Perang Lanjutan Manikebu VS Lekra

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “Ayo Moel, segeralah mulai disusun, sayang bila bahan-bahan sepenting ini tidak dimasyarakatkan untuk mahasiswa, guru, dosen sastra, sastrawan dan pembaca umum. Jangan cuma terpendam saja dalam dokumentasi. Nanti kalau suasana

berubah, bisa-bisa orang-orang bekas Lekra/PKI itu memutarbalikkan lagi apa yang terjadi tahun 60-an itu”, desak Taufiq Ismail kepada D.S. Moeljanto suatu ketika, sambil menunjuk pada tumpukan dokumen sastra milik Moeljanto yang tersebar di surat kabar, majalah, buletin, buku, brosur, pamflet dan lain-lain.

D.S. Moeljanto mengangguk mengiyakan, sehingga akhirnya lahirlah sebuah buku yang disusun dengan metode kliping.

yang berjudul Prahara Budaya: Kilas balik ofensif Lekra/PKI dkk (Kumpulan dokumen Pergolakan sejarah), yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto yang diterbitkan oleh penerbit Mizan bekerjasama dengan harian Republika tahun 1995.

Dengan judul sementereng itu, maka jadilah Prahara Budaya, buku setebal 469 halaman yang ditulis dengan menggunakan metode kliping ini,  sebagai sebuah pekerjaan politik-kultural, yang didukung oleh sumber-sumber data tentang peristiwa budaya sebelum dan sesudah G30S meletus.

Belum lagi keberadaan D.S Moeljanto sebagai seorang wartawan. Sebagai seorang pencatat peristiwa, dipastikan ia memiliki data yang melimpah. Usaha Taufiq Ismail dalam menyusun buku-kliping ini yang dimaksudkan sebagai sebuah usaha meluruskan sejarah yang menurutnya sudah di bengkok-patahkan PKI dan ormas-ormasnya, kelihatannya berhasil.

Lewat buku ini bentuk rupa Lekra seperti apa, dengan gamblang nyaris telanjang diungkap sedemikian rupa. Buku Prahara Budaya  ditambah indoktrinasi a la Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila model Orde Baru semakin menguat dalam penggambaran Lekra yang terus ditanamkan di dalam tempurung kepala masyarakat sebagai organisasi monster haus kekuasaan dengan daya destruktif yang mematikan.

Tak luput oleh mereka yang pro Lekra menuding bahwa Prahara Budaya telah berhasil menggambarkan Lekra sebagai gerombolan pengacau, tukang bikin onar panggung kebudayaan, iblis urakan pembakar buku dan sekian label-label yang sepertinya tidak ada sisi baik-baiknya barang secuilpun di dalam semua karya yang pernah dihasilkan seniman-seniman Lekra.

Singkat kata, Lekra adalah organisasi kebudayaan penuh lumpur dosa yang tidak layak hidup di bumi Indonesia dan hanya layak dilenyapkan.

Karena buku ini terbit di era Orde Baru yang mengharamkan segala produk yang berbau-bau marxis-leninis, maka praktis buku Prahara Budaya ini nyaris tak punya saingan. Buku ini kemudian menjadi satu-satunya rujukan ihwal sejarah Lekra yang kelam. Tanpa pembelaan, tanpa pengadilan. Para akademisi dan sejarawan pun terlihat seperti mengamini, lebih memilih bungkam dan ogah menyusun buku tandingan.

Walaupun bisa saja para akademisi dan sejarawan dengan bersembunyi di balik tendensi ilmiah demi pelurusan sejarah, tetap saja tak ada yang berani melakukannya.

Dengan dilapisi kesadaran sejarah yang tak terbantahkan, Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto telah memukul genderang bahwa buku-kliping yang mereka susun tersebut adalah buku yang memiliki kebenaran mutlak yang tak bisa digoyang dan di ganggu gugat.

Suara lantang dua penyusun buku-kliping, D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail ini dengan tegas menyatakan bahwa hasil-hasil kerja seniman-seniman Lekra selama 15 tahun berkarya itu tidak ikut meneguhkan, menyumbangkan daya kreatif di lapangan kesenian dan memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia, melainkan memakzulkannya lewat pembunuhan-pembunuhan karakter secara terstruktur, sistematis dan massif.

Hingga pada akhirnya, karena buku yang disusun Taufiq Ismail dan D.S Moeljanto ini menggunakan metode kliping, maka tak ada jalan lain lagi selain memukul balik Prahara Budaya dengan menghadirkan buku tandingan dengan metode yang serupa: menyusun kliping!

