini dihentikan demi kepentingan umum, sebagaimana statement Kapolri Tentang ITE,” ungkap M. Sa’i Rangkuti, SH,. MH dan Muhammad Ilham, SH, Rahmad Makmur, SH., MH, Rizky Fatimantara Pulungan, SH dan Imam Munawir Siregar, SH., Sabtu (21/8/2021)

Sa’i menegaskan, hak pers atau kemerdekaan pers dijamin sebagai Hak Asasi Warga Negara yaitu untuk mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum, yang sejatinya merupakan suatu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Artinya, setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan yang sama di dalam hukum.

“SeyogyaNya eksistensi pers harus dijunjung tinggi sebab pers merupakan pengawas pengadilan yang sangat memberikan kontribusi penting kepada masyarakat luas. Kebebasan pers tidak terelakkan lagi merupakan suatu unsur penting dalam pembentukkan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu Negara,” jelasnya,

Oleh karena itu, lanjutnya, sudah seharusnya jika pers sebagai media informasi dan juga sering menjadi media koreksi, dijamin kebebasannya dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F.

“Oleh karena itu, jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum, namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.

Dalam hal ini, sambungnya, bagaimanapun juga asas persamaan dihadapan hukum atau “equality before the law” tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan pers. Asas persamaan dihadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1), para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki kekebalan (immune) sebagai subjek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berlaku di Indonesia, akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kebebasan pers telah dikekang oleh Undang-Undang.

“Bertalian dengan hal tersebut seyogyaNya Polri dalam hal ini Penyidik Polda Unit Krimsus harus memahami Tentang Hak-Hak Pers ketika klien kami melakukan kegiatan Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, di dalam Pasal 8 telah memberikan Perlindungan Hukum yang Mendasar, Menyeluruh dan Profesional terhadap Profesi Wartawan,” ungkapnya.

Menurutnya, sepanjang wartawan menjalankan tugasnya berdasarkan UU Pers, kode etik jurnalistik dan peraturan-peraturan turunan, seperti peraturan dewan pers, terhadap wartawan tidak dapat dikenakan pidana. Pemaknaan ini tidaklah berarti profesi wartawan imun terhadap hukum. Profesi wartawan tetap harus tunduk dan taat kepada hukum. Tetapi sesuai dengan ketentuan hukum sendiri, sebagaimana diatur dalam UU Pers, wartawan tidak dapat dipidana. Ada tidaknya kesalahan pers, pertama-tama harus diukur dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

“Jika pers memang melakukan kesalahan yang tidak diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, barulah pers dapat dikenakan denda melalui gugatan. Namun perlu ditegaskan, apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak memenui syarat-syarat sebagai wartawan dan berada di luar wilayah pers, maka itu bukanlah tindakan jurnalistik dan karena itu tidak dilindungi oleh UU Pers, kalau tindakan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wartawan atau berada di luar ranah pers, tergolong tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai pidana murni dan karena dapat dikenakan pasal-pasal dalam hukum pidana,” tambahnya.

Sa’i menjelaskan, misalnya jika ada wartawan, baik wartawan yang sesungguhnya atau wartawan gadungan, melakukan Pemerasan atau Penipuan, dapat langsung dengan tuduhan-tuduhan pidana dan karena itu juga dapat langsung diproses sesuai dengan hukum pidana.

“Jika pers dibiarkan berjalan tanpa kontrol dan tanggung jawab, maka hal tersebut dapat berpotensi menjadi media agitasi yang dapat mempengaruhi psikologis masyarakat yang belum terdidik, yang notabene lebih besar jumlahnya dibanding masyarakat yang telah terdidik,” katanya.

Oleh karena itu, sambungnya, kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan, paling tidak melalui rambu hukum. Sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab, yang menjadi masalah adalah jika pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita (news), dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan (opzet) dan unsur kesalahan (schuld) yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana.

“Jadi yang perlu ditekankan disini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media, sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana,” sambungnya.

“Dalam menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan, perlu mendapat perlindungan hukum didalam menjalankan tugasnya mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana yang dimuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” jelasnya.

Dijelaskannya, perlindungan hukum yang dimaksud disini tak lain adalah jaminan perlindungan dari pemerintah dan atau masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan Pers adalah Hak Asasi Manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.

Untuk itu, kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama;

Perlindungan terhadap Pers ini dijamin melalui Pasal 4 UU Pers yang berbunyi :
1. Kemerdekaan Pers dijamin sebagai Hak Asasi Warga Negara.

2. Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

3. Untuk Menjamin Kemerdekaan Pers, Pers Nasional mempunyai hal mencari, Memperoleh, dan Menyebarluaskan Gagasan dan Informasi.

4. Dalam mempertanggungjawabkan Pemberitaan di depan hukum, Wartawan mempunyai Hak Tolak.

Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga memberikan sanksi “bagi setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta”.

Pada dasarnya, ujarnya, pada ketentuan pasal 8 UU Pers melindungi baik wartawan sebagai pelaksana kegiatan jurnalistik maupun hal-hal yang menjadi subyek dan obyek pemberitaan. Perlindungan hukum diberikan bagi wartawan dalam melaksanakan profesinya.

“Sepanjang hal tersebut tindak melanggar kode Etik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat,” jelasnya.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.

“Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik dan bertalian dengan penetapan status tersangka terhadap diri klient kami seyogyaNya penyidik harus menghadirkan Saksi Ahli Dewan Pers, agar membuat permasalahan hukum yang dipersangkakan kepada diri klient menjadi terang benderang, akan tetapi dengan adaNya Proses Mediasi yang dilakukan oleh Penyidik Subdit V/Siber Ditreskrimsus Polda Sumut, kita apresiasi dengan baik, sebagaimana dengan adaNya LP/294/II/2021/SUMUT/SPKT-I, tanggal 09 Februari 2021, An. Palapor “Amwizar, SH., MH,” ungkap Rangkuti setelah diwawancarai awak media. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini