Jusuf Kalla dan Jebakan Batman Jokowi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – “A person who expresses an unfavorable opinion of something.” Dalam negara demokratis suatu negara yang sehat harus menyediakan ruang kritik yang luas. Semakin luas ruang kritik yang disediakan, maka negara itu akan semakin baik. Kritik kepada pemerintah bukanlah sekadar unfavorable opinion, tetapi lebih jauh dari itu sejatinya merupakan pemandu arah negara terhadap tata-kelola pemerintahan yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya.

Melalui kritik, pemerintah sesungguhnya diingatkan agar kembali pada jalan yang benar. Artinya, kritik memiliki pesan bahwa pemerintah telah melakukan tindakan yang salah dan harus diperbaiki. Frekuensi kritik pada pemerintah itu biasanya berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah kesalahan yang dibuat oleh pemerintah. Semakin banyak kesalahan yang diperbuat, maka semakin banyak pula kritik yang dilancarkan oleh masyarakat.

Manakala kinerja pemerintah meningkat, maka kritikan dari rakyat pun bisa mengecil. Sebaliknya, bila kinerja pemerintah memburuk, maka sangat potensial melahirkan kritik. Itu artinya pergerakan kritik akan terus terjadi dan membesar seiring dengan tingkat kesalahan pemerintah. Dalam literatur ilmu politik modern, kritik dalam konteks kekuasaan sejatinya termometer suhu politik suatu bangsa.

Kekuasaan tanpa kritik sangatlah hambar. Kemajuan suatu bangsa tidak pernah lepas dari kritik. Kritik sejatinya menjadi katalisator terciptanya dinamika politik suatu bangsa. Bangsa yang mampu memelihara kritik sebagai cermin kekuasaan akan mampu membawa bangsanya pada jalan yang benar (The nation on the right track).

Kritik Jusuf Kalla

Beberapa hari terakhir ini ada pernyataan Presiden Jokowi yang secara dramatis meminta publik untuk memberikan kritik pada dirinya selaku pemegang amanat rakyat. Permintaan itu terasa aneh, karena selama ini Jokowi oleh sebagian orang dinilai sebagai presiden yang anti kritik. Beberapa tokoh nasional sering dijadikan contoh untuk menguatkan asumsi bahwa Jokowi itu anti kritik.

Penangkapan para aktivis Gerakan yang menamakan dirinya Kesatuan Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yakni Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, salah satu contoh yang dijadikan alasan bahwa Jokowi itu anti kritik. Sebelumnya ada Sri Bintang Pamungkas, Eggi Sujana, Hatta Taliwang, Gus Nur hingga Ustad Maher. Ustad Maher justru harus meninggal di tahanan beberapa minggu lalu. Belum lagi beberapa pengurus teras Front Pembela Islam mulai Habieb Rizieq Shihab, KH. Sobri Lubis, hingga Munarman.

Melihat fenomena penangkapan aktifis dan tokoh ulama tersebut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla justru merasa bingung dengan ajakan mengkritik dari Jokowi tersebut. Jusuf Kalla justru bertanya balik, “bagaimana caranya mengkritik agar tidak ditangkap polisi,” tanya Jusuf Kalla dengan nada serius.

Pertanyaan Jusuf Kalla ini tergolong pertanyaan yang penting sekaligus susah untuk dijawab. Sebab apapun jawaban yang muncul dari Istana Presiden tidak akan mampu membendung fakta, betapa rezim Jokowi ini terlalu rajin menangkap para pengkritiknya. Tidak jelas benar apakah perintah penangkapan para pengkritik Jokowi itu betul-betul berasal dari Jokowi selaku Presiden atau justru datang dari para Oligarkis yang mengelilinginya. Pertanyaan terakhir itu juga susah untuk dijawab.

Oleh karena itu pertanyaan Jusuf Kalla penting untuk direnungkan, “bagaimana caranya agar orang yang mengkritik itu tidak dipanggil polisi dan sebelumnya tidak di bully oleh para buzzer istana.” Jika kita berbaik sangka dengan pernyataan Presiden Jokowi, maka keinginan Pak Jokowi meminta rakyat untuk mengkritik kekuasaannya, maka aksi penangkapan tokoh-tokoh aktivis dan ulama yang rajin mengkritik itu bukanlah perintah dari Jokowi. Namun jika aksi penangkapan itu adalah perintah dari pemilik kekuasaan di luar Jokowi.

Sebaliknya jika sejumlah penangkapan itu memang dibawah perintah Jokowi selaku eksekutif pemerintahan, maka permintaan Jokowi agar rakyat lebih rajin mengkritik itu adalah buah dari pergeseran sikap politik Jokowi dari otoriter menjadi demokratis. Namun demikian, pergeseran sikap tersebut belumlah sempurna jika tidak diikuti dengan pelepasan sejumlah tahanan politik yang rajin mengkritik Jokowi. Jika hal itu tidak dilakukan, maka sejatinya Jokowi hanya menyempurnakan rencana pemetaan terhadap orang-orang yang bersikap oposisional terhadap dirinya.