Makanya dengan tidak menyimpan tendensi penghormatan yang berlebihan dan pemujaan membabi-buta terhadap Lekra/PKI, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri berusaha seobjektif mungkin menghadirkan alternatif bacaan, yaitu dengan melakukan usaha penghadiran buku-kliping atas subjek dan peristiwa-peristiwa kebudayaan, sejak embrio Lekra masih berupa janin gagasan yang dimulai sejak Kongres Lekra I di Solo tahun 1959 hingga masa hancur leburnya Lekra akibat peristiwa huru-hara pageblug 30 September 1965.

Demikianlah, pada bulan September 2008 akhirnya terbit sebuah ‘buku putih’ tandingan yang mengupas tajam hingga jantung yang paling dalam tentang riwayat sebuah organisasi lembaga kebudayaan rakyat yang pernah begitu berjaya dan berpengaruh luas di ranah kebudayaan Indonesia tahun 60-an.

Buku itu berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. Buku setebal 580 halaman itu adalah hasil olah riset dan pembacaan intensif terhadap ratusan surat kabar di Indonesia yang terbit tahun 60-an, dalam rangka menyambut seabad terbitnya koran Medan Prijaji yang bertepatan jatuh pada tahun 2007.

Ditengah perjalanan proses penelitian dan pembacaan ratusan surat kabar tersebut, dua penulis buku ini menemukan Harian Rakjat, koran resmi PKI, diantara timbunan brosur-brosur komunis, Warta Bakti, Terompet Masjarakat dan Bintang Timur dalam jumlah edisi yang melimpah ruah.

Bundelan koran-koran tua itu sudah terkurung selama 30 tahun di dalam sebuah kamar perpustakaan yang digembok rapat-rapat, dengan tulisan yang menciutkan nyali tertempel di muka pintu: “Bacaan Terlarang!”

Bundelan koran tersebut, sampai ribuan edisi jumlahnya. Dari hari ke hari selama hampir 1,5 tahun dua penulis itu memilih memfokuskan diri menyeleksi, membaca-memilih, membaca-memilah, membaca-menyiangi dan menggunting artikel koran Harian Rakjat beraksen ejaan lama itu untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku dengan fokus utamanya adalah membangun sebuah bab tentang “Riwayat Harian Rakjat“.

Dedengkot Lekra Pramudya Ananta Toer uring-uringan dituding membakar buku: “Heran saya, kok saya dituduh membakar buku. Kok dibakar? Lebih baik buku mereka saya bawa ke rumah dan saya koleksi.”

So, Siapa yang membakar buku? Rupanya ini pokok pangkalnya:

Tudingan sebagai pembakar buku termuat dalam buku Prahara Budaya. Buku yang disunting dan dikomentari Taufik Ismail dan DS Moeljanto itu mendakwa bahwa Lekra salah satu tertuduh melakukan vandalisme peradaban dengan membakar buku.

Dikatakan (ada yang memandang) dengan gergasi kebencian yang meluap-luap, PKI, Pemuda Rakjat, CGMI, dan Lekra membakar buku di Jakarta dan Surabaya. Onggokan buku-buku yang dibakar itu sebagian besar hasil rampokan dari Perpustakaan USIS (Kantor Penerangan Amerika), buku teks universitas, dan karya-karya yang dicap “Manikebu”.

Sebelum membakar, secara sistematis Lekra lewat koran dan tokoh-tokoh kuncinya seperti Pramoedya Ananta Toer melempar isu pelarangan.

Belum lagi, dua tahun setelah menggempur habis-habisan buku Hamka:  “Tenggelamnya Kapal van der Wijk” sebagai karya jiplakan. Bahkan Pram di Bintang Timur (9/5/65) menulis artikel dan bertanya begini: “Kita masih bisa bertanya sekarang ini, apa sebabnya buku ZA Ahmad:  “Membentuk Negara Islam”, masih pada meringis di pinggir-pinggir jalan Jakarta, sekalipun di trotoar, dan apakah sebabnya buku Doktor Zhivago terjemahan Trisno Sumardjo diterbitkan?”

Atas artikel itu, Taufik Ismail dan D.S. Moeljanto dalam buku mereka, langsung menarik kesimpulan bahwa itu adalah semangat pelarangan yang jelas. Apalagi beberapa hari sebelum heboh G 30 S, rubrik: “Lentera” Bintang Timur yang diasuh Pram memuat daftar lengkap buku-buku pengarang non-Lekra yang (akan) dilarang Soekarno.

