Drama Masih Terus Berlanjut, Bisa Pemakzulan Bisa Pula Pembatalan Cawapres Gibran

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Pahami ya. Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem saraf, yang merupakan hasil dari stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra. (Wikipedia)

Namun tidak ada kamus yang mengatakan bahwa persepsi adalah kebenaran itu sendiri (yang sesungguhnya). Ia hanya sebuah kesimpulan sementara kulit luarnya (apa yang tampak). Selain perencanaan, atau yang by disain, sesuatu itu juga bisa dimulai dengan persepsi.

Dari persepsi melahirkan spekulasi (bisa terjadi juga bisa tidak terjadi) yg penting diupayakan dahulu. Coba jawab, siapa yang yakin Gibran bisa lolos dari aturan batas usia minimal menjadi cawapres? Siapa menyangka Gibran nekad membangkang dari PDIP? Jawabannya, bisa jika dipaksa melalui jalan kekuasaan. Itupun banyak publik yang masih terkagum, jika tidak mau dikatakan terbagong-bagong (melongo melompong).

Kok bisa ya? Masa sih? Segitunya? dsb. Masyarakat, terutama kalangan bawah terbengong heran dan bertanya-tanya, masa gak boleh? Ya wajar masyarakat awam merespon demikian karena mungkin intuisi dan cara berpikir mereka tidak secanggih dan sejelimet para politisi. Kalau dikatakan sudah takdir dan gak mau tau urusan kekuasaan hakim MK yang meloloskan Gibran, ya mau gimana lagi? Jadilah kita masyarakat yang cukup menerima takdir tanpa menggunakan pikir, ada hikmah apa dibalik itu?

Coba lagi, kita pikirkan atau bayangkan sejenak, bagaimana perasaan pendukung Erick Thohir yang menganggap bahwa ET ditelikung Gibran? Seberapa kuat sih elektabilitas Gibran timbang ET? Seberapa pengalaman Gibran dengan ET? Gak bahaya ta, menyandingkan Gibran dengan Prabowo? Itu komentar pendukung ET, lho ya. Jadi, sepertinya, terlalu banyak yang terluka oleh Gibran.

Para pengamat juga menyatakan soal sentimen negatif publik terhadap Gibran, dan ini menurunkan elektabilitas Prabowo. Belum lagi keputusan MK yang kini masih diproses sidang etik oleh MKMK (Majelis Etik Mahkamah Konstitusi). Bagaimana jika para hakim konstitusi, terutama pamannya Gibran, Anwar Usman, dinyatakan melakukan pelanggaran etik? Cukup kah hanya sampai mengundurkan diri dari jabatannya?

Meski (mungkin) tidak mengubah hasil, tapi pasti menanggung malu yang teramat sangat karena dianggap melanggengkan jalan ponakan menuju kontestasi pilpres. Atau malah MKMK akan memberi “catatan serius” terhadap putusan MK? Nah, ada pula spekulasi mengatakan semua drama ini sengaja dibuat ruwet agar pelaksanaan pemilu ditunda? Spekulasi publik tanpa bisa ditahan memang bermunculan.

Ada pula yang menduga bahwa akhir drama berujung pada pemakzulan presiden Jokowi. Ingat kan dengan kasus lengsernya Gus Dur? Lho kok sampai sana? Apa kesalahan Jokowi yang dianggap melanggar konstitusi? Alasan hukumnya tidak kuat. Banyak tuduhan yang bisa dibuat, dan kadang alasan hukum bukan soal lagi (toh alasan hukum yg membolehkan Gibran menjadi cawapres juga tidak kuat?).

Ini bukan ranah hukum lagi. Tapi oleh lawan politik Jokowi dibawa ke ranah politik. Bisa saja Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintah membiarkan adik iparnya (Ketua MK) membuka jalan kepada anaknya untuk menjadi bacawapres? Harusnya Ketua MK mundur tidak ikut mengambil keputusan dalam perkara tersebut. Arah sikap Jokowi juga bisa dianggap terlalu membiarkan anaknya mendapat previleage.

Saat ini, di sela sidang etik oleh MKMK, pribowo diberitakan mengunjungi ET di kediaman ET. Ada apa? Hanya makan-makan? Gak ada pentingnya? Ah, ini drama lagi, sesuatu yang gak pernah terjadi kini terjadi dan dianggap biasa aja? Rumornya, Prabowo akan meminang ET mendampinginya sebagai cawapres jika putusan sidang MKMK membatalkan Gibran. Sangat masuk akal.

Namun begitu, pengagum Gibran mengatakan itu hanya framing saja. Ya tentu. Semua yang belum terjadi dan tidak disukai pasti mendapat penilaian “cuma framing”. Sama persis saat Gibran dulu digadang sebagai bacawapres Prabowo, kan dianggap hanya framing, wong Jokowi sendiri bilang gak logis. Gibran nyawapres adalah framing dari orang-orang yang ingin mempermalukan Jokowi.

Framing juga diberikan atas isu tiga periode, dianggap menampar muka Jokowi, mencari muka dan menjerumuskan. Namun belakangan diakui sendiri oleh menteri Bahlil bahwa dia yang mengusulkan tiga periode. Framing juga pada isu penundaan pemilu, yang diungkap oleh petinggi pejabat negara termasuk oleh Ketua MPR. Jadi, semua yang berawal dari persepsi dan spekulasi sangat biasa dicap sebagai framing.

Namanya juga politik di masa pemilu. Ada yang menyerang dengan membuat opini dan ada yang mencoba menyangkalnya dsb. Pertanyaan publik kemudian, apakah pengagum Gibran bisa legowo menerima demi hukum posisi cawapres Gibran diganti ET? Atau mereka gak terima dan lakukan perlawanan? Ya, ini artinya apa ya? Kubu Gibran jika menentang bisa dianggap tidak dewasa. Dan tujuannya nyawapres semata hasrat kuasa benar terbukti.

- Advertisement -

Berita Terkini