Mari kita lihat apakah pernyataan Jusuf Kalla itu berdiri di atas ruang kosong? Nampaknya tidak demikian, pernyataan Jusuf Kalla itu merupakan keberhasilan Jokowi dalam memancing siapa saja orang yang sedang berada dalam posisi oposisional terhadap dirinya. Artinya Jusuf Kalla terpancing dalam jebakan batman yang dibuat Jokowi.

Lagi-lagi Jusuf Kalla masuk dalam jebakan batman. Mengapa? Karena pendapat Jusuf Kalla itu sejatinya adalah lukisan bawah sadar bahwa Jokowi sudah bergerak menjadi seorang pemimpin yang otoriter. Untuk itu Jusuf Kalla sebagai orang yang pernah menjadi Wakil Presiden Jokowi pada periode pertama merasa memiliki beban moral untuk mengingatkan Jokowi agar berhati-hati dan tidak terperosok pada otoritarianisme kekuasaan yang telah terbukti membawa kerusakan yang akut; seperti yang ditunjukkan Orde Baru 32 tahun lamanya.

Pertanyaan Jusuf Kalla itu juga bisa dimaknai secara psikologi politik bahwa Jokowi sudah melampaui batas etis seorang pemimpin dalam negara demokratis. Jusuf Kalla seolah melihat Jokowi sedang menggerakkan bandul kekuasaan pada usaha membunuh demokrasi dengan membasmi kritik. Padahal kritik dalam benak Jusuf Kalla adalah bagian integral dari demokrasi itu sendiri.

Sebelum Jusuf Kalla melempar pertanyaan itu, Ekonom senior yang juga kader Partai PDIP, Kwik Kian Gie menyatakan kerisauannya melihat kondisi politik masa Jokowi. Ia merasa takut melakukan kritik. Ketakutan Kwik diakuinya melebihi ketakutan dia saat mengkritik Rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Padahal Kwik terbilang ekonom yang sangat berani mengkritik rezim Soeharto saat berkuasa. Artinya, otoritarianisme masa Jokowi ini berada pada tingkat yang sangat menakutkan karena beberapa sebab.

Pertama, seluruh kekuatan partai politik pemegang otoritas politik rakyat nyaris berada dalam tangan rezim minus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD).

Kedua, polisi dan tentara cenderung telah bergerak menjadi instrumen kekuasaan rezim dan terkesan tidak lagi bekerja sepenuhnya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Ketiga, lembaga yudikatif (Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial) sebagai kekuatan penyaring dan pemelihara sekaligus penegak keadilan hanya tunduk dan patuh pada selera siapa yang berkuasa. Kondisi itu semakin memperumit politik bangsa serta melahirkan ketakutan baru yang sifatnya despotik.

Keempat, Istana diakui memiliki kekuatan baru bernama buzzer yang bekerja secara sadistik untuk membunuh lawan-lawan politik Jokowi yang berusaha berpikir kritis atas seluruh kebijakan pemerintah. Tim buzzer ini konon dikabarkan sengaja dipelihara sebagai opinion leader dengan menyewa orang-orang bayaran dengan gaji atau honor yang fantastis. Tidak jelas benar apakah untuk membayar mereka menggunakan dana APBN atau bersumber dari para oligarkis.

Dari Soekarno Ke Jokowi

Meski Sukarno sangat dibanggakan oleh kaum nasionalis sekuler, namun Sukarno menyisakan jejak sejarah yang kurang manis. Sukarno tergolong tokoh sipil yang memiliki sikap politik yang otoriter. Beberapa tokoh pejuang kemerdekaan sempat diperlakukan secara sadistik selama Sukarno berkuasa. Bung Syahrir adalah salah satu contohnya. Juga Buya Hamka, M. Natsir, dan tokoh-tokoh bangsa yang kritis terhadap Sukarno.

Meski Sukarno sejak mudanya dikenal luas sebagai seorang intelektual dan pembaca buku yang progresif, namun setelah Sukarno berkuasa intelektualitas Sukarno terhenti saat dia berkuasa. Setidaknya itulah pendapat tokoh pengagum Sukarno dan Pakar Hukum Tata Negara, Dahlan Ranuwihardjo dalam wawancara khusus dengan majalah Amanah Edisi khusus 2001.

Artinya, seorang tokoh sipil juga memiliki potensi untuk menjadi penguasa yang otoriter. Sebaliknya, seorang tokoh militer juga berpotensi untuk menjadi pemimpin yang demokratis sebagaimana yang telah ditunjukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun memimpin Indonesia.

Bagaimana dengan Jokowi? Apakah Jokowi memiliki potensi untuk menjadi otoriter. Secara psikologi politik, political gesture Jokowi memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin otoriter. Kok bisa demikian? Wallahu A’lam.

Oleh: Fathorrahman Fadli

- Advertisement -

Berita Terkini