Antara Gerakan Elit, Gerakan Rakyat dan Civil Society dalam Konstelasi Politik Saat Ini

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Seperti telah saya tuliskan dalam artikel terdahulu bahwa Indonesia memiliki beragam sejarah transisi kekuasaan yang mestinya bisa menjadi materi dalam mata kuliah ilmu politik. Dalam tulisan ini ingin dibahas perbedaan antara gerakan Elit (elitis), gerakan rakyat dan civil society, sekaligus menjawab bagaimana dengan kondisi saat ini?

Ada pertanyaan ditujukan kepada saya mengapa gerakan civil society dalam menghadapi kondisi saat ini terlihat adem ayem saja? Pertanyaan lanjutannya, bisakah gerakan tersebut akan membesar dan berhasil? Dalam melihat konteks politik, tentu kita tidak bisa melihat pada salah satu variable saja. Terlebih penggunakan terminologi yang kurang tepat.

Dalam tugas kuliah seperti skripsi, dapat dikatakan landasan teorinya salah. Sebagai salah satu contoh, bahwa gerakan civil society tidak sama dengan gerakan rakyat pada umumnya. Karakternya berbeda karena pelakunya berbeda, isunya berbeda dan stresing target tujuannya berbeda hingga cara yang dilakukan juga berbeda.

Baiklah, kita coba gelar perkara dulu akan kondisi dan konstelasi politik yang sekarang tengah berkembang. Dalam ilmu politik selalu dihadap-hadapkan antara negara versus rakyat, atau pemimpin dengan yang dipimpin, atau pemerintah dengan masyarakatnya. Karena hal ini memang harus dibedakan dan biasanya saling berhadapan.

Untuk itu kemudian ada muncul teori HAM yakni untuk menjaga hak rakyat atas kesewenangan negara. Jadi, memang tidak ada dalam teori HAM jika yang saling berhadapan antara rakyat dengan rakyat, atau ketika rakyat menyerang negara. HAM tidak berlaku. Sekali lagi HAM berlaku jika ada kesewenangan negara kepada rakyat. Itu salah satu yang membedakan rakyat dengan negara.

Dalam konstitusi jelas disebut kan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, sedangkan negara adalah pelaksana kedaulatan tersebut memalui sistem yang disebut pemilu. Nah, yang disebut sebagai negara saat ini adalah penguasa atau pemerintah yakni Jokowi sebagai presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan). Negara saat ini dianggap berlaku tidak netral dalam proses pemilu.

Terdapat pula beberapa pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh negara (dalam hal ini eksekutif). Sebagian rakyat merasa tidak puas karena pemilu dianggap tidak demokratis. Siapakah rakyat itu? Ada banyak kategori rakyat yang bisa dilihat berdasar analisa kelas dan interest nya. Partai politik juga rakyat, demikian pula dengan civil society, terlebih mahasiswa dan buruh tani.

Apakah kelompok rakyat tersebut memiliki satu “getaran” yang sama? Ini pertanyaan dasarnya. Sepertinya belum ada benang merah yang bisa mengikat perjuangan kelompok-kelompok rakyat tadi. Mari kita blejeti satu persatu: Parpol, sebenarnya kelompok ini masuk dalam bagian elit (bukan rakyat). Namun begitu, irisan kepentingan dan kegiatannya lebih banyak berhubungan dengan rakyat.

Bedakan pula dengan kader partai yang duduk di parlemen. Anggota dewan sudah menjadi bagian dari negara (lembaga pengelola negara, atau fungsi legislatif), mereka hanya dicap sebagai wakil rakyat karena berasal dari suara partainya melalui mekanisme pileg. Parpol yang tidak puas dengan pelaksanaan pemilu, lebih memilih melalui jalan atau gerakan politik (konstitusi).

Gerakan politik yang dimaksud adalah di parlemen atau DPR RI menggunakan hak angket. Gerakan ini akan dibatasi oleh jadual yang memang sudah menjadi bagian mekanisme. Jadi ketika ditanya kok parpol seperti PDIP anteng-anteng saja? Tidak anteng melainkan mereka akan mengikuti prosedur jadual sidang. Gerakan politik seperti ini memang lebih terstruktur ada aturan mainnya.

Selain jalur politik, gerakan elit (parpol) ini juga menyasar ke jalur hukum yakni sidang MK. Pun demikian, juga ada mekanisme yang harus dipatuhi yakni menunggu hasil akhir pemilu yang diputuskan KPU baru bisa mengajukan gugatan ke MK. Jadi gerakan ini tidak serta-merta dalam waktu singkat terjadi. Jika demikian, maka tentu berbeda dengan cara yang dilakukan oleh gerakan CS dan gerakan rakyat.

Gerakan CS (civil society) ini terutama para pelakunya adalah kelas menengah atas, seperti kaum praktisi, aktivis (LSM), akademisi, rohaniawan, bangsawan, budayawan dll. Mereka tidak berpolitik dan lebih menyasar kepada gerakan moral. Biasanya para tokoh ini cukup menggaungkan saja untuk kemudian bisa ditindaklanjuti oleh rakyat ataupun kelompok lain.

Cara atau jalan perjuangannya memang sebatas di media saja. Tidak mungkin, atau jarang seperti mereka turun ke jalan, teriak-teriak kemudian bentrok dengan aparat. Karena ini gerakan moral, maka isunya terkait pelanggaran etika dan targetnya hanya menyampaikan pemikiran mereka sebagai pengingat kepada penguasa. Tidak lebih dari itu. Namun, itu sudah menjadi dukungan moral bagi kelompok yang lain.

Sedangkan gerakan rakyat, adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh mereka dari kalangan kelas menengah bawah seperti mahasiswa, buruh dan tani serta kaum urban kota. Isu yang mereka angkat biasanya yang berkait langsung dengan kehidupan mereka yang dirasa memberatkan. Harga beras mahal dan kebutuhan pokok lainnya juga melonjak. Ini isu utama mereka.

Cara atau metode yang mereka lakukan melalui parlemen jalanan atau aksi massa turun ke jalan. Mereka bahkan siap jika harus berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Di lain pihak, jika ingin dijadikan variable lain, yakni respon penguasa terhadap aksi massa yang kini berbeda dengan era orba. Pemerintah sekarang cenderung menghindari tindakan represif.

Massa rakyat bak disediakan area bermain yang kemudian dijaga dikawal aparat agar tidak liar. Hal ini tentu tidak memancing sentimen perlawanan lebih lanjut. Atau biasanya dalam teori aksi, harus ada martir yang kemudian membuat perlawanan mereka semakin menjadi. Sementara itu, perilaku penguasa memang semakin sesukanya, lalu kenapa dan bagaimana?

Penguasa ibarat orang bebal (pathos) yang tidak bisa dibilangin. Mereka berbuat semaunya tapi kita sebagai rakyat tidak bisa apa-apa. Mekanisme protesnya mandeg. Pada akhirnya banyak orang mengatakan “sudah malas” atau “sak karepe”. Biarkan saja pasti nanti akan jatuh oleh perilakunya sendiri (potensi perpecahan jokowi-prabowo). Karena ketika mereka ditekan dan diserang, mereka justru menciptakan hubungan yang solid.

- Advertisement -

Berita Terkini