Rakyat Calon Pemilih Suka pada Pemimpin yang Humble dan Mau Berinteraksi dengan Mereka

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Tidak dapat dimungkiri bahwa yang dimaksud dengan kekuatan yang bisa berpengaruh besar pada tingkat elektabilitas kandidat adalah kehadiran mereka turun dan menyapa rakyat.

Ada dua metode yang biasa digunakan dalam pengumpulan massa yakni, mobilisasi dan pengorganisasian. Pengorganisasian lebih mengutamakan kesadaran politik dan bentuknya adalah partisipatif.

Hal ini berkebalikan dengan mobilisasi yang dilakukan bisa melalui ancaman (rasa takut) ataupun iming-iming pemberian sesuatu agar mau berkumpul. Teknik lain pula yang tanpa membutuhkan apa-apa seperti beberapa kali dilakuan Ganjar.

Berkunjung ke sebuah daerah (lokasi) lalu live in atau tinggal di rumah rakyat semalam dua malam. Tanpa diminta, disuruh ataupun dipaksa, warga daerah otomatis memiliki rasa penasaran.

Mereka ingin melihat dan bertemu dengan kandidat. Bahkan mereka bangga jika kandidat mau datang dan bermalam di kampung mereka.

Pada saat seperti itu, tentu massa yang hadir tidak banyak, hanya sebatas sekampung. Namun kandidat bisa melakukan perjalanan ke luar kampung menyapa warga, hingga misal berkumpul pada satu titik kampanye terbuka.

Teknik blusukan semacam ini memang sudah dikenal lama dan dilakukan oleh Jokowi. Namun Ganjar memodifikasi dengan live in.

Dialog dan komunikasi akan menjadi kata kunci mengenalkan diri. Pertemuan tersebut bisa disebarluaskan melalui banyak media dan oleh banyak orang yang kemudian mengetahui seperti apa figur kandidat tersebut.

Sementara kandidat yang bersembunyi dari rakyat dan bersembunyi dari media, mereka akan mengalami kerugian. Mengapa?

Selain tidak ada penambahan elektabilitas karena tidak dikenal orang, juga justru mendapat sentimen negatif. Hal tersebut dapat berefek kepada orang yang sudah memilih mereka menjadi berpaling.

Tipe kandidat yang malas turun ke bawah, mereka biasanya cukup menghadirkan atau merepresentasikan figur mereka mereka melalui baliho besar yang banyak terpasang di jalan-jalan.

Atau cukup mengirim tim relawan untuk menggelar program bagi-bagi sesuatu. Biasanya, warga akan senang saja menerima sesuatu tapi belum tentu memilihnya. Rakyat lebih senang jika figur kandidat sendiri yang datang hadir.

Lalu bagaimana kekuatan ketiga kandidasi terkait menarik hati dan pikiran rakyat melalui pertemuan langsung? Paslon no 1 cukup aktif melakukan tatap muka kepada rakyat calon pemilih di beberapa daerah.

Keuntungan yang dimiliki, Anies dan Cak Imin tidak terikat pekerjaan lain sehingga leluasa dia waktu. Namun, publik hanya melihat dua sosok ini saja yang menjadi representasi kubu AMIN.

Padahal di koalisi perubahan banyak tokoh lain yang bisa melakukan hal yang sama turun ke rakyat, seperti Surya Paloh atau puteranya, Ananda Paloh.

Juga ada Ketum PKS yang harusnya bisa bergerak kepada komunitas yang tidak sempat dijangkau AMIN. Kondisi berbeda terlihat di paslon no 2.

Kedua kandidat, Prabowo-Gibran, tidak mengoptimalkan masa kampanye dengan turun ke rakyat.

Entah apa alasan sebenarnya. Pembagian kerja antar keduanya pun tidak jelas dalam melakukan pendekatan ke rakyat. Kemungkinan selain soal waktu, karena keduanya masih menjabat di posisi masing-masing, juga terselenting kabar akan kondisi kesehatan Prabowo yang tidak begitu baik untuk melakukan beberapa perjalanan ke daerah-daerah. Alasan kedua, gaya kampanye Gibran yang kurang komunikatif.

Daripada malah membuat malu, lebih baik beri alasan untuk tidak menghadiri yang bersifat temu publik. Terbukti di beberapa kali agenda kunjungan Gibran justru banyak melakukan blunder hingga menjadi olok-olok masyarakat.

Untung saja, lemahnya komunikasi kubu no 2 dengan rakyat, mampu dicover oleh Jokowi yang (terpaksa) lakukan kunjungan ke daerah-daerah sekaligus menyapa rakyat. Kok Jokowi?

Tidak perlu disanggah. Publik sudah menganggap jika Jokowi tetap populer maka itu semua untuk Prabowo-Gibran. Wah, tega sekali Gibran ya kalau begitu? Dia yang menjadi peserta pilpres tapi Jokowi yang harus bekerja “kampanye”.

Selebihnya, tidak ada sosok atau figur lain, bahkan relawan, yang melakukan upaya-upaya turun dan menyapa rakyat. Jika relawan di daerah sudah melakukan ya tentu saja karena memang itu kerja mereka.

Mereka bagi-bagi makan siang dan susu gratis namun tidak terjadi interaksi mendalam di sana. Sementara paslon no 3, Ganjar-Mahfud, terlihat lebih banyak tokoh yang dikenal publik secara luas, yang juga turut melakukan blusukan.

Selain Ganjar dan Mahfud yang berbagi wilayah dari Timur dan Barat, ada pula nama-nama seperti Adian Napitupulu yang menyasar komunitas urban kota dan aktivis 98.

Ada pula Aryo Seno yang bergerak di komunitas anak muda milenial. Selain itu masih ada Atikoh, istri Ganjar, yang masuk melalui komunitas perempuan dan ibu-ibu, serta Zidane Alam, putera Ganjar, yang juga kerap diundang dan bertemu dengan kalangan muda. Tiga metode dan kekuatan ini akan kita lihat hasilnya seperti apa? AMIN yang hanya mengandalkan dua figur utama?

Atau Prabowo-Gibran yang masih mengandalkan effect coat tail dari kharisma Jokowi? Atau justru GAMA yang mampu mengoptimalkan peran-peran figur lain dalam membantu kampanye mereka dengan turun dan menyapa rakyat?

Selera konsumen juga bisa mempengaruhi hasil nantinya. Kebanyakan rakyat suka pada pemimpin yang humble yang mau datang ke mereka.

- Advertisement -

Berita Terkini