Jokowi Terlambat Jika Mau Otoriter: Semakin Ditekan, Rakyat Makin Melawan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Dulu, saya terkagum dengan sosok tukang kayu dari Solo. Sebagai pengusaha furnitur skala menengah (belum terlalu besar banget) ia juga cepat belajar soal politik. Ia belajar bagaimana berhadapan dengan teman maupun lawan; bagaimana menyelesaikan persoalan; bagaimana mengorganisir dan menarik simpati; bagaimana menganalisa bahaya dan peluang, dan semuanya yang biasa dipelajari dalam dunia politik.

Hingga sejak 2 periode sebagai walikota Solo, lalu menjabat gubernur DKI Jakarta, hingga 2 kali sebagai presiden. Pada masa periode pertamanya hingga setahun menjelang akhir jabatan di periode kedua sebagai presiden, Jokowi masih terlihat handal bagaimana ia memanage persoalan serta menangani konflik dengan cukup baik, bahkan sangat baik. Memasuki setahun terakhir masa jabatan, semua itu runtuh.

Jokowi seperti kehilangan kesaktiannya dalam langkah-langkah strategi caturnya. Pertama, langkah yang sangat terbuka dan mudah dibaca; Kedua, terburu-buru tanpa pemikiran yang dalam, dan; Ketiga, ambisius. Jika membandingkan dengan gaya Suharto di masa orba, point’ ketiga yang terlihat sekali sama. Ambisius ini menjadikan rezim Suharto lebih memilih pemerintahan yang strong, yakni: otoriter.

Setahun dua tahun menjabat, Suharto masih sering melibatkan banyak masyarakat sipil. Hal ini guna mendapat legitimasi dan menyiapkan posisinya dengan mapan. Tapi setelah itu ia menerapkan gaya tangan besi. Semua serba terkontrol dan kekuasaan negara berada di satu tangan presiden (tidak berlaku istilah trias politika). Dengan model begitu, pemerintah memang menjadi sangat kuat.

Ekonomi bisa berjalan baik, namun tidak dengan hukum dan politik. Tidak ada pihak yang berani melawan, sekadar protes atau kritik pun tidak. Ia kerahkan ABRI untuk masuk hingga ke pelosok desa guna menjaga stabilitas politik. ‘Mengganggu’ negara dianggap subversif dan langsung ditangkap. Demokrasi benar-benar semu (jika tidak mau dikatakan mati). Semua dikendalikan oleh negara.

Suharto dengan gaya seperti itu bisa bertahan 30 tahun lebih berkuasa, mengapa? Karena warga sipil atau rakyat sudah terbentuk sejak awal, jangan sekali-kali melawan pemerintah. Sekali melawan, maka rakyat tahu akan sanksi yang harus diterimanya. Maka sekian tahun rakyat tunduk dan patuh, Suharto semakin leluasa berkuasa. Nah, bagaimana Jokowi sekarang mau menjadi otoriter?

Pertama, ini sudah era reformasi di mana nilai-nilai keterbukaan dan demokrasi sangat dijunjung tinggi. Sangat jauh berbeda karakter pengelolaan negara sekarang dengan eranya orba. Sekarang tidak bisa semau-maunya pemerintah. Semua harus memiliki dasar atau landasan hukumnya. Kedua, era sekarang ada pemilu pileg dan pilpres yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, konsekuensinya pula adanya pembatasan masa jabatan.

Pemilu yang berbeda di masa orba yang dipilih oleh DPR RI dan dibolehkan terus menjabat jika terpilih kembali. Ketiga, Jokowi terlambat jika menerapkan gaya otoriter hanya pada setahun di akhir pemerintahannya. Budaya politik rakyat tidak terbentuk patuh dan tunduk kepada penguasa (meski sebagian pendukung Jokowi mengaku taat). Budaya politik berubah dibanding masa orba, rakyat semakin sadar politik.

