Gen Z, Jokowi dan Kehancuran Mahkamah Konstitusi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Ninoy Karundeng

Ya. Gen Z dan Milenial adalah generasi instant. Tidak ada waktu menunggu. Waktu berhimpit dengan kepentingan, kesempatan. Online. Saat ini. Bagaimana Gen Z melihat Pilpres 2024? Tentang kehancuran Mahkamah Konstitusi. Kita pahami Gen Z.

Instant adalah ideologi Gen Z. Tak ada Gen Z mengirim surat 1 bulan baru dibalas dengan prangko Rp50,00. Telepon kabel, radio, bahkan TV, tak tersentuh. WhatsApp, Instagram, Telegram, FB, TikTok adalah sumber informasi mereka.

Generasi tua, yang kini usia 55-100 tahun hidup pada Era Jokowi dan Orde Baru (Orba). Bisa membandingkan.

Gen Z tidak membandingkan. Karena pola pikir dasarnya serba instant. Tak mengalami. Ingat Zaadit Taqwa Ketua BEM UI. Kritik Jokowi soal Asmat. Padahal belum pernah ke Papua. Tahu sepenggalan dari internet. Ngawur.

Produk instant merambah ke semua sektor kehidupan. Bidang agama ada ustadz karbitan. Lulusan indoktrinasi HTI, FPI, dan PKS. Felix Siauw, ngaji saja nggak becus, paham tafsir juga kagak, bergelar ustadz.

Karena medsos, Gen Z tahu Jokowi membangun jalan tol 2,800 km, ratusan bendungan. Jokowi meningkatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga miskin.

Tapi, Gen Z memberi catatan. BLT membuai rakyat dalam kenikmatan dan kemalasan. Income per capita naik. Tapi pemerataan tidak terjadi. Buktinya BLT tidak beranjak turun, malah konstan cenderung naik.

Orde Baru (1965-1998) melahirkan orang-orang tua para Gen Z. Yang membesarkan Gen Z dulu hidup dalam kesederhanaan.

Generasi sebelum milenial dan Gen Z, adalah generasi Pancasila menjadi soko guru ideologi bangsa dan negara. Mereka diajari tepa slira (sopan santun), etika, menghormati orang tua, belajar berterima kasih, toleransi hingga di TMII dibagun 5 tempat ibadah agama saling berdampingan.

Gen Z tahu keburukan Orba dan eyang saya Presiden Soeharto. Tentang peristiwa pembunuhan 600.000-1 juta orang dituduh PKI, dan yang dibunuh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tentang pembungkaman aktivis dan penculikan oleh Prabowo, menantu Pak Harto, tahu.

Tapi, bagi milenial dan Gen Z itu tidak penting. Masa lalu.

Generasi tua masih mengingat peristiwa 1998 ketika ratusan warga Tionghoa dibantai, perempuan China diperkosa ramai-ramai, rumah dan harta dijarah, itu sebagai kejahatan. Itu memicu rakyat bergerak. Presiden Soeharto jatuh.

Gen Z belum lahir. Milenial masih remaja saat itu. Tak paham betul.

Zaman sudah berubah. Bagi Gen Z, nilai-nilai, value, moralitas, keadilan, etika, sopan santun, moralitas, keadilan, persaudaraan, tetap dipahami. Namun tidak prinsipil. Meski mereka tidak belajar Pancasila.

Gen Z adalah bagian dari sebuah era. Era post truth yang menyuguhkan apa yang ada di permukaan, profane. Instant. Online. Saat ini. Semua lewat media sosial. Nilai hanya bagian dari post truth itu sendiri. Semua hanyalah informasi semata; tidak dalam. Dan tak perlu didalami.

Gebyar kenikmatan duniawi membuai Gen Z dan milenial. Kerja. Traveling. Pacaran. Hijrah. Traveling. Nongkrong. Café. Hape. I-phone. Kawin. Tak mau kawin. Game online. Dan, hedonisme.

Perilaku hedonis Gen Z, meniru perilaku penjahat. Maling seperti Johnny G Plate, Syahrul Yasin Limpo, Juliari Batubara. Namun, sekali lagi Gen Z memiliki standar keadilan, meskipun kelihatan cuek.

Gen Z peduli keadilan dan moralitas ala mereka.

Gen Z heran. Betapa tidak. Para penjahat di Indonesia dihormati. Koruptor disembah oleh rakyat. Karena nilai yang tertanam adalah orang kaya terhormat – tak penting asal uang dari mana.

Gen Z muak melihat tabiat korupsi. Diam-diam mereka paham korupsi bukanlah keadilan. Jauh dari nilai-nilai Gen Z. Moralitas korup membangun budaya korup. Termasuk di bidang hukum yang seharusnya menjunjung keadilan berdasarkan kemanusiaan. Tuhan terlalu jauh.

Lalu, bagaimana Gen Z melihat Jokowi memberikan contoh pelajaran moralitas bagi bangsa Indonesia? Pencalonan Gibran serba instant. Lewat Mahkamah Konstitusi?

Gen Z juga melongo. Publik melongo. Rakyat jadi plonga-plongo. Gen Z, kritis. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan capres-cawapres boleh di bawah usia 40 tahun asal pernah menjadi kepala daerah hasil pemilu.

Gen Z tahu secara instant lewat TikTok dan IG. Itu kongkalikong Anwar Usman dan Jokowi untuk meloloskan Gibran jadi cawapres. Menurut Yusril sah. Karena pendukung Prabowo.

Sedang Denny Indrayana dan kawan-kawan menilai cacat hukum, etika, moral, kepatutan, norma, keadilan, maka diadukan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Gen Z tahu dan waras pula melihat sidang kehormatan MKMK. Jimly Asshiddiqie adalah pendukung Prabowo, anaknya Robby Asshiddiqie caleg Gerindra.

Gen Z dan para orang waras sudah terbahak melihat drama Anwar Usman. Kehancuran MK akan lebih terpatri di hati para Gen Z dan orang waras di Indonesia.

Bisa jadi MK bukan hanya demi Prabowo dan Gibran. Namun, demi anak Jimly yang berjudul Robby Asshiddiqie. Putusan MKMK bisa berbunyi: Anwar Usman dipecat; tetapi keputusan MK soal Gibran tetap berlaku.

Keputusan lain? Hampir mustahil. Hanya dengan bimbingan Tuhan MKMK akan membuat keputusan memecat Anwar Usman dan membatalkan keputusan MK soal Gibran.

Dan, emangnya Jimly tidak cinta ama Robby, seperti Jokowi mencintai Gibran? Gen Z dan orang yang masih waras pun berteriak. Damn MK!

- Advertisement -

Berita Terkini