Daftar serupa dimuat lagi oleh Harian Rakjat (koran PKI) dua hari berturut-turut di halaman depan (2-3 Oktober 1965). Di antara nama penulis yang bukunya dilarang adalah ST Alisjahbana, Hamka, Idrus, Jassin, Mochtar Lubis, dan Wiratmo.

Kalau tak jeli melihat asumsi-asumsi yang terlontar itu, kita akan hanyut dan mengambil kesimpulan yang sama bahwa Lekra dan aktivis-aktivisnya telah benar-benar melarang buku dan membakarnya. Padahal kita tahu, bahwa Lekra tak punya wewenang apa pun untuk melarang apalagi membakar. Soal pelarangan adalah urusan kejaksaan dan aparatus negara yang terkait.

Belum lagi kalau kita baca pengakuan HB Jassin (1983: 258) tiga bulan setelah G 30 S: “Bahwa buku-buku penandatangan Manifes Kebudayaan tak pernah dilarang Menteri P & K maupun oleh Jaksa Agung.” Nah, bukankah pengakuan Jassin yang notabene salah satu think tank Manifes ini dengan sendirinya menganulir bahwa telah terjadi pelarangan buku, apalagi perbuatan vandal (membakar buku), sebagaimana asumsi yang ditiupkan Taufik Ismail.

Kita tahu, pelarangan selalu mengandaikan bahwa buku-buku yang kena daftar tak lagi beredar dalam masyarakat. Dan yang melakukan itu hanyalah negara lewat surat keputusan yang pasti, sebagaimana Manifesto Kebudayaan dilarang oleh Presiden Soekarno 8 Mei 1964.

Asumsinya, isu pelarangan itu masih bagian dari polemik (wacana) yang memang mendidih (disertai ancam-mengancam) antar eksponen budaya yang berseberangan orientasi ideologi, di mana saat itu situasi kondisi revolusioner memaksanya demikian. Pelarangan belum sampai jatuh pada tindakan praktis dan administratif. Sekadar kabar remang-remang.

HB. Jassin sendiri sampai menulis: “Di Lembaga (P & K) dapat kabar kurang enak. Sedang dipersiapkan daftar hitam buku-buku yang akan ‘dipetieskan’… dan yang akan kena semua yang telah menandatangani Manifes Kebudayaan dan telah menyatakan simpatinya.” (1983: 250-251).

Karena hanya kabar dan gosip itulah Pram merasa heran dengan tuduhan bahwa mereka (Lekra) telah benar-benar melakukan vandalisme itu. Aktivis Lekra yang lain, JJ Kusni, merasakan hal serupa yang memaksanya angkat suara untuk adu tanding siapa sejatinya yang memalsukan sejarah. “Beberkan secara terbuka data-data tuduhan bahwa Lekra tukang bakar buku. Kapan, di mana, buku siapa!!!”

Kita yang tak mengalami langsung peristiwa itu tak tahu pasti mana yang benar. Untuk itu kita butuh penelitian independen agar angkatan muda bangsa ini tak selalu diselimuti sejarah kebudayaan yang digelapkan.

Buku Lekra Tak Membakar Buku  dalam bahasa Antonio Gramsci sebagai counter-hegemoni melawan dominasi Prahara Budaya. Sebuah buku yang dilandasi sumber-sumber yang juga tak kalah terbantahkannya, yaitu guntingan-guntingan koran dan pers yang pernah terbit di kurun masa ketika Lekra tengah memoles wajah Indonesia dengan kesenian, sastra dan kebudayaan.

Koran-koran lapuk yang menguarkan debu-debu dan rayap yang dikubur selama hampir 30 tahun di dalam sebuah perpustakaan itu di bangkitkan dari persemayamannya. Disusun ulang menjadi sebuah buku yang mengabarkan kerja-kerja solid para seniman Lekra. Tak hanya melulu menyoal sastra, para pemundak Lekra juga mengabarkan kekompakan dan kerapihan kerja di ranah musik, filem, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari dan perbukuan.

Sebagai buku yang lahir dari etos pendokumentasian arsip dan kerja kliping, tentu saja Lekra Tak Membakar Buku hadir dengan tidak menangguk sederet konsekuensi dan kontroversi. Jika melihat satu sisi kerja penulisan dan penyusunannya, buku ini hanya menyandarkan pada satu sumber rujukan, yaitu koran Harian Rakjat yang notabene sebagai corong media PKI yang tentunya sangat subjektif dalam mengabarkan laporan peristiwa.