Begitupun dengan kelas menengahnya seperti kelompok civil society, para profesional. Rakyat tidak mungkin lagi ditakut-takuti seperti dulu. Sopir truk ditilang petugas dinas perhubungan saja kini berani melawan dan membantah (video viral di medsos). Anak sekolahan kini berani lantang berkomentar dan kritik kepada presiden. Di mana-mana dengan mudah direkam segala perilaku maupun ucapan.

Pemukulan relawan Ganjar dianiaya TNI di Boyolali, terekam dan oknum anggota TNI ditahan. Relawan Ganjar bentang spanduk ditangkap dan dipukuli terekam dan rakyat lakukan perlawanan. Praktik-praktik otoriter selain sudah tidak laku, juga tidak bisa disembunyikan. Budayawan seniman diintimidasi, begitupun dengan civitas akademika kampus diteror melalui telpon, semua terungkap.

Ingat teori politik di manapun, semakin rakyat ditekan makan semakin melawan. Meski Jokowi mencoba menunjukkan selalu bersikap baik, demokratis dan tidak mempermasalahkan kritik, namun aparat yang bergerak. Mungkinkah aparat bergerak tanpa izin atasan? Jika salah, mengapa yang memberi izin oknum aparat tersebut tidak diberi sanksi? Jokowi sedang mencoba menjadi seperti Suharto dengan gayanya sendiri.

Seolah terlihat sportif namun praktiknya, ada operasi senyap mengintimidasi rakyat. Jika hanya seorang akademisi seperti Rocky Gerung berteriak, silahkan itu bisa ditafsirkan personal. Namun jika ini atas nama institusi kampus, para dosen, rektor dan guru besar dituduh sebagai simpatisan, tentu sangat melukai bahkan menghina lembaga perguruan tinggi. Mereka tergerak semata tanggungjawab moral.

Apakah kaum cendekiawan hanya diam jika terjadi sesuatu yang tidak benar pada bangsanya? Merekalah para dosen, rektor dan guru besar yang sudah berkontribusi jauh lebih besar menjadikan mereka yang kini tengah berkuasa, termasuk presiden Jokowi. Maka apabila dikatakan, apa sih kontribusi kampus? Maka orang yang bertanya itu sudah dibutakan akal pikirannya.

Kini kaum rohaniawan turut tergerak menyampaikan suaranya yang persis sama dengan kaum intelektual kampus. Mereka juga hanya menjalankan tanggungjawab moral menjaga bangsa ini lebih baik. Sulit bagi kaum profesional untuk mengatakan bahwa pemilu kali ini sudah berlangsung adil. Lihat ketua MK yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat meloloskan Gibran, meski belum cukup umur.

Lihat pula ketua KPU mendapat peringatan keras dan terakhir dari DKPP. Ketua KPU terbukti melakukan pelanggaran etik memproses pendaftaran Gibran meski PKPU belum diubah (harus melalui konsultasi dengan pemerintah dan DPR). Lihat pula dengan apa yang dilakukan presiden dan para menterinya yang jelas-jelas bersikap tidak netral. Prabowo dan Gibran tidak mundur dari jabatan masing-masing.

Ada pula kebijakan negara seperti bansos dipolitisasi untuk menarik suara pemilih, dilakukan baik oleh presiden maupun para menteri. Lihat juga praktik pelanggaran yang dilakukan perangkat desa di mana-mana yang diarahkan mendukung paslon 02. Semua ini sudah menjadi bukti nyata dan tidak bisa ditutupi bahwa penyelenggaraan pemilu tidak benar. Parahnya, dilakukan pula oleh pejabat negara dan kepala daerah/desa.

Negara dan rakyat adalah dua kutub yang berseberangan namun seharusnya bisa saling melengkapi jika pengelolaan negara dilakukan dengan benar. Bak sebuah acara, rakyat sebagai pemilik hajatan adalah pihak yang paling berhak memilih dan memberhentikan penguasa yang diibaratkan panitia hajatan. Penguasa wajib tunduk kepada pemilik hajatan yakni rakyat. Akan aneh jika ketua panitia (presiden) justru semena-mena kepada pemilik hajat (rakyat).

- Advertisement -

Berita Terkini