BBM Tetap Mahal, Jeritan Masyarakat Tak Lagi Terdengar

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Opini – Sudah hampir dua bulan berlalu sejak pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan terkait kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Merespon apa yang telah dilakukan pemerintah tersebut, ada banyak masyarakat Indonesia dari setiap elemen baik itu kaum buruh, mahasiswa, hingga ojek online yang melakukan aksi unjuk rasa meneriakkan reaksi penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Namun yang terjadi hingga saat ini pemerintah Indonesia masih kekeh dengan kebijakannya dan masyarakat yang menggelar aksi sudah mulai kelelahan dan perlahan mundur teratur.

Saat ini masyarakat hanya bisa mengeluh dengan naiknya harga BBM yang disusul dengan naiknya pula sejumlah harga kebutuhan pokok lainnya. Para buruh dan ojek online tidak bisa terus-menerus menggelar aksi unjuk rasa karena memiliki pekerjaan yang menjadi harapan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Begitupula dengan mahasiswa, kaum mahasiswa juga memiliki kesibukannya dalam proses belajar di kampus mereka masing-masing.

Jika kita memiliki hati nurani yang peka terhadap kondisi bangsa Indonesia saat ini maka kita akan merasa miris dengan keadaan yang terjadi. Masyarakat kalangan menengah ke bawah hanya bisa pasrah akan keadaan yang menimpanya dan memaksa diri untuk bisa tetap hidup di tengah-tengah kesulitan akibat semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.

Ironisnya, ditengah masyarakat yang terus menderita dan sejumlah massa aksi unjuk rasa berteriak menolak kenaikan harga BBM, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) malah bersenang-senang di dalam kantornya dengan merayakan hari ulang tahun Ketua DPR RI.

Dewan Perwakilan Rakyat yang seharusnya bisa menjadi harapan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat saat ini justru seakan lupa dengan tugasnya. Tidak mencoba menghilangkan bahwasanya tetap ada beberapa anggota DPR dari beberapa fraksi yang mencoba ikut menolak kenaikan harga BBM. Akan tetapi usaha yang mereka lakukan terkesan kurang serius dan hanya formalitas belaka.

Dalam aksi unjuk rasa di beberapa daerah juga ada beberapa ketua atau anggota DPRD yang menyatakan sikap penolakan terhadap kenaikan harga BBM saat ini dan mereka berjanji untuk menyampaikan segala tuntutan massa aksi dan bersedia mengawalnya sampai tuntas. Namun janji hanyalah sekedar janji, mereka memang benar menyampaikan surat yang berisikan tuntutan massa aksi ke DPR RI, akan tetapi mereka tidak benar-benar serius dalam mengawalnya dan pulang ke daerah dengan tangan kosong.

Hingga sampai saat ini sinyal terkait akan turunnya harga BBM belum juga terlihat. Dalam menjaga daya beli masyarakat, pemerintah Indonesia hanya mengandalkan BLT sebesar Rp. 150.000/bulan yang telah disalurkan ke masyarakat. Tentunya itu tidak akan cukup bagi masyarakat mengingat yang naik saat ini bukan hanya harga BBM akan tetapi juga kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.

Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para elite di negara ini. Namun yang harus menjadi prioritas adalah perihal kesejahteraan masyarakat karena kesejahteraan masyarakat sejatinya adalah hal yang wajib digaransi oleh negara. Akan tetapi yang terjadi saat ini justru malah kebalikannya. Para elite negri malah semakin sibuk mengkonsep pergerakan menuju tahun politik 2024, dan suara-suara penolakan terhadap harga BBM semakin lenyap.

Masyarakat bukan hanya sekedar komoditas pasar suara yang diperjualbelikan dalam agenda politik periodesasi. Masyarakat juga merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kesejahteraannya oleh para pemimpin negara ini. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya para elite di negara ini tidak lagi hanya memprioritaskan kepentingan pribadi, golongan, atau partai politik akan tetapi memprioritaskan kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Di dalam negara yang menganut sistem demokrasi ini masyarakat masih dengan leluasa melontarkan berbagai kritik terhadap kebijakan pemerintah. Namun saat ini pemerintah beserta elite negara lainnya seakan buta dan tuli terhadap kritik-kritik yang bertebaran disana-sini. Kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak terhadap kesejahteraan masyarakat terus-terusan dilakukan seakan-akan negara ini hanya milik mereka para elite yang berkuasa.

Tidak adil rasanya ketika suara rakyat hanya berlaku disaat proses pelaksanaan Pemilu atau Pilkada saja. Namun disaat rakyat mengeluarkan suaranya untuk berteriak akan kesengsaraan dan memprotes kebijakan malah suaranya dianggap tak berarti.

Pemerintah beserta para elite negara lainnya seharusnya bisa lebih peka terhadap keadaan masyarakat saat ini. Rasa kepekaan itu bukan hanya sekedar formalitas atau gimik belaka untuk menarik simpati masyarakat menjelang tahun-tahun politik akan tetapi harus benar-benar direalisasikan dan diperjuangkan demi terwujudnya pancasila terkhusus sila yang kelima.

Entah sampai kapan suara-suara masyarakat bisa sampai ke telinga dan benar-benar diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada masyarakat oleh para elite penguasa negara saat ini. Semoga kedepannya para elite di negri ini bisa benar-benar melihat dan mendengar segala suara kritikan serta harapan masyarakat Indonesia sehingga tidak terciptanya pemerintahan otoriter gaya baru.

Oleh : Andi Wijaya – Mahasiswa STAI Al-Ishlahiyah Binjai

- Advertisement -

Berita Terkini