Sementara hal yang tidak bisa dibantah atas kehadiran buku-kliping ini adalah usaha Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri telah melakukan sebuah tugas pendokumentasian demi melestarikan ingatan demi generasi mendatang, yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer sebagai tugas nasional.

Betapa tidak, sebab tugas dan peristiwa yang di tangguk Lekra sendiri adalah tugas Nasional. Dan dua penyusun buku ini tidak mau menanggung kegetiran seperti yang di tulis Pram, “Sejak dulu, orang-orang Indonesia tidak memiliki tradisi mendokumentasi. Sejak zaman raja-raja. Kalau mereka mendokumentasi itu semata demi raja-raja. Sejarah kita pun menjadi sejarah para raja. Tak heran saya kalau orang asing yang banyak menulis tentang Indonesia. Kita tak punya detail tentang diri kita sendiri. Bayangkan, bangsa besar ini tak kenal dirinya sendiri”.

Dan betapa ghalibnya sang waktu berjalan dan mengitari dirinya sendiri setepat-tepatnya. Setelah tiga bulan terbit ternyata Lekra Tak Membakar Buku menemui persoalan distribusi. Tanggal 22 Desember 2009, pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950 – 1965 adalah buku terlarang!

Penulisnya Muhidin M Dahlan sampai menulis begini: “Ditolak oleh toko buku raksasa dengan cabang dimana-mana, nasib buku ini terkatung-katung dan tercecer di toko-toko buku loakan, sebelum disusul oleh keluar surat vonis pelarangan dari Pemerintah No.141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009”.

Sejatinya tak ada yang lebih efektif dari tindakan penyensoran pikiran selain dengan praktik pelarangan buku yang dilakukan oleh aparatus negara. Atas nama demi stabilitas, demikian bunyi kredo keramat yang selalu didengungkan pemerintah yang ditujukan kepada individu atau kelompok yang hendak ‘mengganggu ketertiban umum’ lewat penyebarluasan buku dan bacaan yang sudah dinyatakan dilarang pemerintah.

Angin reformasi yang seharusnya menjadi berkah bagi kebebasan warga negara untuk mendapatkan pengetahuan apapun, nyatanya tidak begitu. Masih saja kebebasan hak warga negara atas akses informasi dibelenggu oleh dua staatsblad UU No. 4/PNPS/1963: Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum dan UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang.

Kejagung menilai, selain cover buku yang menampilkan lambang palu arit yang cukup besar. Buku tersebut juga dipandang mendiskreditkan pemerintah, khususnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Pelarangan tersebut sudah sesuai dengan dasar hukum dan undang-undang yang berlaku. Lekra tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, terbitan Merakesumba, Yogyakarta tersebut dinilai Kejagung adalah salah satu media yang sedikit banyak mengandung dan menyebarkan ajaran atau paham Marxisme dan Leninisme serta Komunisme yang dilarang berdasarkan TAP MPRS No XXV/MPRS/1966.

Selain itu, buku tersebut juga dinilai bisa memicu penafsiran dan pemikiran yang merangsang munculnya gejolak di tengah masyarakat.

Keputusan pelarangan secara sepihak seperti tindakan Kejagung ini sudah lama ditentang oleh sejumlah pegiat hak asasi manusia termasuk Komnas Ham.

Demikianlah setelah melewati proses hukum, pada tanggal 13 Oktober 2010 akhirnya Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai Mahfud MD.

mengeluarkan putusan mengenai pengamanan barang-barang cetakan secara sepihak yang termaktub dalam UU no 4/ PNPS/1963 dinyatakan bertentangan dengan UUD 45.

Sehingga karena itu tindakan pemerintah melalui Kejaksaan selama ini yang melakukan penyitaan dan pelarangan buku tanpa proses pengadilan dan hanya melalui penilaian dari pandangan pemerintah saja tidak dapat dibenarkan.

Di negara hukum tindakan seperti pelarangan atau penyitaan harus melalui proses peradilan. Tanpa melalui proses peradilan, maka setiap proses eksekusi ekstra judisial  sangat ditentang di sebuah negara hukum.

Oleh : Junaidi, SH, MH – Dosen Hukum Pidana Universitas Djuanda, Bogor (Sekretaris Umum Badko HMI Sumut 1992-1994)

Buitenzorg 22 April 2021

- Advertisement -

Berita Terkini