Tarung Gagasan dan Ideologi Sesungguhnya Ada di Balik Layar Antara LBP vs Megawati

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Pertarungan ide gagasan hingga politik ideologi dimaksud dalam judul, sesungguhnya sudah berlangsung lama sejak 2014. Di mana Jokowi berada di tengah-tengah sebagai aktor sentral. Di dalam lingkaran istana, Jokowi dekat hingga memiliki kepercayaan lebih kepada Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Sementara di luar lingkar istana, Jokowi bermain peran sebagai kader PDIP yang dekat dengan Megawati.

Jokowi ibarat pelakon yang memerankan dua posisi sekaligus. Loyal kepada PDIP sebagai partai besar karena memiliki banyak konstituen sekaligus sebagai pemenang di parlemen. Jokowi lebih dahulu mengenal PDIP, lebih tepatnya “memanfaatkan” PDIP di tahun 2004 sebagai identitas politiknya. Identitas politik ini penting untuk memudahkan dukungan politik kepada dirinya. Terbukti dua periode Jokowi menguasai walikota Solo melalui PDIP.

Tidak puas berkuasa di kota kecil, Jokowi berambisi maju tingkat gubernur di DKI Jakarta. Tentu saja jalan ini hanyalah dijadikan sebagai batu loncatan saja menuju RI1 (presiden). Atas penilaian PDIP yang menganggap Jokowi setia dan loyal kepada partai, PDIP menyanggupi mendukung hingga mengusung Jokowi menjadi presiden. Padahal di 2014 resistensi internal PDIP sangat tinggi menolak Jokowi dan menjagokan Megawati sebagai capres sesuai hasil kongres.

Megawati yang diberi mandat penuh menentukan capres PDIP tidak bergeming dan tetap menunjuk Jokowi maju capres 2014. Mungkin saja, Megawati sedang bertaruh dengan menunjuk Jokowi capres. Selain bertaruh menang-kalah, juga bertaruh keloyalan seorang Jokowi. Tidak ada yang bisa diduga dalam politik. Jokowi bukanlah kader murni PDIP yang lahir dari keanggotaan biasa. Jokowi direkrut PDIP karena ingin maju walikota di 2004.

Yang disebut kader asli adalah, ia mendaftar sebagai anggota partai kemudian berkiprah dan ditempa dalam aktivitas partai terlebih dahulu (mungkin duduk dalam pengurus struktural). Tidak ada yang bisa menjamin Jokowi tetap loyal kepada PDIP ketika itu, termasuk Taufik Kiemas, suami Megawati, yang keras menentang penunjukan Jokowi capres 2014 (bahkan saat Pilgub DKI 2012). Ada pertarungan di internal PDIP yang sangat intens.

Sekali lagi, Jokowi bak aktor yang sangat pintar memerankan sosok kader yang loyal hingga kemudian dia terpilih sebagai presiden hingga dua periode. Jokowi bertemu dan berteman dengan LBP setelahnya (saat berkuasa). LBP berperan banyak menggiring Jokowi melalui konsep modernisasi. Sebenarnya sama dengan PDIP yang menghendaki pencapaian Indonesia Raya melalui jalan modernisasi. Sebuah kemajuan bagi rakyat Indonesia.

Yang membedakan dengan LBP, Megawati lebih menekankan kepada konsep gotong-royong dengan tiga jalan utama: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya di bawah ideologi nasionalis-religius. Kekuatan kontrolnya ada pada partai. LBP lebih kepada konsep liberalisme, dan kekuatannya berada pada individu atau yang dikenal oligarki. Pertarungan ideologi ini semakin terlihat ketika Jokowi memasuki periode kedua kekuasaan.

Jokowi berada diantaranya. Ia mencoba patuh kepada partai tapi juga mendengarkan masukan dari kroni-kroninya di lingkar istana. Tidak heran beberapa kali Jokowi sempat berseberangan atau tidak mengindahkan kehendak partai. Namun ia masih mencoba menjaga hubungan baik dengan PDIP agar tidak mendapat serangan frontal di parlemen. Jokowi masih membutuhkan PDIP. Mungkin juga disarankan oleh LBP sendiri agar tidak vulgar menentang partai.

Kiprah LBP sendiri sudah diketahui publik bahwa selain sebagai purnawirawan militer, ia juga memiliki banyak perusahaan baik tingkat nasional maupun bertaraf internasional. LBP berhasil mempengaruhi Jokowi agar Indonesia membuka diri selebar-lebarnya dari investasi asing. Dengan tujuan dapat bekerjasama dengan pengusaha dalam negeri. Siapa yang diuntungkan? Jelas peruaahaan-perusahaan kelas besar dengan pemerintah (negara) sebagai penjaminnya.

Konsep liberalisasi ekonomi (sda) ini sesungguhnya tidak berbeda yang dilakukan Suharto di masa orba. Namun dipoles sedemikian rupa seolah berpihak kepada rakyat. Trickle-down effect sesungguhnya masih diterapkan namun kini dibahasakan dengan “nilai lebih” (add value). Industri dan modernisasi masuk diharapkan rakyat di wilayah tersebut bisa sejahtera. Pada faktanya banyak masyarakat di lokasi industrialisasi yang hidupnya tetap miskin.

Konsep kekuatan individu pengusaha dan penguasa seperti ini tentu akan sulit dikontrol, baik keberlanjutan dan kemanfaatannya oleh partai. Hal ini yang mulai secara pelan-pelan, PDIP mengingatkan Jokowi agar kembali kepada rel perjuangan gotong-royong. Gotong-royong memiliki pengertian tidak semata diserahkan kepada pengusaha melainkan juga melibatkan peran serta masyarakat. Sistem yang kuat harus pula dibangun.

Nasionalisasi beberapa industri tambang juga belum signifikan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Karena sekali lagi, industri yang semula dikuasai asing memang benar kini dikelola oleh perusahaan dalam negeri. Namun tidak ada efek kejut bagi perubahan hidup masyarakat. Lantas apa bedanya dengan masa lalu? Karena hanya mengandalkan kekuatan individu oligarki, maka kekuasaan harus dipertahankan. Muncul wacana Jokowi tiga periode.

PDIP yang melihat jalan Jokowi sudah mulai melenceng dari cita-cita semula, tentu saja menolak keras wacana ini meski diskenariokan melalui jalan konstitusi (amandemen UUD). PDIP menolak dan menyatakan siap bertarung melalui pilpres dengan mengusung kader lain yakni Ganjar Pranowo. Ganjar dianggap bukan orang yang bisa diajak kerjasama oleh LBP yang kemudian membujuk Jokowi mendukung Prabowo yang kini bersama Gibran, putera Jokowi, sebagai pasangan calon.

Pertarungan LBP dengan Megawati akan berlanjut dalam pilpres 2024, dengan LBP beserta Jokowi mentargetkan harus menang, tanpa kompromi. Prabowo hanya akan dijadikan boneka LBP-Jokowi. Bagi Prabowo yang penting dia bisa menjadi presiden. Megawati sendiri sempat tidak bisa menahan rasa jengkelnya kepada LBP-Jokowi cs karena segala cara yang dilakukannya dan menganggap mereka sebagai orde baru.

Ada sebuah pertemuan paska Megawati marah, yakni antara Puan Maharani, puteri Megawati, dengan Opung Luhut yang baru masa pemulihan dari sakitnya. Ada ucapan yang dilontarkan LBP saat Puan pamitan, “Tolong bilang pada ibumu ya. Cuma kau yang ditakuti sama ibumu,” ucap LBP. Sampaikan pesan apa sehingga harus orang yang ditakuti Megawati untuk menyampaikannya? Sebuah tekanan psikologi? Atau hanya candaan dalam kondisi yang serius?

- Advertisement -

Berita Terkini